Oleh : Boy Yendra Tamin
Membicarakan penegakkan hukum, bagi sebagian orang sepertinya kita tengah membicarakan kinerja polisi, jaksa dan hakim dan pengacara. Kendenderungan demikian tidak bisa disalahkan, karena dalam keseharian kita memang polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang melakukan penegakkan hukum. Bahkan dalam peraturan perundang-undangan disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan penegak hukum itu adalah polisi, jaksa, hakim dan advokat (pengacara).
Namun kita tidak boleh terjebak dalam suatu pemikiran, bahwa penegakan hukum adalah semata-mata pekerjaan, polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Mengapa ? Dalam konteks ini, soal penegakkan hukum tidak seharusnya dipahami berjalan seiring dengan siapa yang dimaksud dengan penegak hukum dalam UU No.8 Tahun 1981. Penegak hukum yang disebutkan dalam undang-undang ini adalah dalam pengertian yang sempit. Sedangkan dalam pengertian yang luas meliputi tugas-tugas dari pembentuk hukum/undang-undang, hakim, jaksa, polisi, advokat, aparat pemerintah, pamong praja, lembaga kemasyarakatan dan eksekusi lainnya (Hendi Suhendi dalam Andi Hamzah (ed); 1986;141). Aparat penegak hukum itu memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya, bahkan saling menentukan meskipun ada pembagian fungsi dan tugas antara instansi tersebut.
Dengan demikian sukar dibantah, bahwa menelaah masalah-masalah hukum dan penegak hukum dalam rangka penegakan hukum kita tidak akan terlepas dari unsur-unsur sebagai berikut); (1) Hukum yang mengatur hal tersebut. (2) Penegak hukum yang berkaitan erat dengan penerapan hukum yang mengaturnya. (3) Masyarakat yang terkena akibat hukum tersebut. (Soerjono Soekanto; 1978)
Penegakkan hukum tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang, ini terutama bila dikaitkan dengan hukum tidak hanya sebatas penjaga ketertiban dan keamanan. Artinya, dalam penegakan hukum, hukum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yakni untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Singkatnya peranan penegakkan hukum adalah untuk menciptakan suatu kondisi dan prasarana guna kelansungan dan kesinambungan pembangunan, merupakan suatu unsure pendukung sekaligus pengaman bagi pelaksanaan pembangnan.Penegakan Hukum dan Kepemimpinan Masa Transisi.
Penegakan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat represif maupun prepentif. Kegiatan tersebut meliputi tindakan-tindakan baik yang berupa penindakkan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, usaha mengembalikan keadaan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku maupun usaha-usaha menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat (Ismail Saleh:1984;166). Dengan demikian tujuan penegakan hukum tidak lain adalah untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan dalam masyarakat dan negara yang tertip dan teratur guna melindungi hak setiap orang dari setiap gangguan dan perkosaan serta setiap orang dapat melaksanakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagaimana mestinya. Ujung dari tujuan penegakkan hukum yang demikian adalah untuk mensejahterakan masyarakat baik lahir maupun batin.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada dasarnya pemerintah (pemerintah daerah) adalah juga merupakan penegak hukum. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, pemerintah (eksekutif) adalah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan.
Penegakan hukum yang dilakukan pemerintah tentu saja berbeda konteksnya dengan tugas-tugas penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Penegakkan hukum yang dilakukan pemerintah adalah dalam konteks melaksanakan peraturan perundang-undangan yang sudah ditetapkan, dan ruang lingkupnya meliputi hampir keseluruhan sendi kehidupan masyarakat sebagai perujudan dari tugas-tugas pelayanan publik. Dalam melakukan pelayanan publik itu, segala tindak pemerintah harus berdasarkan hukum dan setiap tindakan warga negara juga harus berdasarkan hukum.
Secara juridis konstitusional sudah ditegaskan, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Penegasan tersebut mengandung makna bahwa hukum, harus diberikan peranan secara mendasar yakni sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan masyarakat, maupun kehidupan bangsa dan bernegara. Konsekuensi dari peranan hukum yang diposisikan sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah adanya pembinaan terhadap hukum nasional yang dilakukan secara terencana dan secara oprasional bertumpu pada tiga komponen pokok yakni norma hukum dan perundang-undangan, kesadaran hukum masyarakat dan aparat penegak hukum yang tanggap dan tangguh. Inti dari peranan yang demikian menunjukkan, bahwa hukum adalah alat penegakkan demokrasi. Apabila ternyata hukum dalam penegakkannya “zig-zag”, menurut hemat penulis bukanlah karena soal bagaimana mengubah fakta-fakta politik menjadi fakta hukum, melainkan merupakan soal pengabaian hukum, dan bukan persoalan hukum ke intinya. Hukum belum ditempatkan pada peranan dan kedudukannya yang benar dan sesungguhnya.
Itulah sebabnya mengapa ilmuwan politik William Ebennstein mengingatkan bahwa demokrasi bukan suatu proses yang alamiah. Demokrasi harus diikhtiarkan dari waktu ke waktu, dari masa ke masa. Tidak ada penguasa yang dengan sukarela menyediakan dirinya untuk berbaik hati demi demokrasi. Dimana atau kapan pun rakyat harus terus menerus mengawasi penguasa agar tetap berjalan sesuai rel menurut demokrasi yang ideal.
Subjektif penguasa dalam menterjemahkan demokrasi senantiasa bertolak belakang dengan tafsir rakyat atau oposan tentang kebijakan umum yang ideal bagi kesejahteraan rakyat. Soal kekuasaan adalah soal siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Penguasa selalu punya ide sendiri tentang segmen masyarakat mana yang pantas mendapatkan alokasi dana anggaran negara (daerah). Ide itu seringkali berseberangan dengan kemauan rakyat yang tak mendapat jatah. Itu sebabnya, penguasa tak bisa dibiarkan berjalan dengan kemauannya sendiri.
Pemimpin Pemerintahan Sekaligus Penegak Hukum.
Supremasi hukum yang merupakan salah satu ujung tombak bagi penegakkan demokrasi masih jauh dari kenyataan.. Secara umum, kondisi politik di Indonesia tidaklah kondusif. Artinya, kondisi yang terjadi saat ini tidak menjadi simultan untuk menciptakan perubahan kearah yang lebih baik, justeru cenderung menciptakan konflik. Padahal politik merupakan sebuah sinergi baru bagi suatu bangsa guna mewujudkan terjadinya perubahan kearah yang lebih baik, terutama bagi masyarakat. Apa yang terjadi saat ini masih dipandang sebagai masa transisi.
Karena itu bisa dipahami, bahwa memimpin pemerintahan dalam keadaan yang tengah berubah ini tidaklah mudah. Situasinya serba sulit dan serba sensitive, serta bisa berubah tanpa diduga. Hanya yang memiliki daya tahanlah yang mampu mengemban tugas-tugas kepemimpinannya. Tekanan massa, tekanan politik, hujatan, sepertinya sesuatu yang sukar dihindari bagi seorang pemimpin pemerintahan. Dalam konteks ini, seharusnya setiap orang yang mamajukan diri sebagai pempimpin negara/pemerintahan di Indonesia ianya haruslah menempatkan diri sebagai seorang penegak hukum, meskipun kepemimpinan itu diperoleh melalui proses politik atau jabatan yang diemban adalah jabatan politik, tidak menghapuskan eksistensinya sekaligus sebagai penegak hukum. Bahkan setelah terpilih sebagai pemimpin negara atau pemerintahan, dalam menjalankan tugas kepemimpinanannya ia tidak lepas dari hukum, karena negara yang ia pimpin adalah negara hukum dan bukan negara politik (?). *
*Boy Yendra Tamin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan Pengacara/Advokat.