Oleh: Boy Yendra Tamin SH.MH.
Putusan PN Jakarta terkait SKPP yang diterbitkan Kejaksaan Agung atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamza (dua pimpinan KPK) mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang menilai putusan PN Jakarta Selatan itu berindikasi pelemahan terhadap KPK. Kecurigaan terhadap putusan pengadilan bukanlah hal yang baru di negeri ini, namun tanpa disadari telah melemahkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap lembaga pengadilan, disamping beberapa peristiwa diseputar dunia peradilan lainnya.
Tidak hanya putusan hakim, proses pemeriksaan perkara di pengadilan pun tidak jarang menjadi perdebatan kalangan hukum. Misalnya saja, peristiwa walk-out tiga orang hakim ad-hoc Pengadilan Tipikor yang memeriksa perkara mantan hakim yang menjadi penasehat hukum Probosutedjo, Harini Wijoso. Aksi walk-out itu dilakukan karena ketua Majelis menolak memanggil Ketua Mahmakah Agung sebagai saksi dalam perkara tersebut sebagaimana diminta Jaksa Penuntut Umum.
Peristiwa walk-out tiga orang hakim Pengadilan Tipikor itu memang tidak dalam perspektif mafia peradilan, tetapi berkorelasi dengan tidak berkembangnya dengan baik apa yang disebut dengan judicial discretion yaitu sikap imparsial dan independen dalam memutus perkara. Sebaliknya, dalam konteks putusan PN Jakarta Selatan atas kasus Bibit-Candra yang berlansung dalam perspektif judicial discretion, justeru dicurigai adanya indikasi pelemahan terhadap KPK, bakan putusan hakim tersebut dinilai janggal.
Dua peristiwa hukum yang dinukil di atas, ingin menegaskan, bahwa soal judicial discretion tampaknya cenderung dipertalikan dengan soal-soal judicial corruption (Mafia Peradilan). Ini terutama ketika sebuah putusan pengadilan dinilai tidak sesuai dengan harapan publik atau tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bahkan pada saat hiruk-pikuk mengenai judicial corruption. menjadi fokus pembicaraan publik dimana-mana dalam berbagai kesempatan soal judicial discretion “sepertinya” terlupakan dalam semangat pemberantasan judicial corruption .
Betapa pun pentingnya upaya pemberantasan judicial corruption, tetapi optimalisasi judicial discretion menjadi salah satu faktpr pencapaian keberhasilan pemberantasan mafia peradilan. Dalam konteks ini, janganlah dilupakan, bahwa kekuasaan peradilan tidak pernah dieksekusi untuk tujuan memberlakukan kehendak hakim, selalu untuk tujuan memberlakukan kehendak legislatif, atau, kehendak hukum.
Mafia peradilan mestinya sudah sejak lama berakhir atau tidak se”mencengangkan” seperti sekarang, jika judicial discretion tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan peradilan. Berdasarkan undang-undang pokok kehakiman yang baru tidak seorang pun –termasuk presiden-- bisa ikut campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Demikian pula halnya dengan kekuatan politik, tekanan massa dan sebagainya tidaklah dapat mempengaruhi putusan pengadilan. Dalam konteks ini, jika saja judicial discretion tidaklah sebatas adanya sistem peradilan satu atap, tetapi substansinya tumbuh dan berkembangan dalam bentuk sistem peradilan yang berkualitas dan mampu memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi pencari keadilan.
Dengan judicial discretion, harapannya adalah hakim akan berprilaku impartial serta menerapkan fair trial memutus perkara dengan jujur dan adil sesuai hati nuraninya berdasarkan hukum yang berlaku. Artinya, berkembangnya judicial discretion secara subtantif, menjadi “batu sandungan” bagi setiap usaha terjadinya mafia peradilan. Pihak-pihak dalam berperkara di pengadilan akan memaikan perannya dengan satu-satunya andalan mereka mempertajam dan memperkuat argumentasi hukum dari perkara yang ditanganinya.
Persoalannya menjadi lain, ketika judicial discretion tumbuh dan berkembang hanya sebatas formalitas dan bersifat strukrural. Pengadilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan tidak dipercaya, dan bahkan lebih buruk lagi berkembang menjadi judicial corruption. Dalam konteks ini, maka kompleksitas persoalan mafia peradilan memerlukan pengkajian mendalam ketika ditilik dari perspektif judicial discretion. Misalnya soal putusan PN Jakarta Selatan atas SKPP kasus Bibit-Candra, nuansanya akan berbeda dengan kasus Gayus yang menghebohkan itu.
Banyak argument yang bisa diajukan untuk memahami, mengapa mafia peradilan sistemik di Indonesia., tetapi intinya tidak lain karena prinsip-prinsip dasar penegakkan hukum dikesampingkan. Satu diantaranya adalah tidak berkembangnya judicial discretion yang implikasinya keputusan pengadilan tidak dihormati, dipersoalkan, bakan hidup dalam penerimaan pro-kontra dalam masyarakat. Kewibawaan pengadilan dan putusannya melemah. Idealnya, apabila Judicial discretion berkembang dengan baik, maka keitdak puasan terhadap putusan pengadilan hanyalah semata-mata mengenai soal yang sangat prinsip dan bukan pada adanya kekhilafan dan kesalahan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Konsekuensinya, tentulah suatu perkara yang diajukan ke pengadian hanyalah perkara yang benar-benar memiliki bukti yang kuat dan tidak hanya besandar pada bukti yang cukup, apalagi kemudian yang dominan adalah “semangat untuk menghukum”.
Setiap orang yang berperkara di pengadilan akan menyadari dimana kelemahan dari kasus yang diajukan atau ditanganinya dan bukan sebaliknya, tidak puas dengan putusan pengadilan. Namun untuk sampai ke tingkat serupa itu tidak mudah, ketika judicial discretion “terpuruk” dalam proses peradilan atau judicial discetion diintervensi oleh kekuasan politik dan dihadapkan pada tekanan publik.
Disisi lain adalah soal kepastian hukum, dimana putusan pengadilan di Indonesia sulit diprediksi. Perkara yang sama bisa diputus berbeda oleh pengadilan yang sama. Kepastian hukum bukan hanya soal debatable dengan rasa keadilan masyarakat secara akademik, tetapi tampaknya berkembang menjadi ketidak-pastian hukum. Hal ini tidak terlepas dari tidak berkebangnya judicial discretion dengan baik dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Karena itu, dalam upaya pembehanan dunia penegakkan hukum di Indonesia, maka judicial discretion seharusnya berjalan secara integral dan seimbang dengan upaya pemberantasan judicial corruption. ****