Oleh Boy Yendra Tamin
Belakangan ini soal-soal yang mengemuka dalam penegakan hukum, adalah berkaitan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum bermakna ganda, apalagi bila kasus itu melibatkan pejabat publik. Artinya sebuah keputusan pengadilan belumlah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, apabila ternyata putusan itu tidak sesuai dengan “aspirasi masyarakat”. Fenomena ini terjadi oleh adanya kecenderungan sebelum kasus itu disidangkan sudah terbentuk opini sedemikian rupa, sehingga pada saat suatu perkara diputus pengadilan berlainan dengan harapan publik kepastian hukum bagi pencari keadilan menjadi absurd.
Keadaan kehidupan penegakan hukum yang demikian, tidak terlepas dari pandangan terhadap hukum, dimana pada satu sisi hukum dipahami sebagai tujuan dan disisi lain ada paham yang menempatkan hukum bukanlah sebagai tujuan, melain hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Banyak orang yang terpancing untuk berhenti pada hukum, melupakan tujuan yang hendak dicapai melalui sarana ini. Diskursus yang berkembang, seakan-akan tidak beranjak dari persoalan tafsir mengenai kepastian hukum. Dalam kehidupan hukum dinegara kita, pada saat ini, soal kepastian dan keadilan hukum masih mejadi suatu debatable, dan ada kalanya hukum itu sekedar permainan logika dan kata-kata atas tafsir aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini Tb.Ronny R. Nitibaskoro Guru Besar Kriminilogi UI lebih jauh mengemukakan, bahwa tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan diperlukan adanya kepastian hukum. Ketentuan hukum positif yang berubah-ubah jelas membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan, bahkan dapat menimbulkan anarkhi dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi apabila terlalu berat berpijak secara berlebih-lebihan pada kepastian hukum akan menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai sesuatu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk, sekalipun rakyat dan negara harus dirugikan.
Dalam hal yang demikian, memang bisa jadi kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih untuk meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan demikian kepastian hukum itu seringkali hanya merupakan retorika untuk membela kepentingan yang menguntungkan kepentingan pihak tertentu. Betapa banyak rakyat dirugikan hanya karena alibi, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dipihak lain lagi, ada pendapat yang mengatakan begini; Politik pembangunan hukum di negara kita, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru masih sangat jauh dari gagasan yang tercermin salam pembukaan UUD 1945. Hukum kita masih terlalu jelas merupakan legitimasi penggunaan kekuasaan dan pemitosan superioritas bidang ekonomi dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Politik pembangunan hukum yang kita jalankan selama ini lebih banyak mengatas-namakan partisipasi rakyat dan pengklaiman nilai-nilai dan kebutuhan sekelompok elit sebagai nilai dan kebutuhan masyarakat lapis bawah.
Pendapat diatas memang sulit untuk dipungkiri melihat kenyataan yang ada, misalnya pada masa Orde Lama, dimana terlihat suatu sistem pemerintahan negara yang terbuka dan liberal yang oleh banyak pihak dipandang telah melahirkan kegagalan dalam usaha menegakkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum dan pembangunan hukum terabaikan. Hukum tidak berfungsi sebagai mestinya, termasuk kedalamnya lembaga peradilan.
Demikian pula pada zaman Orde Baru pranata-pranata hukum dibangun dengan tujuan; sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintahan; sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi; dan sebagai sarana untuk menfasilitasi proses rekayasa sosial. Sebagai akibat dari tujuan pembangunan hukum yang demikian, muncul pendapat yang mengemukakan, bahwa hukum belum berfungsi sebagai sarana untuk melindungi dan mengangkat harkat dan martabat rakyat, terutama rakyat miskin dan terbelakang.
Fenomena diatas akan menarik untuk ditelusuri bila dikaitkan dengan keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum. Fenomena ini pada gilirannya mengiring kita pada suatu pertanyaan, bagaimanakah perspektif politik hukum dalam negara hukum republik Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan sistem nilai yang dianut oleh bangsa-negara Indonesia. Pertanyaan ini akan membuat kening banyak orang berkerut. (***)