Memanen padi dilakukan dengan banyak cara. Di beberapa daerah di Sumatera Barat dulunya padi yang sudah sabit untuk mendapatkan bulir-bulir padinya dilakukan dengan “mengirik” yaitu memelintir dengan telapak kaki bulir-bulir padi yang masih melekat pada tangkainya. Bila padi telah menguning biasa sipemilik sawah akan mempersiapkan segala sesuatu bagi makan dan minumum untuk orang-orang yang akan menyabit dan mengirik padi mereka. Dan anggota keluarga ketika musim menyabit dan mengirik itu tiba, sangatlah senang hati mereka karena kaum kerabat berkumpul bersama-sama ditengah sawah. Saat-saat itu sekaligus menjadi media berbagi suka duka diantara mereka.
Mengirik itu biasanya dilakukan setelah padi disabit dan ditumpuk selama dua atau tiga hari di tengah sawah dan kemudian baru di "iriak".. Padi yang sudah ditumpuk ditengah sawah itu disebut juga dengan "lungguak" yang tersusun dengan rapi dengan bulir padi saling menghadap ke dalam.. Namun saat ini luangguak padi itu hampir tidak terlihat lagi di sawah-sawah di Minangkabau. Padahal mengirik padi itu merupakan bagian dari rasa kekerabatan orang-orang di ranah Minangkabau. Tetapi cara itu sekarang nyaris sudah ditinggalkan dan kebanyakan dilakukan dengan cara “melambuik” seperti umumnya dilakukan para petani padi di Jawa dan dilakukan oleh orang-orang upahan.
Mengiriak padi dengan “menyarayo” atau dibantu kaum kerabat sepertinya telah menghilang. Selain itu mengirik ada fisofosinya sebagai memperlakukan padi dengan baik.. Padi dilambuik dipandang sebagai cara memperlakukan padi kurang baik. Disamping itu dengan panen dengan cara malambuik yang dilakukan oleh orang-orang upahan selain menunjukkan renggangnya rasa kekerabatan , sekaligus mengurangi pendapatan dari***