Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
A.Pengantar
Salah satu pilar ketatanegaraan yang esensial dalam negara demokrasi adalah menyangkut sistem peradilan. Namun sampai saat ini sistem peradilan di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah masalah walaupun berbagai pembenahan telah dilakukan. Pembenahan yang dilakukan belum memberikan jawaban yang memuaskan bagi para pencari keadilan. Sejumlah masalah yang muncul dalam proses peradilan menunjukkan realitas dari sistem peradilan di Indonesia, bahkan suatu proses peradilan “ricuh” merupakan keadaan yang (mungkin) tidak pernah kita saksikan beberapa tahun yang lalu. Selain mencengangkan, ia sekaligus sebagai sebuah koreksi dan evaluasi bagi upaya penciptaan sistem peradilan yang bersih.
Berbagai argumentasi bisa dikemukakan, mengapa karut-marut dunia peradilan di Indonesia belum juga usai, bahkan sebagian orang menilainya makin memburuk. Di lain pihak, bisa jadi karena adanya nilai-nilai yang berubah dalam masyarakat yang tidak singkron dengan ruh dari sistem peradilan Indonesia. Ada kemungkinan sebagai dampak dari tidak adanya grand desain pembangunan hukum pasca reformasi di Indonesia dan yang berkembang adalah pertentangan aliran hukum. Kemungkinan lain, sistem peradilan itu berjalan maunya menurut kehendak publik dan bukan menurut kehendak aturan hukum yang menjadi landasan berkerjanya sistem peradilan.
Disamping itu jangan dilupakan, bahwa aspek dasar yang sangat menentukan berhasil tidaknya upaya perbaikan sistem peradilan dan penegakan hukum dan keadilan itu adalah masalah manajemen.(2) Menajemen peradilan di Indonesia yang selama ini tertutup belum sepenuhnya berubah ke sistem manajemen terbuka. Arti pentingnya, manajemen itu dapat dilihat sebagai upaya bersama aparatur peradilan untuk mencapai tujuan dibentuknya pengadilan, yaitu memberikan layanan keadilan yang terpercaya bagi para pencari keadilan. Karenanya pembicaraan mengenai sistem peradilan yang bersih dan bebas “mafia hukum” masih akan menjadi isu sentral pada masa-masa mendatang bila tidak disertai dengan perbaikan manajemen peradilan.
Sebelum membicara sistem peradilan yang bersih dan bebas “mafia hukum”, perlulah terlebih dahulu dijernihkan soal istilah “mafia hukum” yang amat popular saat ini, setidaknya sejak merebaknya peristiwa “cicak vs buaya” yang terkenal itu. Bahkan kemudian hiruk-pikuk soal mafia hukum bergerak kearah yang lebih spesifik dengan munculnya istilah “mafia pajak”, “mafia kasus” dan sebagainya. Pertanyaan pentingnya, apakah sebenarnya mafia hukum itu ? Bagi banyak orang tidak terlalu penting untuk mencari tahu, apalagi mendalaminya. Sebab pada saat publik mendengar kata “mafia hukum”, secara refleks pemikiran publik mengarah pada perilaku penegak hukum yang “buruk, bobrok, atau korup” dalam proses penegakkan hukum (proses peradilan) dan hal itu tidak bisa disalahkan. Setidaknya setiap kali terbongkor perilaku “buruk” dalam proses peradilan oleh media seringkali disinggungkan dengan istilah “mafia hukum”.
Meskipun demikian, -- tidaklah bermaksud memberikan klarifikasi terhadap pemahaman publik itu--, sebenarnya istilah “mafia” tidak dikenal dalam dunia hukum. Istilah “mafia” itu lazimnya berkaitan dengan suatu perkumpulan rahasia yang bergerak dibidang kejahatan (criminal). Pada tataran ini, maka istilah “mafia hukum” lahir terdorong oleh adanya tindakan “kejahatan” dalam proses penegakkan hukum. Sementara itu dalam ranah bahasa Indonesia istilah “mafia hukum” tidak pula dikenal dan yang dikenal adalah istilah “mafia peradilan” yang diartikan sebagai persekongkolan diantara penegak hukum dengan pencari keadilan.
Memahami istilah “mafia hukum” dan “mafia peradilan” itu. maka apakah kemudian istilah “mafia hukum” itu ruang lingkupnya lebih luas dari “mafia peradilan”, atau “mafia peradilan” bagian dari “mafia hukum”, ia boleh jadi demikian. Akan tetapi, sepertinya mafia hukum itu jauh lebih luas dari mafia peradilan dan karenanya bicara soal mafia Hukum akan berkaitan dengan semua sub-sistem hukum. Sehingga penjernihan atas istilah “mafia hukum” itu sangatlah penting, karena antara hukum dan peradilan adalah dua hal yang berbeda, namun memiliki hubungan yang integral. Adalah tidak fair juga, apabila setiap kali orang mendengar kata “mafia hukum” orang mengarahkan pikirannya pada peradilan atau pengadilan.
Walau pun tidak dikenal dalam ranah Bahasa Indonesia istilah “mafia hukum”, tetapi istilah tersebut telah menjadi istilah resmi negara, yakni dengan diterbitkan Keppres No 37 Tahun 2008 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Sayangnya, dalam Keppres dimaksud juga tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan “mafia hukum”, bahkan dilihat dari landasan hukum dari pembentukan Keppres tersebut yakni pasal 4 UUD 1945 dan UU No 28 Tahun 1999 juga tidak dikenal atau tidak ditemukan istilah “mafia hukum”.
Atas beberapa pertimbangan di atas, maka pembicaraan terhadap sistem peradilan, pada kesempatan kali ini lebih difokuskan pada masalah sistem peradilan yang dikaitkan dengan “mafia peradilan”. Pembatasan itu setidaknya berguna bagi setiap upaya dalam rangka mewujudkan sistem peradilan yang baik (bersih), Karenanya penggunaan istilah yang salah akan mempengaruhi setiap upaya mengatasi masalah sebagaimana juga halnya dengan masalah-masalah pada sistem peradilan.
C. Sistem Peradilan Indonesia dan Perkembangannya.
Tidak jarang peradilan dipersamakan orang dengan pengadilan. Dalam banyak kesempatan pembicaraan mengenai sistem peradilan cenderung yang dibicarakan pengadilan. Dalam konteks ini, sistem peradilan diartikan sebagai fungsi mengadili atau proses yang ditempuh dalam mencari atau menemukan keadilan, sedangkan pengadilan adalah instasi resmi yang merupakan salah satu pelaksana fungsi mengadili yang dilengkapi dengan aparat resmi yang berprofesi hakim. Dengan demikian, menyoal sistem peradilan akan terkait dengan instusi penegak hukum lainnya proses mengadili. Meskipun dilain pihak, pengadilan menjadi sangat dominan mendapat sorotan atau pusat perhatian disetiap kali membicarakan sistem peradilan, Hal itu dalah wajar, karena pengadilan memempati fungsidan fungsi sentral dalam proses peradilan.
Setiap negara mempunyai sistem peradilannya sendiri, tidak terkecuali negar Indonesia. Secara historis, Negara Indonesia sebenarnya tidak memiliki sistem peradilan sendiri dan sistem peradilan yang ada di Indonesia merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, kecuali mungkin sistem peradilan adat. Sistem peradilan Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, terutama pasca era reformasi dan setelah UUD 1945 diamandemen. Perubahan mendasar secara konstitusional tampak pada kekuasaan kehakiman yang tidak lagi sepenuhnya berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sebelum UUD 1945 diamandemen kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang, dan tidak demikian halnya setelah UUD 1945 diamandemen, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dualisme pada badan peradilan Indonesia juga telah diakhiri, dimana saat ini badan peradilan Indonesia sudah berada dalam satu atap, sehingga peradilan yang bebas itu (seharusnya) bukan lagi sebatas harapan. Artinya, amanat kontitusi yang menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, merupakan energi bagi pencapaian sistem dan proses peradilan yang bersih. Sehingga peradilan di Indonesia benar-benar dirasakan peran dan fungsinya sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan dan tidak yang meragukannya.
Peradilan di Indonesia dulu sering dikeluhkan banyak orang, dan acap kali dijadikan alasan pembenar terwujudnya independensi hakim dan kebebasan pengadilan, dan sekarang boleh dikatakan tidak lagi masalah. Akan tetapi, dalam berbagai literatur maupun pandangan ahli dan publik, dikatakan sistem dan proses peradilan di Indonesia belum memberikan kontribusinya yang maksimal sebagai salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Belum terlihat titik temu antara apa yang berjalan pada proses peradilan dengan apa yang diharapkan masyarakat pencari keadilan. Banyak fakor mengapa hal itu bisa terjadi, dan ketiadaan grand desain pembangunan hukum di Indonesia boleh jadi menjadi penyebab yang tidak disadari. Di samping itu munculnya gerakan penolakan terhadap positivisme hukum di Indonesia yang kian kuat, sepertinya memberikan dampak yang luar biasa terhadap konsistensi sistem peradilan di Indonesia, khususnya terhadap proses peradilan.
Realitas dari sistem dan proses peradilan di Indonesia saat ini, justeru berkembang dalam ketiadaan acuan, bahkan tragisnya masalah-masalah yang dihadapi ditangani dengan solusi temporer dan terkadang kasuitis, sehingga nenjadikan sistem dan proses peradilan menjadi tidak jelas dan membingungkan. Kasus Bibit-Chandra adalah contoh kasus yang sangat mudah dipahami untuk melihat bagaimana “kerumitan” –untuk tidak mengatakan kekacauan-- pada proses peradilan Indonesia, dan menyisakan pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya proses peradilan di Indonesia. Contoh lainnya, kita tentu belum lupa dengan peristiwa walk-out tiga orang hakim ad-hoc Pengadilan Tipikor yang memeriksa perkara mantan hakim yang menjadi penasehat hukum Probosutedjo, Harini Wijoso. Aksi walk-out itu dilakukan karena ketua Majelis Hakim menolak memanggil Ketua Mahmakah Agung sebagai saksi dalam perkara tersebut sebagaimana diminta Jaksa Penuntut Umum.
Peristiwa walk-out tiga orang hakim Pengadilan Tipikor itu memang tidak dalam perspektif mafia peradilan, tetapi berkorelasi dengan tidak berkembangnya dengan baik apa yang disebut dengan judicial discretion yaitu sikap imparsial dan independen dalam pemeriksaan perkara (proses peradilan). Sebaliknya, dalam konteks putusan PN Jakarta Selatan atas kasus Bibit-Candra yang berlansung dalam perspektif judicial discretion, justeru dicurigai adanya indikasi pelemahan terhadap KPK, bahkan putusan hakim tersebut dinilai janggal.
Banyak contoh kasus yang dapat dikemukakan untuk memahami sistem peradilan Indonesia dengan segenap aspeknya, tetapi yang terpenting sebenarnya dari kasus-kasus itu adalah, bahwa sistem dan proses peradilan di Indonesia belum menemukan bentuknya yang ideal dan belum terjaga konsistensinya. Misalnya, dalam persoalan sengketa Pilkada, pada awalnya pengadilan Tata Usaha berwenangan menangani soal keputusan pencalonan, belakangan tidak bisa lagi. Dalam sengketa hasil Pilkada awalnya ditangani oleh Pengadilan Tinggi, belakangan dialihkan ke Mahkamah Konstitusi.
Selain realitas-realitas yang terlihat dalam proses peradilan di Indonesia itu belum lagi termasuk laporan masyarakat atau pencari keadilan terhadap hakim dalam mengadili suatu perkara, kesemuanya merupakan bukti bahwa sistem peradilan di Indonesia masih mencari bentuknya yang ideal dan disisi lain harus pula dipertimbangkan sistem peradilan yang menggantungkan bentuknya pada kehendak publik yang cenderung mudah berubah dan rentan terhadap mafia peradilan. Sementara itu sistem peradilan yang teruji dan konsistensinya terjaga membutuhkan komitmen, sehingga tidak seorang pun meragukan setiap putusan pengadilan sebagai hasil dari proses peradilan.
D. Peradilan Yang Bersih dan Bebas Mafia Peradilan.
Clive Walker mengemukakan, bahwa kegagalan penegakkan keadilan terjadi apabila;
Whenever suspect or defendant or convicts are treated by the State in breach if their rights, whether because of, first, deficient processer or , second, the laws which are applied to them or, third, because there is no factual justification for applied treatment of punishment; fourth, whenever suspects or defendants or convicts are treated adversely by the State to a proportionate wxtent in camparison with the need to protect rights of others. Or fifth, whenever the rights of other are not effectively or proportionately protected or vindicated by State action against wrongdoers, or sixth, by state itself (4)Lebih lanjut Walker menjelaskan bahwa keenam kategori yang menyebabkan terjadinya kegagalan penegakkan keadilan ini dapat menimbulkan suatu kegagalan yang tidak bersifat lansung (indirect miscarriage) yang mempengaruhi komunitas masyarakat secara keseluruhan. Suatu penghukuman yang lahir dari ketidak jujuran atau rekayasa akan menimbulkan tuntutan terhadap legitimasi negara yang berbasis pada nilai-nilai sistem peradilan pidana yang seharusnya menghormati hak-hak induvidu,(5) dan tentu secara subtansial berlaku pula terhadap sistem peradilan lainnya. Apa yang dikemukakan Walker itu, setidaknya menjadi batu lompatan dalam membicarakan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan dalam perspektif lain selain berupa bentuk usulan kegiatan atau program. Apalagi jika dipahami, bahwa paradigma ketatanegaraan yang baru di Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan mau tidak mau akan menyentuh soal-saoal yang berkaitan dengan sistem peradilan.
Telah disinggung sebelumnya, bahwa peradilan adalah suatu fungsi mengadili atau proses yang ditempuh dalam mencari dan menemukan keadilan dan fungsi mengadili itu salah satu pelaksananya adalah pengadilan. Bila kita ingin mengetahui bagaimana wajah sistem dan proses peradilan di Indonesia, maka sejatinya bisa ditemukan atau nampak pada putusan pengadilan (hakim) beserta prosesnya ditambah dengan administrasi peradilan.
Dengan demikian, membicarakan pengadilan, sebenarnya juga bicara soal sistem peradilan. Bicara pengadilan berarti bicara hakim, karena antara pengadilan dan hakim merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan. Hakim menjadi entitas yang utama yang memaknai kata “pengadilan” yang melaksanakan fungsi mengadili. Baik buruknya rul of law pada suatu negara tergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, alih-laih putusan hakim. Apakah kemudian, jika terjadi tingkat kepercayaan terhadap pengadilan rendah akan sekaligus menunjukkan sistem peradilan (pengadilan) suatu negara tidak bersih dan sarat dengan mafia peradilan ?
Tidaklah selalu demikian, adakalanya rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pengadilan berakar pada perbedaan, kecenderungan paham antara hakim dengan pandangan, paham yang berkembang di luar pengadilan. Misalnya saja, putusan-putusan pengadilan di Indonesia seringkali dikritisi sebagai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan (hakim) di Indonesia tidak jarang ditunding sebagai corong undang-undang. Pandangan demikian akhirnya sampai pada suatu tuntutannya agar hakim dalam memutuskan perkara mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat dan menggunakan hati nuraninya dalam memutus setiap perkara yang diadilinya. Kritik terhadap putusan pengadilan serupa itu mendapat dukungan luas, manakala putusan pengadilan tidaklah sesuai dengan keinginan publik. Kondisi serupa itu secara tidak langsung turut membentuk ketidak percayaan publik terhadap pengadilan.
Sorotan dan kritik terhadap pengadilan di Indonesia seperti dikemukakan di atas, tentu tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya pandangan dan paham sistem peradilan yang beakar pada cammon law system, sementara peradilan di Indonesia tumbuh dan berkembang dibawah civil law system. Pada sistem peradilan cammon law putusan-putusan pengadilan didasarkan pada doctrine of presedent yang merupakan sumber hukum, sedangkan pada civil law putusan pengadilan didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan teori-teori. Kemudian pada cammon law system , salah atau tidaknya seorang yang diajukan ke pengadilan jury yang menentukan dan hakim hanya memberikan hukumannya. Berbeda dengan pengadilan dibawah sistem civil law, hakim yang menentukan salah atau tidak salahnya seseorang yang diajukan ke pengadilan. Apa artinya ? Ada kemungkinan munculnya kecurigaan terhadap peradilan Indonesia sebagai peradilan yang tidak bersih dan sarat mafia peradilan, bersumber pada ketidak puasan terhadap civil law system yang dianut peradilan di Indonesia. Termasuk pula ke dalam hal ini imbas dari dari “digugatnya” penerapan positivisme hukum di Indonesia selama puluhan tahun dan dianggap sebagai “biang” jauhnya hukum dari rasa keadilan masyarakat.
Di samping itu, sistem peradilan Indonesia yang menganut sistem civil law makin “miskin” dengan tradisi sebagaimana yang terjadi pada sistem peradilan yang menganut common law system. Dimana dalam tradisi cammon law yang sangat erat dengan filosofi, eksistensi dan perkembangan dan pengadilan adalah bagaimana kuatnya independensi dan kekuasaan hakim dalam sistem ini,(6) dan sebaliknya tidak demikian dalam sistem civil law. Dalam sistem common law, Indepensi hakim tidak sekedar imparsialitas hakim dari pengaruh eksekutif, legislative, bahkan dari internal lembaga yudikatif itu sendiri.(7) Independensi dalam sistem cammon law bermakna pula sebagai kekuatan/power, paradigma, etika, dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakan hukum demi kepastian dan keadilan. Bahkan disimpulkan, dalam common law system memiliki ciri khas hakim yang “sangat berkuasa” yang tidak dikenal dalam civil law system yang pada gilirannya menjadikan pengadilan sangat berwibawa.(8)
Apa yang disebut terakhir, –wibawa pengadilan—dalam sistem peradilan Indonesia boleh dikatakan “terancam” kehilangan wibawa. Tidak jarang terjadi seperti diberitakan dan diyangkan media sidang pengadilan “ricuh”, hakim dan pengadilan di demo, pengunjung sidang membuat gaduh diruang sidang saat persidangan berlansung. Lalu, putusan hakim mendapat kritik tajam dari publik, dan bahkan ada kecenderungan agar hakim membuat keputusan sesuai dengan kehendak publik. Kesemua ini tentulah memuat banyak hal dan belum tentu sepenuhnya berkaitan dengan sistem peradilan yang bersih atau sebagai indikasi bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak bersih dan sarat mafia peradilan.
Memang ada sejumlah masalah dalam proses peradilan di Indonesia baik yang melibatkan hakim, jaksa, advokat atau pencari keadilan dan orang-orang tertentu yang menciderai proses peradilan, tetapi kasus-kasus itu tidaklah seluruhnya sebagai acuan untuk mewujudkan sistem peradilan yang bersih secara subtansial, karena masih banyak hakim yang baik di Indonesia. Meski dampaknya sangat besar terhadap eksistensi peradilan di Indonesia, tetapi sistem peradilan yang bersih itu gantungannya adalah pada seberapa besar kepercayaan publik terhadap dunia peradilan yang sangat erat kaitannya dengan independensi hakim dan seberapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh para hakim di Indonesia. Dalam konteks inilah tidak boleh terjadi, rendahnya kepercayaan terhadap dunia peradilan karena diciptakan, atau pengaruh dari perbedaan paham hukum dan lain sebagainya.
Karena sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan ditentukan oleh seberapa besar tersedianya ruang dan dukungan bagi independensi dan kekuasaan bagi para hakim dalam sistem peradilan Indonesia, maka dengan mudah dapat disimpulkan jika digunakan beberapa penelitian/survey menyebutkan pengadilan sebagai salah satu lembaga yang korup. Di lain pihak peran contempt of court power tampak “melemah”. Selain persidangan “ricuh” kerap terjadi putusan-putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa dijalankan karena pihak yang kalah merasa putusan hakim tidak benar. Meskipun demikian semua variable data terhadap tingkat kepercayaan terhadap dunia peradilan itu haruslah dipilah dan tidak melulu pada persepsi publik yang heterogen dan bahkan subjektif dan memahami hukum dengan caranya sendiri.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, pertanyaan pentingnya adalah, apakah indikasi-indikasi itu benar-benar sebagai tanda sistem peradilan di Indonesia sudah tidak bersih dan sarat mafia peradilan ? Pertanyaan ini sebenarnya tidak mudah untuk dijawab dan tidak cukup dijawab dengan dijawab “ya” dan ‘tidak”, karena ada banyak factor yang mempengaruhi sistem peradilan di Indonesia saat ini, salah satunya adalah faktor transisi dalam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan, dan sistem politik politik yang tengah berubah, sistem demokrasi yang belum menemukan bentuknya, dan disisi lain munculnya penolakkan terhadap paradigma hukum sebagai alat pembaharuan telah digunakan selama puluhan tahun pada masa Orde Baru, merupakan factor-faktor yang mempengaruhi dan sekaligus mengantarkan sistem peradilan di Indonesia kehilangan arah. Sistem peradilan Indonesia tumbuh berkembangan dalam situasi perbedaan paham hukum dan ketiadaan grand desain pembangunan hukum.
Siatusi dunia peradilan Indonesia serupa itu, akhirnya justeru menyisakan pertanyaan, apakah benar di Indonesia saat ini ada upaya bagi perujudan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan ? Kalau toh ada, sistem peradilan yang bersih semacam apa yang akan diwujudkan ketika Indonesia tidak punya grand desain pembangunan hukum. Pada gilirannya eksistensi peradilan akan tercerabut dari akarnya dan bahkan mungkin kebebasan hakim (pengadilan) adalah kebebasan bagaimana menurut publik. Gejala terlihat, ketika pengadilan (hakim) memberikan perhatian terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik, padahal setiap kasus harus diberikan perhatian yang sama. Tidak boleh ada pengadilan (hakim) melakukan fungsi mengadilinya memikirkan sorotan dan tekanan publik. Demikian pula halnya, tidak boleh ada suatu proses peradilan harus dihentikan atas saran –untuk tidak menyatakan pertimbangan—pimpinan eksekutif dan lain-lain sebagainya yang mempengaruhi kebebasan pengadilan dan indepensi hakim dalam proses peradilan.
Kebebasan pengadilan, dan independensi hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Meskipun dibalik indepensi hakim dan kebebasan pengadilan itu ada pengawasan dibelakangnya.
Dalam kaitan itu, dalam upaya menciptakan peradilan yang bersih dengan berbagai indikasi yang mengelilinginya, maka harus diputuskan apakah sistem peradilan Indonesia akan tetap tumbuh dan berkembang dibawah civil law system secara utuh, dimana peran hakim tidak lebih dari menerapkan undang-undang dengan suatu fakta. Hakim hanyalah mengalisis fakta-fakta dalam perkara yang sedang ditanganinya. Undang-undang kemudian diterapkan pada fakta yang ditemui dalam perkara yang disidangkan. Hasil dari proses peradilan seperti inilah yang kemudian seringkali tidak bisa diterima para pencari keadilan dan sekaligus mengusik independesi pengadilan (hakim) di Indonesia.
Berbeda dengan sistem peradilan Anglo saxon, Hakim pada umumnya menggunakan metode induktif (berfkir khusus ke umum). Pada asasnya mereka mendasarkan putusannya pada kasus in-konkreto (aturan khusus) dan aturan yang berlaku khusus hanya untuk kasus in-konkreto “ditarik” ke atas menjadi aturan umum yang berlaku sebagai preseden hakim selanjutnya dalam perkara sejenis. Asas biding presedent memungkinkan seorang hakim akan mampu lebih cepat mengambil keputusan dan menerapkan suatu aturan hukum. Hakim terikat dengan putusan hakim sebelumnya mengenai perkara sejenis, yakni hanya bagian yang dinamai rotio decidendi. Sebaliknya Di Indonesia, tidak jarang terjadi putusan hakim berbeda terhadap kasus yang sama dan kemudian melahirkan kecurigaan publik terhadap putusan hakim dimaksud.
Beberapa hal yang telah diuraikan di atas, memang tidak terlihat entri point secara gamblang bagaimana langkah bagi penciptaan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan. Karena memang, dalam kesempatan ini yang ingin ditegaskan sebenarnya adalah meletakkan “pondasi” bagi sitem hukum yang bersih dan bebas mafia peradilan itu akan didirikan. Suatu sistem peradilan yang bersih yang ingin diwujudkan tanpa ditentukan lebih dahulu pondasinya (kebijakannya) akan melahirkan sistem peradilan yang rapuh dan peradilan yang tidak bersih akan tetap menjadi topik pembicaraan sepanjang waktu. Hal ini pada gilirannya akan makin menjauhkan pengadilan dari hakekatnya, yakni keadilan.
Dan kita paham betul, bahwa dalam sistem hukum manapun, satu-satunya yang dikehendaki oleh para pencari keadilan adalah keadilan. Karena sistem hukum pada dasarnya hanyalah media untuk mencapai keadilan itu sendiri.(9) Apabila kemudian pilihan kita jatuh pada kesimpulan yang demikian, maka sistem peradilan yang bersih itu hanya akan terwujud apabila ada keadilan di pengadilan. Ada atau tidaknya keadilan di pengadilan, terletak pada hakim sebagai entitas utama dalam proses peradilan. Setidaknya inilah sebabnya mengapa sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan itu sangat ditentukan oleh integritas dan kredibelitas hakim, sedangkan faktor yang lainnya hanya pendukung kearah pencapaian sistem peradilan yang bersih.
Karena itu, betapa pun pentingnya upaya pemberantasan mafia peradilan (judicial corruption) tetapi optimalisasi judicial discretion menjadi salah satu faktor yang menentukan pencapaian keberhasilan pemberantasan mafia peradilan secara khsusus dan perujudan sistem peradilan yang bersih secara umum. Dalam konteks ini, janganlah dilupakan, bahwa kekuasaan peradilan tidak pernah dieksekusi untuk tujuan memberlakukan kehendak hakim, selalu untuk tujuan memberlakukan kehendak undang-undang atau, kehendak hukum.
E. Penutup
Sistem peradilan umumnya diartikan sebagai keseluruhan komponen peradilan, pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan maupun aspek aspek yang bersifat prosedural yang saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum.
Untuk mewujudkan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan adalah suatu kesukaran, terutama ketika tidak ada suatu grand desain pembangunan hukum sebagai acuan pokok. Bahkan upaya mewujudkan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan akan terjebak dalam ranah perbedaan pandangan dan paham hukum. Dalam keadaan serupa itu satu-satunya kekuatan bagi penciptaan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan bertumpu pada hakim. Karena itu independensi hakim (pengadilan) dan tegaknya wibawa pengadilan menjadi sangat penting, dan karenanya soal judicial discretion haruslah dibedakan dengan sungguh-sungguh dengan masalah-masalah judicial corruption (mafia peradilan). Judicial discretion merupakan ruh bagi berkembangnya sistem peradilan yang bersih. (***) Padang, 14 Mei 2011
Endnote:
1. Makalah ini disampaikan pada Simposium Nasional yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta pada tanggal 14 Mei 2011 di Padang.
2. Jimly Asshiddiqie, Reformasi Tata kelola Peradilan, makalah dalam ceramah umum, Jakarta 1 April 2011
3. Jimly Asshiddiqie, Ibid.
4. Clive Walker dalam OC.Kaligis “ Korupsi Sebagai Tindakan Kriminal Yang Harus Diberantas: karakter dan Praktek Hukum di Indonesia,
5. OC.Kaligis “ Korupsi Sebagai Tindakan Kriminal Yang Harus Diberantas: karakter dan Praktek Hukum di Indonesia,
6. Amzulian Rifai dkk, Wajah Hakim Dalam Putusan , studi Atas Putusan hakim Berdimensi Hak Asasi manusia” , Komisi Yudiasial Indonesia, hlm 44.
7. Amzulian Rifai, Ibid hlm 45.
8 Amzullah Rifai dkk, Ibid 47.
9. Amzullah Rifai dkk, Ibid hlm 57