Oleh Boy Yendra Tamin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung HattaEnam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada era prareformasi menempatkan pembangunan bidang hukum sebagai proforma. Tidak ada kejelasan grand disain pembangunan bidang hukum sehingga setiap GBHN hampir tidak pernah ada perubahan rumusan pembangunan hukum, yakni menciptakan ketertiban dan kepastian hukum. Langkah-langkah normative yang ditempuh adalah melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum, menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum dan meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum. (KHN;2007;3) Selain itu tentu tidak boleh dilupakan, bahwa pembangunan hukum sebagai subsitem pembangunan politik merupakan aspek yang sangat menonjol dan mempengaruhi eksistesi pembangunan hukum di Indonsia pada masa itu dan produk-produk hukumnya sebagian besar masih berlaku pada masa era reformasi .
Apakah ada yang berubah berkaitan dengan pembangunan hukum pada era reformasi ? Yang pasti pada era reformasi pun yang sudah berlangsung lebih 10 tahun, ternyata juga tidak ada gejelasan grand disain pembangunan bidang hukum. Faktanya, pembicaraan mengenai pembangunan bidang hukum baru sebatas “menggugat” kembali konsep hukum pembangunan yang menempatkan hukum sebagai alat perubahan masyarakat. Program Pembangunan Nasional (Propenas) 1999-2004 misalnya yang disusun Bappenas yang dijadikan payung pembangunan nasional setelah tidak ada lagi GBHN, dimana subprogram pembangunan hukum terbagi dalam Sembilan program; (1) perencanaan hukum, (2) pembinaan dan pengembangan hukum dan HAM, (3) pembentukan hukum, (4) peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia, (5) pelayanan dan bantuan hukum , (6) penegakan hukum dan hak asasi manusia, (7) pembinaan peradilan, (8) pembinaan aparatur dan profesi hukum dan, (9) pembinaan sarana dan prasarana hukum. Namun sebagaimana hasil kajian dari Komisi Hukum Nasional, bahwa program-program pembangunan hukum yang disusun dalam Propenas itu paradigma apa yang dipakai masih menjadi pertanyaan, apakah masih menggunakan paradigm lama atau sudah mengakomodasi perkembangan tuntutan reformasi.
Tanpa mengabaikan soal paradigma pembangunan hukum yang disusun pasca reformasi, sebenarnya terjadi reformasi dalam bidang pembangunan hukum jauh sebelum era-reformasi bergulir di Indonesia. Reformasi di bidang hukum itu tidaklah sekedar soal paradigm, melainkan menyangkut penyediaan “hunian” hukum. Bila sebelumnya hunian hukum dalam pembangunan nasional hanyalah merupakan subsistem dari pembangunan politik, tetapi pada GBHN 1993 pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan politik. Pembangunan hukum bukan lagi sebagai subsistem pembangunan politik dan ditempatkan sebagai subsistem pembangunan yang mandiri (otonom).
Fakta itu sebenarnya boleh jadi semacam bantahan terhadap pandangan yang menyatakan di Indonesia belum ada kejelasan grand disain pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini tentu saja apabila pembangunan hukum tidak semata-mata dipahami dalam wujud program pembangunan hukum. Bagaimana bentuk program pembangunan hukum ditentukan banyak faktor, dan bahkan factor “hunian” menjadi penentu dari karakter hukum yang akan dikembangkan. Bisa dibayangkan bagaimana warna dan wajah hukum pada saat hukum menjadi subsistem dari pembangunan politik, seringkali hukum bukan menjadi dirinya sendiri, sebaliknya hukum hanya menjadi alat politik. Bahkan menjadi sangat sulit untuk memamahi pembangunan hukum ketika pembangunan hukum berwajah hukum dan politik.
Sayang reformasi “hunian” hukum yang sudah terjadi pada tahun 1993 itu tidak mendapat respon yang memadai pada saat hukum menjadi bidangan pembangunan yang otonom. Artinya, pemikiran terhadap grand disain atau paradigma pembangunan hukum yang diciptakan seperti seringkali dibicarakan pasca reformasi semestinya sudah menjadi pembicaraan yang intensif sejak tahun 1993 yang lalu –sejak pembangunan bidang hukum dilepaskan sebagai subsistem pembangunan politik--, tetapi apa pun alasannya, yang pasti sampai saat ini diskusi terhadap pembangunan hukum lagi-lagi fokus kepada paradigma pembangunan hukum, sementara nuansa pembangunan hukum sebagai subsistem pembangunan politik berganti wajah dalam bentuk yang lain.
Persoalannya, apakah pembangunan hukum yang berlangsung di era reformasi selain tidak ada kejelasan mengenai grand disainnya itu, apakah paradigma hukum yang dikembangkan sebelumnya, yakni hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat memang sudah tidak cocok lagi ? Persoalan ini menjadi sangat penting apabila kita tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama –kehilangan momentum—pembangunan hukum hanya disibukkan oleh perdebatan pardigma hukum yang dipandang baik atau cocok. Sementara disisi lain, dinamika kehidupan dibidang lain terus melesat sejalan dengan perkembangan global dan kemajuan ilmu dan teknologi.
Sebenarnya jika kita mau jujur tidak ada satu pun pradigma hukum yang benar-benar cocok dan sempurna untuk diterapkan dalam suatu kehidupan masyarakat negara. Setiap paradigma hukum memiliki kelamahan dan kelebihan, dan didepanya ada masyarakat yang dinamis. Dengan demikian dalam pembangunan hukum yang terpenting sebenarnya bukanlah mengenai pradigrma apa, melainkan bagaimana menginplemtasikan paradigma hukum itu dengan baik dan dengan mengingat tujuan negara, karena hukum bukanlah tujuan melainkan hanya alat untuk mencapai tujuan. Tentu saja hal ini tanpa menuntut mata terhadap kegagalan dalam pembangunan hukum pada masa Orde Baru, meskipun penilaian terhadap pembangunan hukum itu juga berkaitan dengan paham hukum yang dianut.
Dengan tiadanya lagi GBHN dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada era reformasi yang kemudian diganti dengan Propenas, pembangunan hukum benar-benar hanya bertumpu pada kebijakan politik Presiden dibidang hukum. Hal ini sangat berbeda dengan ketiga pembangunan hukum dirumuskan dalam GBHN, dimana presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggung jawabkan apa saja bidang pembangunan hukum yang sudah dilaksanakannya. Dengan Propernas tidak lembaga yang bisa menekan atau memintai pertanggungjawaban presiden atas program pembangunan hukum yang telah disusun dalam propenas, karena selama presiden memerintah, presiden hanya mempertanggung jawabkan kepada rakyat sebagai konskkuensi logis dari pemilihan Presiden langsung hasil amandemen UUD 1945 pasca reformasi. Meskipun tuntutan akan pembaharuan hukum di Indonesia yang berjalan seiring dengan bergulirnya reformasi, namun tidak jaminan pembangunan hukum akan berjalan sesuai dengan harapan rakyat, terutama ketika program pembangunan hukum tersentral ditangan Presiden atau setidak-tidak sebagian antaranya bekerjasama dengan DPR.
Indikasi dari kegagalan pembangunan hukum pada era reformasi itu pun telah menampakkan dirinya yang antara lain ditunjukkan dibentuknya Satgas (Satuan Tugas) oleh presiden berkaitan dengan penanganan masalah mafia hukum. Keberadaan Satgas itu pun kemudian menjadi perdebatan di Indonesia yang juga sekaligus bertendensi tidak bekerjanya dengan baik lembaga-lembaga penegak hukum dan disisi lain program penegakan hukum belum berjalan sebagaimana yang diharapkan –sekalipun di era reformasi—dan belum lagi fenomena kasus Bibit-Chandra yang memberikan warna tersendiri dalam pembangunan hukum di Indonesia. Tragisnya lagi pada tahun 2010, dari hampir 70-an RUU yang harus dituntaskan pembahasannya oleh DPR bersama Presiden, faktanya sampai bulan Oktober 2010 tidak lebih 10 buah RUU yang disahkan DPR dan belum lagi berkaitan dengan “kekusutan” penegakan hukum yang terjadi kian menambah deretan panjang masalah yang memberikan indikasi kegagalan pembangunan hukum di Indonesia.
Apabila demikian halnya, apakah kondisi yang demikian disebabkan pembangunan hukum belum menemukan konsepsinya yang benar, ---kecuali hanya berupa daftar program --, atau apakah ada kemungkinan pembangunan hukum yang otonom terus bergesekan dengan kuat dengan dominasi politik atas hukum sebagaimana yang berlangsung selama ini, terutama pada masa sebelum tahun 1993 pada saat pembangunan hukum menjadi subsistem pembangunan politik. Selain memerlukan penelitian, pembicaraan mengenai hal akan membutuhkan ruang dan waktu yang cukup, tetapi sangat berguna bagi kita dalam upaya pembangunan hukum di Indonesia.
Seharusnya di era reformasi kehidupan pembangunan hukum dan kehidupan hukum lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya. Bahkan jauh sebelumnya –pada masa Orde baru—pada Penyusunan Pembangunan Jangka Panjang Ketiga (1995-2020) telah dirumuskan bahwa untuk melaksanakan negara Indonesia yang adil , ukuran dan nilai yang harus dipergunakan adalah ketentuan-ketentuan hukum. Maka pada Pembangunan Jangka Panjang Ketiga yang disusun pada zaman orde Baru itu dirumuskan, bahwa pembangunan nasional yang akan datang itu berintikan pembangunan hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran akan arti penting pembangunan hukum sudah tumbuh dengan baik sejak 15 tahun yang lalu dan makin nyata dengan dinyatakannya dalam UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Namun sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa sampai saat ini (2011) soal pembangunan hukum masih menjadi perdebatan, dalam berbagai aspeknya dan artinya belum masuk ke implementasinya. Apakah yang salah ?
Bahwa beberapa kenyataan yang terjadi disekitar kehidupan hukum baik pada sebelum dan sesudah reformasi, suatu hal yang masih tumbuh kuat dalam masyarakat adalah ketidakpercayaan terhadap hukum. Adanya ketidak percayaan terhadap hukum yang demikian kuat dalam masyarakat jelas akan menimbulkan masalah-masalah dalam perkembangan dan pembangunan hukum dengan segala macam dampaknya,baik terhadap masyarakat maupun terhadap hukum itu sendiri.
Disatu pihak, keadaan hukum yang tidak mandiri menyebabkan masyarakat ragu-ragu terhadap produk hukum. Tidak sedikit anggota-anggota masyarakat yang mempunyai prasangka terhadap kemandirian lembaga-lembaga hukum.( Nazaruddin Sjamsudin;1992) Pada satu sisi, Ketidak percayaan terhadap lembaga-lembaga hukum itu biasa tercermin dari bagaimana lembaga-lembaga hukum itu memperlakukan hukum. Disisi lain, ketidak percayaan terhadap lembaga hukum bertumbuh atas dibangunnya opini yang menggugat lembaga-lembaga hukum ketika memperlakukan hukum, namun tidak sesuai dengan “kepentingan” orang atau sekelompok orang yang berada diluar lembaga-lembaga hukum atau lembaga pembentuk hukum. Demikian pula sebaliknya, yang pada gilirannya pembangunan hukum terjerembab dalam “lingkaran setan”. Hal ini masih menjadi satu factor yang yang sangat kuat dalam upaya merumuskan pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini. (***)
Referensi:
Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi Jilid II, Komisi Hukum Nasional 2007Nazarudin Sjamsudin, Pembangunan Hukum Nasional: Sebuah Tinjauan Politik, dalam “Politik Pembangunan Hukum Nasonal, editor M. Busyro Muqqoddas, UII Pres, 1992