Oleh: Boy Yendra Tamin
Menarik apa yang dikemukakan Mohammad Fajrul Falaakh dalam tulisannya di Kompas (20/8/2010), bahwa masa jabatan presiden ditentukan selama lima tahun dan periode jabatannya paling lama dua kali (Pasal 7 UUD 1945, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”). Ketentuan ini lebih memastikan salah satu ciri sistem presidensial, yaitu masa jabatan yang tetap (fixed term) dan terbatas (limited tenure). Ini juga merupakan rekayasa konstitusi (constitutional engineering) bagi pergantian presiden secara berkala.
Jika demikian halnya, maka tidak ada yang istimewa dari gagasan yang dilontarkan Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang mengusulkan perubahan batas periode jabatan, Selain karena gagasan pembatasan peride jabatan Presiden dalam UUD 1945 hasil amandemen dilakukan melalui kajian mendalam dan bahkan belajar dari fakta sejarah di negera ini pada saat UUD 1945 tidak memuat batasan periode jabatan presiden.
Lantas apa perlunya gagasan perubahan periodesasi jabatan presiden itu dilontarkan Ruhut, jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan respon dengan menegaskan, ia akan mengakhiri jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan berupaya memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi (Kompas.19/8/2010). Sejenak orang boleh mengira gagasan perpanjangan periodesasi jabatan presiden hanya ide dan pendapat pribadi Ruhut. Jika demikian halnya, maka diskursus soal gagasan perpajangan peridesasi jabatan presiden melalui perubahan UUD 1945 tentu usai sudah. Tetapi ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan lebih jauh perihal perubahan ketentuan UUD 1945 mengenai periodesasi jabatan presiden dan tentu tidak dalam konteks gagasan Ruhut yang dipersepsikan banyak orang berkaitan dengan kepemimpinan Presdien SBY yang sudah pada periode ke-dua.
Pembatasan Tidak Sepenuhnya Menjadi Ukuran.
Bila belajar dari sejarah bangsa-bangsa , suatu kepemimpinan terlalu lama dan tanpa batas memang tidak baik, tetapi memimpin dibatasi periode juga belum tentu baik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan –terutama berangkat dari sejarah-- bahwa semakin besar dan absolut kekuasaan di tangan seseorang semakin besar godaan penyalahgunaan. Namun apabila ukurannya semata-mata pada godaan penyalagunaan kekuasaan, maka pembatasan periode jabatan presiden tidak sepenuhnya dapat dijadikan dasar untuk menuntup kemungkinan perubahan atas periode jabatan presiden yang dituangkan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen.
Dibatasi atau tidak periode jabatan presiden bukanlah jaminan bagi tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang. Banyak kasus yang terungkap di negeri ini, seseorang yang belum lagi usai suatu periode menjalankan jabatannya tiba-tiba tersangkut kasus penyalahgunaan kekuasan atau kewenangan. Hal ini mengisyaratkan, perubahan atau perpanjangan periode jabatan presiden boleh jadi tidak buru-buru ditepis.
Pengalaman buruk masa lalu dari kepemimpinan presiden di Indonesia yang tanpa batasan periode memang harus senantiasa dijadikan pelajaran, tetapi kondisi yang terjadi tidak terlepas dari sistem politik dan struktur ketetanegaraan yang melingkupinya pada waktu itu. Kejadiannya tentu tidak akan sama setelah UUD 1945 diamandemen.
Perpanjangan Periode Jabatan Presiden.
Jadi, jika gagasan perubahan pembatasan periode jabatan presden disandingkan dengan pemikiran “perpanjangan” periode jabatan presiden boleh jadi menjadi bahan pemikiran bagi amandemen UUD 1945 mendatang.. Dalam konteks ini jabatan presiden tentu tidak semata-mata dipahami dari sudut kekuasaan belaka, melainkan dipahami pula dalam perspektif mewujudkan tujuan negara dan kehendak rakyat.
Di lain pihak gagasan untuk melakukan perubahan terhadap periode jabatan presiden dalam UUD 1945 bukanlah harga mati. Menelusuri rumusan-rumusan UUD 1945, hanya terhadap bentuk negara yang tidak dapat dilakukan perubahan. Dengan demikian, perubahan atas pembatasan periode jabatan presiden yang hanya dua kali, masih dimungkinkan. Atau setidaknya, disamping pembatasan dikenal pula mekanisme “perpanjangan” peride jabatan presiden. Untuk bisa menggunakan ketentuan “perpanjang” perode jabatan presiden yang disertai sejumlah syarat yang ketat dan tidak mudah.
Gagasan perpanjangan periode presiden itu sama sekali tidak bersentuhan dengan kelanjutan kepemimpinan Presiden SBY mendatang, melainkan sebagai upaya merangcang konstitusi yang menjangkau masa datang. Artinya, bagaimana konstitusi sejak dari awal sudah mengantispasi kemungkinan-keungkinan yang terjadi dimasa datang termasuk soal kepemimpinan seorang presiden. Andaikata, pada masa datang terpilih presiden berusia muda yang dalam kepemimpinannya ternyata membawa perubahan yang baik bagi kemajuan bangsa dan negara, dicintai rakyat, tidak korup, namun sang presiden tidak bisa lagi melanjutkan kepemimpinannya karena sudah dua kali menjabat, meskipun rakyat masih menghendakinya. Usia sang presiden pun masih produktif –belum sampai enam puluh tahun- tapi ia harus berhenti karena konstitusi tidak member peluang bagi sang Presiden untuk melanjutkan kepemimpinannya. Apakah seorang pemimpin atau ketika dapat seorang presiden yang demikian, harus direlakan untuk berhenti memimpin negara dan bangsa ?
Setidaknya inilah pemikiran awal dan sisi lain dari gagasan perubahan atas periode jabatan presiden dalam format “perpanjangan” periode jabatan presiden dan dengan mempertahankan ketentuan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. ***