Pernyataan tersebut dikemukakan salah seorang hakim adhoc Pengadilan Tipikor I Made Hendra dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor dengan sejumlah hakim adhoc, di ruang rapat Badan Legislasi (Baleg) gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/5). "Kami juga ingin ada perkara yang dibebaskan, tapi bukti yang kami dapat dari KPK cukup lengkap. Kalau ada bukti yang minim, bisa jadi ada perkara yang diputus bebas," ujar Hendra.
Ia mengatakan hal tersebut menjawab pertanyaan anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor, Patrialis Akbar, yang mempersoalkan kecenderungan hakim adhoc "bertangan besi" sehingga kerap menjatuhkan putusan lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum.
Terkait ketidakikhlasan para hakim adhoc untuk melepas jabatan di luar profesi hakim sebagaimana dilontarkan Patrialis, Hendra berpendapat bahwa hal itu tergantung pada diri masing-masing hakim.
"Biasanya orang-orang kampus itu tidak mau melepaskan jabatan fungsionalnya di universitas karena lebih sejahtera jadi dosen dibanding hakim Tipikor. Namun, bukan berarti tugasnya sebagai hakim adhoc di Pengadilan Tipikor tidak dilakukan secara total. Karena itu, saya berharap jajaran Pansus tidak meragukan totalitas hakim adhoc," katanya.
Jika rekrutmen hakim adhoc mensyaratkan tidak memperbolehkan merangkap jabatan, hal itu sama artinya telah menutup pintu bagi orang-orang di perguruan tinggi untuk menjadi hakim adhoc.
Sementara itu, Ketua Pansus Dewi Asmara mengingatkan agar hakim adhoc tetap menjunjung tinggi prinsip kemandirian hakim. Berdasarkan prinsip ini, jika ada vonis bebas dari hakim karier, hal tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari kemandirian hakim.
Hakim adhoc, lanjut Dewi, tidak sepatutnya merasa lebih tinggi ketimbang kolega mereka dari kalangan karier. "Sepengetahuan saya, konsep kehakiman itu ada tiga, yaitu mandiri, bebas, dan merdeka, dan ini merupakan amanat UUD 1945. Ini juga arwah code of conduct para hakim dalam mengadili tindak pidana korupsi. Jadi, tidak bisa kalau di sana ringan putusannya, di sini harus berat atau sebaliknya," katanya.
Terkait komposisi hakim yang terdapat pada Pengadilan Tipikor, Hakim Kasasi Perkara Tipikor Krisna Harahap mengharapkan, komposisi hakim adhoc di Pengadilan Tipikor mendatang menjadi dua hakim karier dan tiga hakim nonkarier.
"Komposisi hakim dalam RUU Pengadilan Tipikor tetap harus tiga dari hakim adhoc dan dua dari hakim karier. Komposisi seperti ini merupakan format terbaik dalam pengadilan korupsi. Komposisi kembali ke UU, yaitu tiga adhoc dan dua karier itu sudah baik," ujarnya.
Namun I Made Hendra berpendapat, substansi RUU Pengadilan Tipikor, khususnya yang tercantum dalam Pasal 27 tentang Komposisi Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor, posisi ketua majelis tidak "eksklusif" untuk hakim karier, tetapi juga hakim adhoc.
"Kali ini kita minta kedudukan ketua majelis hakim bukan hanya dari kalangan karier, tapi membuka kesempatan bagi hakim adhoc juga. Oleh karena itu, kita usul dalam Pasal 27 bahwa majelis hakim diketuai oleh seorang hakim yang berasal dari hakim karier dan hakim adhoc," ujarnya.
Di pasal itu, kata dia, sebenarnya tidak eksplisit disebutkan bahwa posisi ketua majelis dijabat oleh hakim dari kalangan karier. Pasal 27 ayat (3) hanya menyatakan penentuan mengenai jumlah dan komposisi hakim majelis ditetapkan oleh masing-masing ketua pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus per kasus.
Pengadilan tipikorPenyerahan kewenangan penentuan majelis kepada ketua pengadilan itulah, katanya, yang kemungkinan menjadi alasan kekhawatiran para hakim adhoc. Karena, ujar Hendra, ketua pengadilan tinggi cenderung akan berpihak kepada koleganya sesama hakim karier untuk dipilih menjadi ketua majelis.
Mendukung pendapat rekannya, Krisna Harahap mengatakan, berdasarkan pengalaman selama lima tahun di pengadilan korupsi, hakim adhoc juga memiliki kapasitas yang tidak kalah bagusnya dibandingkan dengan hakim karier. Untuk itu, ia meminta agar ketua majelis hakim tidak hanya dipilih dari kalangan hakim karier, tapi juga dari hakim adhoc.
Sementara itu, pengamat hukum Boy Yendra Tamin mendesak DPR-RI agar segera mengesahkan RUU Tipikor menjadi UU. Menurut dia, tak ada alasan bagi DPR mengulur-ulur pengesahan tersebut, apalagi waktu yang tersisa tinggal lima bulan lagi. (Sugandi)