Oleh : Dr. Boy Yendra Tamin, SH. MH
Secara formal Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai tahun 2011 sudah berusia 15 tahun. Meskipun demikian upaya para pencari keadilan melalui PTUN belumlah sebagaimana adanya peradilan perdata dan pidana yang tiada henti “dibanjiri” perkara. Memang tidaklah terlalu tepat untuk membandingkannya, tetapi apabila dipahami untuk apa peradilan tata usaha dibentuk, sebenarnya PTUN yang tiada henti dibanjiri perkara, dimana terdapat banyak suatu keputusan dari pejabat/badan tata usaha negara yang dikeluhkan orang atau badan hukum sebagai telah merugikan kepentingannya. Tetapi faktanya, aktivitas berperkara di PTUN tidaklah seperti pada peradilan umum, padahal disetiap propinsi hanya terdapat satu PTUN dan tidak sebagaimana adanya dengan pengadilan umum yang terdapat pada setiap kabupaten/kota.
Banyak faktor yang bisa diajukan mengapa ada kecenderungan PTUN sepi perkara, sementara dilain pihak banyak sekali sikap tindak badan/perjabat tata usaha negara yang merugikan kepentingan orang atau badan hukum. Soal daya eksekusi putusa pengadilan TUN boleh jadi masih menjadi masalah dan disisi lain bisa jadi karena adanya batasan objek dari tindakan administrasi negara yang bisa digugat ke PTUN, yakni hanya sebatas surat keputusan yang ditujukann kepada induvidual, final dan konkirit. Pembatasan itu setidaknya turut berkontribusi pada tidak banyak pencari keadilan yang menggunakan sarana PTUN sebagai sebuah pilihan bagi pencari keadilan atas sikap tindak adminitrasi negara yang merugikan kepentingannya.
Artikel Terkait:
Prosedur Beracara Dperadilan Tata Usaha Negara ( PTUN )Ruang Lingkup dan Bentuk Putusan PTUNEksistensi Peradilan Tata Usaha Dalam Menguji Keputusan KPUUU No 5 Tahun 1986 dan Putusan Ultra PetitaContoh Gugatan Pada Peradilan TUNTerlepas dari keadaan itu, bila dipahami dengan seksama, maka keberadaan PTUN sangatlah penting dan mendasar bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum, khususnya negara hukum kesejahteraan. Dalam negara hukum kesejahteraan, terjadinya tindakan sewenang-wenang dari adminitrasi negara sangat potensial. Dalam konteks ini, paradoksnya antara sikap tindak admintrasi negara dengan upaya mencari keadilan bagi warga negara melalui PTUN.
Berdasarkan tujuan pembentukan PTUN tersebut, maka sekaligus menggambarkan fungsi dari fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, yakni sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara administrasi negara ( Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ) dengan orang/badan hukum perdata sebagai akibat dari dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara.
Sementara itu menrut F.J. Stahl dalam karyanya Philosophie des rechts, pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai upaya pemenuhan terhadap teori Negara hukum, yang meliputi : Pertama, mengakui dan melindungi hak- hak asasi manusia ; Kedua, untuk melindungi hak-hak asasi tersebut maka penyelenggara Negara harus berdasarkan pada trias politica ; Ketiga, dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang ; Keempat, apabila dalam tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi ( adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang ) , maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Baca juga: Contoh gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan tujuan pembentukan PTUN itu, maka sebenarnya esksistensi PTUN sangatlah mendasar dalam sebuah negara hukum dan disamping itu sebagai institusi perlindungan terhadap warganegara dari sikap tindak administrasi negara yang sewenang-wenang. Disisi lain perlindungan pula bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Terkait dengan tujuan dan fungsi PTUN itu, maka jelas PTUN sebagai sebuah lembaga peradilan memiliki asas dan karakteristiknya sendiri dan berbeda dengan lembaga peradilan lainnya. Adapun asas dari PTUN adalah sebagai berikut:
Asas Praduga rechtmatig , yang mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap benar rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat ;
- Asas Pembuktian Bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986, kemudian dibatasi dengan ketentuan pada Pasal 100 UU5/1986;
- Asas Keaktifan Hakim ( dominus litis ), keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tentu menguasai betul peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar dikeluarkan keputusan yang digugat, sedangkan pihak Penggugat adalah orang perorangan atau badan hukum perdata yang dalam posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui betul peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya keputusan yang digugat;
- Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ( erga omnes ) , Sengkata TUN adalah sengketa diranah hukum public, yang tentu akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja.
- Sifat atau karakteristik dari suatu keputusan TUN yang selalu mengandung asas praesumptio iustae causa , yaitu suatu Keputusan Tata Usaha Negara ( Beschikking ) harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan ;
- Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau public yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu ;
- Asas self respect atau self obidence dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita seperti halnya dalam prosedur hukum perdata.