Oleh Imam Nasima
Ada fenomena menarik yang patut dicatat dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia belakangan ini. Bangkitnya kembali organisasi-organisasi keprofesian hukum, serta sorotan masyarakat (baca: tekanan) terhadap peran lembaga peradilan, adalah fenomena yang penulis maksudkan. Tentu, fenomena tersebut hanya merupakan beberapa tanda saja dari telah adanya proses perubahan cara pandang masyarakat terhadap institusi hukum. Dia belumlah menjelaskan proses perubahan itu sendiri, dan pada akhirnya belumlah berarti apa-apa untuk dapat merumuskan sebuah konsep ideal bagi etika profesi hukum. Guru besar kriminologi dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, misalnya, berpendapat bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum tidak lain dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau ‘law as a tool of crime’ (Semu, Kepastian Hukum di Indonesia, Kompas, 26 November 2005). Tapi apa yang bisa kita dapatkan dari informasi tersebut selain sekedar sebuah peringatan siaga belaka? Haruskah, kemudian, kita hapuskan saja institusi hukum, karena keberadaan dirinya telah membatalkan fungsinya sendiri (contradictio in terminis)? Akankah terjawab bagaimana semestinya konsep ideal bagi etika profesi hukum? Untuk mencegah pemikiran yang hanya akan membawa kita pada sikap apatis dan pesimis dalam menghadapi kekusutan arah dan tujuan sistem hukum kita, maka perlu ada usaha untuk menguraikan permasalahan tersebut lebih lanjut lagi. Ini memang bukan hal yang mudah, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Untuk itu, dalam tulisan ini pertama-tama penulis akan mencoba untuk mencari penjelas (roots) dari adanya proses perubahan cara pandang masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia. Selanjutnya, penulis juga akan mencoba menuliskan kembali beberapa konsep mengenai etika profesi hukum. Konsep-konsep tersebut memang penulis dapatkan dari penulis-penulis dengan latar belakang di luar masyarakat Indonesia. Meski begitu, bukan berarti tidak ada relevansinya dengan masalah yang sedang kita hadapi di Indonesia. Proses perubahan masyarakat yang terjadi saat ini, dan mungkin juga di masa yang akan datang, tidak bisa dipisahkan dari adanya proses globalisasi, proses lintas batas. Pengaruh MTV di Belanda terhadap gaya hidup anak mudanya, misalnya, tidak beda dengan pengaruh MTV di Indonesia terhadap gaya hidup anak muda setempat. Memang, karakter lokal bukannya tidak memegang peran penting. Justru kondisi masyarakat setempatlah yang nantinya akan menentukan konsep yang paling ideal bagi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pula, penulis akan memulai tulisan ini dengan mencari penjelas (roots) dulu, sebelum sampai pada tahap pemaparan konsep (routes). Sedikit refleksi akan kondisi kita saat ini akan penulis jadikan penutup dari tulisan ini.
Modernisasi Pasca Reformasi
Modernisasi mesti dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, dengan sendirinya modernisasi bukanlah suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat memahami modernisasi adalah dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan sekedar akibatnya (masyarakat ‘modern’). Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk masyarakat ‘modern’ hanya akan membawa pengingkaran pada proses tersebut. Karena, dalam sebuah proses pada prinsipnya semua dapat berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Modernisasi pada satu masyarakat, dapat saja berbeda dengan modernisasi pada masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat bersangkutan sendirilah yang akan menentukan.
Gambaran modernisasi dari sudut pandang sosiologis yang cukup terkenal disampaikan oleh filosof Jerman Max Weber (1864-1920). Menurutnya, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi, rasionalisasi dan ‘desakralisasi’ (demystification). Sebelumnya, perlu penulis tegaskan bahwa penulis di sini hanya akan membatasi gambaran terjadinya proses tersebut dalam ranah hukum saja. Analisa Weber sendiri adalah analisa menyeluruh pada semua aspek sosial, sedang hukum hanya satu bagian saja dari sebuah sistem sosial.
Sebuah tindakan sosial, menurut Weber, tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional, serta (4) tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi). Pada awal abad 20 atau pasca revolusi industri di Eropa Barat, Weber melihat bahwa tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentulah yang mengemuka. Apa artinya bagi jati diri hukum? Artinya, hukum ‘klasik’ yang dibangun berdasar atas adanya asas-asas dan doktrin-doktrin hukum (baca: nilai-nilai tertentu) yang terkandung di dalam undang-undang akan berubah menuju hukum ‘modern’ yang dibangun dari adanya tarik ulur kepentingan-kepentingan (baca: tujuan-tujuan) yang ingin dicapai setiap elemen masyarakat. Telah terjadi pergeseran pondasi dari suatu nilai yang tak terbantahkan, menuju pondasi yang lebih supel dan fleksibel. Pondasi yang dapat selalu ditawar dan dirundingkan berdasar atas kebutuhan atau kepentingan dari (elemen) masyarakat pada suatu ruang dan waktu tertentu. Masing-masing elemen masyarakat berusaha meraih kepentingannya, sedang hukum adalah alat untuk mencapainya. Asas-asas serta doktrin-doktrin hukum, baru diterima jika memang itu rasional dan sistematik. Akibatnya, keberadaan institusi hukum yang tadinya dibangun atas dasar kewibawaan yang sakral mesti mampu pula melandaskan kepercayaan masyarakat yang diembannya pada suatu dasar yang rasional. Pendeknya, institusi hukum tidak lagi dapat bertahan pada landasan sakralnya dan mau tak mau telah menjadi bagian dari dinamika masyarakat itu sendiri.
Modernisasi yang digambarkan oleh Max Weber di atas tadi, telah terjadi di dalam masyarakat Eropa Barat sejak awal abad 20 sebagai reaksi atas terjadinya revolusi industri yang memang meletakkan titik berat pada efisiensi sebagai usaha optimalisasi produksi. Lalu, mengapa modernisasi ala Weber tadi berusaha penulis hubungkan dengan kondisi Indonesia pasca reformasi yang notabene terjadi satu abad sesudah analisa itu sendiri dikemukakan? Mesti pembaca maklumi, bahwa usia demokrasi di Indonesia masihlah muda. Proses rasionalisasi telah tersumbat puluhan tahun lamanya, meski mungkin metode berpikir rasional bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan institusi hukum di Indonesia, dengan segala carut marutnya, telah ‘tersembunyi’ dengan rapi di balik wibawa rezim-rezim yang sebelumnya pernah berkuasa di Indonesia. Institusi hukum di masa Orde Baru, misalnya, sudah memiliki satu cetak biru yang jelas. Keberpihakan hukum adalah pada penguasa. Artinya, wibawa hukum dijamin dengan wibawa kekuasaan. Hukum adalah sebuah institusi yang pada dasarnya tidak terjamah oleh proses rasionalisasi dan ‘desakralisasi’. Dengan adanya proses demokratisasi yang terjadi pasca reformasi, sedikit banyak telah terjadi perubahan cara pandang terhadap institusi hukum tersebut.
Benarkah telah mulai terjadi modernisasi atau dengan kata lain terjadi perubahan seperti disebutkan di atas? Tentu, perubahan itu tentu saja ada. Masalahnya, seberapa besar perubahan itu telah terjadi. Perubahan itu sendiri hanya bisa dikenali dari gejala-gejalanya. Seperti kita ketahui bersama, lembaga peradilan di Indonesia bukan lagi wilayah yang tidak terjamah. Beberapa waktu belakangan ini, selain dengan KPK, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, MA, mesti berurusan pula dengan KY. Integritas para hakim agung juga mulai ikut dipertanyakan. Selain itu, perdebatan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang juga sudah mulai lebih ‘memasyarakat’. Di situs web hukumonline, misalnya, mulai bisa kita temukan tulisan-tulisan kritis yang mulai mempertanyakan kesahihan isi produk-produk (rencana) perundangan yang ada atau bahkan kritik atas putusan dari lembaga peradilan. Tidak jarang pula kritik-kritik tersebut, berangkat dari pemikiran advokat yang (pernah) mewakili kepentingan kliennya di pengadilan. Menurut pendapat penulis, fenomena tersebut adalah suatu fenomena yang menggairahkan bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia, mengingat dengan proses rasionalisasi dan ‘desakralisasi’ ini posisi hukum di dalam masyarakat akan semakin jelas. Hukum sebagai alat pencari keadilan bisa menjadi bukan merupakan slogan kosong belaka. Perhatian atas masa depan hukum, akan jauh lebih baik dari sikap apatis yang tidak akan membawa kita ke mana-mana. Meski begitu, mesti diingat pula bahwa kondisi tersebut bukannya tidak mengandung resiko.
Seperti telah penulis kemukakan di muka, modernisasi ini telah mengundang kegerahan seorang guru besar kriminologi yang menyebut fenomena perkembangan hukum di Indonesia sebagai ‘law as a tool of crime’. Hukum yang berfungsi sebagai alat kejahatan. Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah: apakah tindakan itu salah? Salahkah bagi seorang advokat menggunakan pengetahuan hukumnya sebagai alat untuk memenangkan kliennya? Sayangnya ilustrasi yang beliau berikan tentang permasalahan di dalam hukum kontrak tersebut tidaklah konkrit, sehingga dengan informasi tersebut tidaklah cukup untuk menimbang benar tidaknya tindakan si advokat yang dimaksud. Namun begitu, memang mesti diakui bahwa bukan tidak mungkin dengan kondisi hukum yang telah ‘memasyarakat’ ini, pendekatan-pendekatan pragmatis yang mungkin bertentangan dengan asas-asas dan doktrin-doktrin hukum akan digunakan oleh advokat untuk memenangkan kliennya. Bahkan, kalau kita jeli memperhatikan, cara pikir pragmatis seperti ini terjadi juga di tingkatan pembuat kebijakan. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, terdengar usulan dari seorang anggota dewan untuk memberlakukan pembedaan tarif pembuatan paspor untuk mencegah korupsi di Imigrasi (DPR Usulkan Paspor Beda Tarif, detikcom, 18 Januari 2006). Alasannya adalah karena dengan begitu proses pembuatan paspor akan lebih efisien. Meski begitu, sudahkah dipikirkan bagaimana dampaknya pada asas perlakuan sama terhadap seluruh warga negara di depan hukum? Bukankah menurut konstitusi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan adalah sama? Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana semestinya seorang profesional hukum atau pengambil kebijakan bertindak? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini seobyektif mungkin, maka mau tak mau harus kita tengok kembali konsep-konsep etika profesi hukum yang melandasi tindakan profesional hukum tersebut.
Dua Konsep Etika Profesi
Ada dua konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’ seperti telah penulis ungkapkan di atas tadi. Kebetulan, dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
Konsep yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yang terpuji, serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yang ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’. Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figur phronimos atau ‘sang bijak’ ala Aristoteles. Masalahnya, saat ini kita telah mulai menuju ke arah pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini merupakan pengingkaran dari proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa? Seperti kritik William Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme dan elitisme. Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut untuk mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena, profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu tadi? Jika memang hakim sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan integritas para hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini. Bukankah hakim agung adalah seorang hakim yang merunut arti katanya adalah ‘sang bijak’ itu tadi?
Selanjutnya, di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran budaya hukum ‘klasik’ ke budaya hukum ‘modern’ ini dengan positif. Proses perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi pada penelitian empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yang menitikberatkan pada interpretasi teks dan argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu yang otonom. Masalahnya, hal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum harus memiliki satu landasan baru, karena dia akan lepas dari asas-asas serta doktrin-doktrin moral yang menjadi penyangganya. Untuk hal ini, Posner kemudian meletakkan ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan, akan dianalisa dengan prinsip ekonomi, dengan kata lain, nilai kebaikan hanya diukur dengan pendekatan material. Pandangan tersebut tentu saja kontroversial, mengingat dengan begitu Posner telah menegasikan muatan politik dan moral yang terkandung di dalam hukum. Bukankah hukum juga merupakan sarana untuk menjembatani proses perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain? Hukum harus melek sejarah, dalam arti tidak bisa mengesampingkan interpretasi teks dan sejarah lahirnya teks, serta tidak akan hanya bisa didasarkan pada instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang dari ahli-ahli teori hukum Belanda, A.M. Hol dan M.A. Loth, dalam sebuah artikel mereka yang berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol dan Loth konsep Posner ini miskin nilai-nilai moral dan hanya akan membawa kita pada pragmatisme.
Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di samping mengkritik, Hol dan Loth juga memberikan konsep jalan tengah. Menurut hemat penulis konsep ini merupakan konsep jalan ke tiga atau konsep ‘postmodernisme’.
Konsep Jalan Ke Tiga
Meminjam pendapat Gus Dur dalam artikelnya berjudul Budaya Kita di Masa Peralihan (22 Juni 2004), penulis akan mencoba menuliskan kembali dasar pemikiran yang cukup dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama: “Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” (Tetap menggunakan hal-hal lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik). Begitulah kurang lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan ke tiga yang ditawarkan oleh Hol dan Loth di mata penulis. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’ memang telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita tolak mentah-mentah atau justru kita ikuti dengan membuta. Hukum ‘klasik’, bagaimanapun rentannya, telah meninggalkan asas-asas serta doktrin-doktrin hukum yang akan menyangga berdirinya institusi hukum. Meski begitu, berdirinya institusi tersebut tidak lagi hanya bisa didasarkan pada kharisma atau wibawa profesional hukumnya saja. Lebih dari itu, institusi tersebut harus merupakan sebuah instrumen keadilan yang memang dapat menjadi cerminan dari nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Namun, bukankah modernisasi telah membawa kita pada situasi di mana setiap elemen di dalam masyarakat memiliki standar keadilan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka masing-masing?
Untuk itu Hol dan Loth meminjam konsep keadilan prosedural ala John Rawls dalam A Theory of Justice (1973) sebagai sebuah alternatif dalam menghadapi era perubahan ini. Keadilan prosedural tersebut meletakkan titik berat pada proses lahirnya keadilan, bukan pada keadilan yang dihasilkan. Ini tentu saja logis, mengingat perubahan masyarakat tentu akan membawa perubahan pada cara pandang masyarakat terhadap suatu masalah. Misalnya saja, seperti pernah penulis tuliskan sebelumnya, pengertian kerugian immaterial dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Namun, bagaimana akhirnya proses pengakuan ganti rugi atas kerugian itu sendiri terjadi, tidak berubah dari prinsip dasar, yaitu melalui sebuah proses peradilan yang jujur dan adil. Bagaimana sebuah proses peradilan dapat tetap menjaga nilai kejujuran dan keadilan tersebut?
Penulis kembali pada analisa Hol dan Loth yang menempatkan prosedur peradilan sebagai sebuah sistem. Artinya, seorang profesional hukum mesti dinilai dari peran yang disandangnya dalam sebuah proses peradilan. Profesionalisme di mata advokat, jaksa, atau hakim tentu saja berbeda. Perbedaan ini bukan (hanya) karena mereka memiliki pandangan yang berbeda akan sebuah permasalahan hukum, namun karena mereka harus menempati posisi-posisi yang memang berbeda dalam sebuah proses peradilan. Kita tentu tidak bisa berharap bahwa seorang advokat harus menjadi hakim, sebagaimana juga sebaliknya, seorang hakim haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang hakim, seorang penengah. Artinya, adagium ‘audi et alteram partem’ (dengar juga dari sisi sebaliknya) mesti berlaku tanpa kecuali. Lalu, apa kepentingan tiap-tiap elemen masyarakat atas proses peradilan ini?
Perlu dicatat, bahwa Rawls mendasarkan konsep keadilan proseduralnya pada teori kontrak sosial. Artinya, proses peradilan itu akan dirasa perlu oleh seluruh elemen masyarakat, karena hanya dengan begitu kepentingan yang mereka miliki (akan) dapat terlindungi. Seluruh elemen masyarakat akan merasa berkepentingan pada adanya sebuah jaminan prosedur keadilan, karena, kalau tidak, yang terjadi adalah hukum rimba. Negaralah yang pada akhirnya memastikan bahwa proses tersebut mesti terjamin dengan baik. Kepentingan lembaga negara sendiri, tentu saja ada pada terciptanya keamanan dan stabilitas politik nasional.
Pendeknya, seorang profesional hukum yang ideal di mata Hol dan Loth adalah seorang iudex mediator. Dia harus dapat menjadi penghubung antara dua pihak yang bertikai. Selanjutnya, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut dengan masyarakat, serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, dan nilai yang ada di dalam masyarakat. Begitulah seorang profesional hukum yang ideal menurut Hol dan Loth. Tidak kurang, tidak lebih.
Sekilas Refleksi
Setelah kita menengok gambaran konsep-konsep etika profesi yang dikembangkan oleh penulis-penulis luar di atas, pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Seperti penulis tuturkan di muka, proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’, dilihat dari gejalanya, sedikit banyak telah mulai terjadi di Indonesia. Sementara pihak bersikap apatis, bahkan pesimis, dalam melihat perkembangan hukum di Indonesia (sang guru besar). Sedang sebagian lain justru mendukung perkembangan hukum ‘modern’ tersebut, dalam hal ini menggunakan prinsip ekonomi dalam melihat masalah hukum yang tentu merupakan sebuah bentuk pragmatisme (sang anggota dewan). Penulis sendiri cenderung pada konsep jalan ke tiga yang merupakan jalan tengah dari kondisi tersebut. Di satu sisi, kita tidak bisa menegasikan terjadinya perubahan ini. Sedang di sisi lain, perubahan tersebut harus tetap dilihat dengan semangat berpikir kritis. Sekedar untuk saran dan masukan dari penulis bagi perkembangan hukum di Indonesia, penulis akan mencoba menuliskan beberapa poin di bawah ini.
Pertama, mesti dipahami dan harus terus dipahami, bahwa profesionalisme telah mulai dibentuk dari lembaga pendidikan hukum. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan sudah semestinya turut andil pada proses pembentukan profesionalisme ini. Semestinya, sejak jenjang S1 sudah ada satu cetak biru yang jelas tentang profil tiap-tiap mahasiswa. Belajar dari pengalaman penulis di Belanda, setiap mahasiswa hukum S1 di Universitas Utrecht harus memiliki portfolio yang berisi orientasi dan refleksi kuliah mereka masing-masing. Orientasi dari satu mahasiswa, tentu berbeda dengan mahasiswa yang lain. Keinginan individu yang satu, berbeda dengan keinginan individu yang lain. Profesi hukum sendiri adalah profesi yang luas, di mana setiap peran (notaris, advokat, jaksa, hakim, pembuat kebijakan, dsb.) memiliki karakter sendiri-sendiri. Apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan hukum adalah bagaimana karakter-karakter tersebut terwakili dalam profil-profil perkuliahan yang mereka tawarkan.
Kedua, lembaga pendidikan juga dituntut harus mampu mentransformasikan pengajaran nilai-nilai keadilan dalam konteks masyarakat terkini. Contoh menarik akan fenomena tersebut adalah dibentuknya Utrecht Law College satu setengah tahun yang lalu, di mana pendidikan hukum dihubungkan dengan konteks perkembangan masyarakat yang menjadi latar belakangnya. Sehingga, alasan adanya ‘hirarki intelektualitas’ yang diungkapkan sang guru besar tadi, tidak lalu menjadi alasan untuk bersikap apatis. Hal tersebut justru merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan hukum untuk terus dan terus meningkatkan kualitas didiknya. Sebagai contoh, nilai-nilai dasar dalam mata kuliah Pancasila mau tak mau mesti diterjemahkan ke dalam kondisi masyarakat terkini. Sehingga, selain merupakan doktrin, sila-sila tersebut harus bisa menjadi landasan teoritis untuk menganalisa produk-produk perundangan atau putusan peradilan yang ada. Untuk itu, kerangka doktriner tersebut mesti bisa dibaca dari sudut pandang masyarakat saat ini. Hanya dengan begitu, maka waktu yang ada tidak terbuang untuk mempelajari suatu hal yang ‘tidak berguna’. Siapa yang mesti melakukan ini semua? Sudah barang tentu para akademisi yang tergabung pada lembaga pendidikanlah yang berperan mengadakan upgrade tersebut. Bukankah nantinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut juga harus mampu menunjukkan mutu pendidikan yang baik? Bukankah nanti kualitas profesional hukum yang dicetaknyalah yang akan menunjukkan jaminan mutu tersebut?
Ketiga, ‘ontran-ontran’ yang terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia setidaknya bisa ditangkap sebagai sebuah pertanda positif. Dengan tetap proporsional tentu saja. Paling tidak, telah ada kesepakatan untuk melakukan perubahan di tubuh lembaga peradilan. Ke arah mana, itu pertanyaannya. Dalam tulisan ini penulis telah menggambarkan konsep keadilan prosedural. Artinya, ke depannya nanti, bukan lagi siapa yang menjadi hakim itu penting, namun bagaimana dirinya menjalankan fungsi sebagai hakim itulah yang lebih berperan besar. Sebuah pertanyaan praktis yang nampaknya sepele: bagaimana dengan publikasi putusan MA? Sudahkah situs web MA diperbarui sejak tahun 2002? Dapatkah seorang hakim mempertanggungjawabkan integritasnya, kalau masyarakat tak tahu apa yang menjadi dasar alasan putusannya? Setidaknya hal-hal praktis seperti ini mesti mendapat perhatian lebih, apabila kita memang menghendaki masa depan hukum Indonesia yang lebih cerah. Apabila lembaga peradilan terbangun dari sebuah sistem yang kokoh, kekhawatiran sang guru besar akan manuver seorang advokat yang dapat membuat sebuah konstruksi hukum kontrak yang canggih, sehingga kliennya dapat menang tanpa melalui proses pengadilan, tentu tidak lagi beralasan. Bukankah hukum kontrak juga terikat pada nilai-nilai kelaziman dan kepatutan? Bukankah nantinya pihak yang dirugikan akan selalu dapat menuntut hal tersebut di pengadilan?
Untuk menutup tulisan ini, penulis akan mencoba mengutip tiga adagia klasik yang menjadi pondasi hukum, paling tidak bisa menjadi dasar-dasar pemikiran untuk merumuskan kode etik profesi hukum. Ketiga adagia klasik tersebut adalah sebagai berikut: ius est ars boni et aequi (hukum adalah kecakapan (menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan), male enim nostro iure uti non debemus (janganlah kita salah gunakan hukum kita), dan …neque malitiis indulgendum est (janganlah kita menyerah pada keburukan). Bagaimana seorang profesional hukum pada akhirnya akan memaknai adagia tersebut, kita serahkan saja pada individu itu sendiri. Bukankah rasa tanggungjawab (responsibility) memang dimulai dari diri sendiri?
*) Penulis terinspirasi oleh konsep pemikiran A.M. Hol dan M.A. Loth dalam “Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie”, Nederlands Tijdschrijft voor Rechtsfilosofie & Rechtstheorie 2001/1, hal. 9-57.
*) Tulisan ini pernah dimuat di kolom hukumonline 30-01-06.
**) Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht.
Sumber: nasima.wordpress.com/2007/07/01/5/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×