Oleh: Boy Yendra Tamin
Kata “kekuasaan” tidak asing bagi kita, bahkan bagi orang awam sekalipun. Kekuasan acapkali melahirkan masalah-masalah yang sukar untuk dipecahkan. Mengapa ? Dalam penyelenggaraan suatu negara, tindakan administrasi negara (pemerintah) seringkali melahirkan konflik atau persengketaan antara pemerintah dengan warganegaranya atau dengan badan tertentu. Seringkali tindakan administrasi negara dirasakan warga negara sebagai tindakan sewenang-wenang, bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai rasa keadilan masyarakat.
Kita paham betul, bahwa kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule end the ruled); satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi dari pada yang lain, dan ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Paksaaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.
Berhadapan dengan arti dan kecenderungan kekuasaan yang demikian, maka tidak mengherankan bila muncul berbagai ide dan gagasan bagaimana suatu kekuasaan ditata dan dijalankan. Hal ini erat kaitannya dengan adanya kecenderungan kekuasaan itu disalahgunakan oleh yang memperolehnya. Sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen, bahwa:
The word “power” has diffrent meanings in these diffrent usages. The power of the state to wich the people is subject is nothing but the validity and efficacy of the legal order, from the unity of wich is derived that of the territory and of the people. The “power” pf the state must be the validity and effecacy of the national legal order, if sovereignity is to be considered as a quality of this power.
Dengan eksistensi administrasi negara dalam negara kesejahteraan sebagaimana dikemukakan di atas, maka kemungkinan administrasi negara melanggar kepentingan rakyat menjadi sangat besar. Administrasi negara dalam melaksanakan semua tugasnya memerlukan kemerdekaan atau kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang mendesak yang peraturan penyelesaiannya belum ada. Disisi lain, tindakan administrasi negara dengan dalih untuk kepentingan umum atau melaksanakan peraturan perundang-undangan yang meniadakan atau “menindas” kepentingan warga negara tidak jarang melahirkan masalah-masalah yang sulit dicarikan penyelesainnya. Akibatnya sukar dihindarkan timbulnya sengketa antara warga negara dengan administrasi negara.
Potensi kemungkinan terjadinya sengketa antara administrasi negara (pemerintah) dengan warga negara sangat besar. Hal ini dikarenakan negara Indonesia adalah salah satu negara yang menggunakan tipe walfare state sebagaimana terbukti dari (Muchsan:1982;70):
1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada kesejahteraan dari pada warganya;
2. Dalam aninea ke empat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.Untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang demikian, maka di dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu kepada administrasi negara diberikan “freies Ermessen” yaitu suatu kebebasan. Akan tetapi, kebebasan yang diberikan kepada administrasi negara itu tidaklah berarti tanpa batasan. Sikap-tindak administrasi negara tidak terlepas dari prinsip-prinsip negara hukum (modern) serta dari negara hukum Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Namun sekali lagi, sejalan dengan berkembang dan bertambah luasnya tugas-tugas administrasi negara dalam negara kesejahteraan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya sengketa antara administrasi negara dan warganya.
Mengapa Sengketa
Mengapa dipakai istilah “sengketa” dalam hal terjadi persoalan hukum antara administrasi negara dengan warganya atas sikap-tindak administrasi negara, bagi banyak orang tidak begitu dipermasalahkan, apalagi bagi kalangan masyarakat awam. Padahal penggunaan isitilah “sengketa” itu memiliki makna tersendiri dan sekaligus menjelaskan pada penyelesaiannya. Karena itu perlulah kiranya, kita kedepankan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sengketa itu menurut pengertian umum dan dari sudut pandang hukum.
Dalam pengertian umum, secara leksikal Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) menjelaskan, bahwa arti kata “sengketa” itu adalah: 1) sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran, perbantahan; 2) Pertikaian; perselisihan; 3) perkara, dll (dl pengadilan)( KUBI: 1983; 1952). Dari Pengertian yang diberikab KUBI terhadap kata “sengketa” cenderung mengarahkan pikiran kita pada keadaan keseharian, dan belum memberikan makna kata “sengketa” sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan hukum. Karena itu untuk mendapatkan pengertian kata “sengketa” sebagai sesuatu yang berkaitan dengan lapangan hukum, maka pengertian sengketa yang diberikan Henry Campbell Black akan mendekatkan kita pada makna kata “sengketa” dalam persepektif hukum. Henry Campbell Black mendefenisikan kata sengketa sebagai berikut (Henry Campbell Black:1999; 327):
Dispute. A conflict or contraversy; a conflict of claim or rights; an assertion of a right, claim, or demand on one side; met by cotrary claim or allegations on the other. The subject of litigation; the matter for wicht a suit is brougt and upon which issue is joined, and in relation to which jurors are called and witnesses examined.
Mencermati defenisi dari kata “sengketa-Dispute” sebagaimana dikemukakan Henry Campbell Black, maka jelaslah bahwa dalam suatu sengketa tidak hanya berarti perselisihan para pihak an-sich, tetapi perselisihan yang diiringi “tuntutan”. Dalam kehidupan sehari-hari perselisihan tidak senantiasa diikuti dengan tuntutan, tetapi adakalanya berupa “cek-cok” belaka, dan tidak demikian halnya dalam lapangan kehidupan hukum, sengketa senantiasa diikuti dengan tuntutan.
Perselisihan dalam suatu sengketa mengandung dan melahirkan “tuntutan” (“gugatan”)- “permintaan” dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Tuntutan “ditasbihkan “ sebagai atribut primer dari suatu sengketa (Suparto Wijaya: 1999 ; 7). Demikian pula halnya dengan sengketa tata usaha negara bukanlah sekedar adanya persesilihan dalam arti adanya perbedaan pendapat, pengtengkaran, pembantahan antara administrasi negara dan warganya, melainkan diikuti oleh adanya tuntutan, gugatan, permintaan dari warga negara terhadap administrasi negara berkaitan dengan sikap tindak-administrasi negara.
Karena itu dengan hanya memahami rumusan Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan, bahwa : “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang dan badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku”, maka kita tidak akan mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai makna sengketa tata usaha negara.
Dari sejarah penyusunan UU No.5 Tahun 1986 pemakaian istilah “sengketa” tata usaha negara menimbulkan perdebatan. Inti dari perdebatan itu antara lain, bahwa pada satu pihak ada pendapat yang memandang istilah “sengketa” dipandang sebagai istilah yang baku dalam bidang hukum perdata. Di pihak lain pendapat yang memandang istilah sengeketa tidak hanya dipakai dalam bidang hukum perdata saja dengan mengajukan contoh antaranya UU tentang Mahkamah Agung yang juga menggunakan istilah sengketa. Iinilah setidaknya dasar pertimbangan pemerintah memilih istilah “sengketa” dalam peradilan Tata Usaha Negara.
Pemikiran pemerintah menggunakan istilah sengketa itu tidak didasarkan pada pengertian kata “sengketa” itu dari pandangan hukum. Istilah sengketa diambil pemerintah sebagai istilah yang umum. Dengan dianutnya istilah sengketa itu dalam Peradilan tata usaha negara, maka antara tergugat dan penggugat sama kedudukannya. Jadi tidak ada anggapan bahwa pemerintah atau badan hukum dan pejabat TUN itu lebih kuat kedudukannya jika dibanding dengan orang atau badan hukum privat (Wicipto Setiadi:1995;69). Padahal sebagaimana telah dikemukakan, bahwa dalam suatu sengketa tidak hanya berarti perselisihan para pihak an-sich, tetapi perselisihan yang diiringi “tuntutan”. Namun demikian, pemikiran pemerintah atas penggunaan istilah “sengketa” itu tidak pula sepenuhnya tepat jika dikaitkan dengan pengertian Penggugat. Hal ini memang memperlihatkan kehadiran peradilan tata usaha negara dalam suasana setengah hati. (***