Catatan Ringan Boy Yendra Tamin
DPR mulai cari alasan atau dalil untuk mengantisipasi sorotan publik atas kinerjanya dalam soal legislasi yang menjadi tugas pokoknya. Hal itu setidaknya bisa ditangkap dari apa yang dinyatakan Teguh Juwarno Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI (antara,4/8/11), yang pada intinya menurut Teguh target program legislasi nasional (prolegnas) DPR RI masa persidangan 2011 sebanyak 70 RUU sangat tinggi sehingga sulit dicapat. Alasan yang dikemukakan Teguh Juwarno itu bisa dikatakan tidak logis karena DPR sendiri yang menetapkan bersama dengan pemerintah sebagaimana yang dituangkan dalam Proglegnas 2010-2014. Lalu mengapa sekarang dikatakan sebagai suatu target yang sangat sulit dicapai ?
Jika kita surut ke beberapa tahun belakangan, maka ada sebenarnya yang kurang dari kenerja DPR periode 2009-2014, terkait perhatiannya dan pengelolaan fungsi legislasi sebagai tugas pokoknya. Dalam catatan kita, pada periode 2010 DPR hanya menyelesaikan 13 buah RUU menjadi UU dari 70 buah yang direncanakan.. Ketiga belas UU yang dihasilkan pada tahun 2010 itu pun berupa UU APBN dan pertangungjawaban APBN, UU Ratifikasi dan UU perubahan. Pada tahun 2011 ini sampai dengan bulan Agustus DPR baru menyelesaikan pembahasan 8 buah RUU menjadi UU, sehingga target penyelesaian 70 RUU tahun 2011 jelas mustahil dari waktu yang tinggal 4 bulan lagi jelang berakhirnya tahun 2011. Pertanyaan pentingnya apa, dan “ngapain” saja kerja DPR berkaitan dengan tugas pokoknya itu ?
Jika dipahami alasan target yang dibuat terlalu tinggi, sementara ada kendala soal waktu. Pada pembahasan atau konsinering RUU sering tidak korum karena banyak anggota DPR RI tidak hadir yang disebabkan, ada anggota DPR RI yang menjadi anggota beberapa alat kelengkapan dewan, hal itu bukanlah alasan yang tepat. Apalagi jika kemudian didalilkan pula jika antara DPR dan pemerintah memiliki sikap berbeda sehingga pembahasan RUU akan berjalan alot, hal ini pun makin tidak logis. Lalu ditambahkan lagi alasan penghabat untuk mencapai target penyelesaian RUU menjadi UU soal anggota DPR RI juga harus mengunjungi konstituen di daerah pemilihannya sehingga dilakukan masa reses yang kadang mencapai waktu satu bulan.
Seharusnya kinerja DPR periode 2009-2011 lebih maju ketimbang kenerja DPR periode sebelumnya dalam soal tugas legislasi sebagai tugas pokoknya. Dari data UU yang dipublis dalam lembaran negara melalui situsnya, pada Tahun 2009 ada 52 UU dihasilkan, tahun 2008 ada 56 UU dihasilkan, tahun 2007 ada 48 UU dihasilkan, tahun 2006 ada 23 UU dihasilkan dan tahun 20005 ada 14 UU dihasilkan DPR bersama pemerintah. Dari angka-angka itu, maka jelas alasan yang dikemukakan Teguh Juwarno itu menurut hemat kita tidak logis, dan merupakan alasan untuk menutupi lemahnya kenerja legislasi DPR. Keadaan itu boleh jadi akan berakibat pada tidak dipilihnya anggota DPR yang sekarang oleh rakyat, ketika kenerja legislasi mereka mengecewakan rakyat (publik). Lebih jauh dari itu, seharusnya DPR periode 2009-2014 ini dalam bidang bidang legislasi lebih baik dari periode sebelumnya yang masih sangat kuat dengan gejolak arus reformasi. Masa-masa yang sudah relative tenang dari gejolak politik, tentu produktivitas legislasi DPR semestinya lebih tinggi dari waktu sebelumnya.
Dengan kenyataan empiris di atas, maka tidaklah bisa dipahami alasan mengapa DPR periode sekarang tidak bisa mencapai target menyelesaikan tugas legislasinya. Dan bila dicermati kecenderungan yang terjadi dari kinerja DPR period 2009-2014, yang tampak justru anggota DPR lebih sibuk dengan fungsi kontrolnya ketimbang fungsi legislasi yang menjadi inti dari eksistensi mereka sebagai wakil rakyat.
Kenyataan objektif pada awal era reformasi di Indonesia menunjukkan pihak legislatif masih mengalami eforia yang sukar dipungkiri. Meskipun sesuatu yang alamiah, tetapi eforia yang berbasiskan pada “pertarungan” politik dan berorientasi kekuasaan tidak cocok dengan mission yang diemban lembaga legislatif. Semestinya begitu menjadi anggota DPR, tidak memandang dari partai mana pun, mereka menempatkan diri sebagai wakil rakyat. Namun selama ini, DPR kadang kala mengartikulasikan isu yang jauh dari kepentingan publik. Kini keadaannya belum banyak berubah. Komitmen politik lembaga legislatif yang responsif terhadap isu yang menyentuh kepentingan publik dalam bentuk realisasi UU masih jauh dari yang diharapkan. DPR lebih “suka” memainkan fungsi Kontrol politiknya, lihat saja dalam soal kasus Bank Century yang menyita waktu bulanan, dan respon atas kasus-kasus lainnya yang pada pada akhirnya “mengenyampingkan” tugas pokok DPR yang sesungguhnya, yakni legislasi.
Fungsi kontrol (politik) bukanlah segala-galanya bagi legislatif, meskipun penting dari sisi demokrasi. Tetapi, trend pemanfaatan fungsi politik ini sangat mendominasi lembaga legislatif. Artinya eforia politik masih menyelimuti lembaga DPR, sehingga program reformasi hukum di Indonesia belum mendapat respon yang penuh dari kalangan DPR. Satu contoh, tentang pembaharuan KUHP yang sudah tahunan diajukan ke DPR, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Padahal RUU tersebut menyangkut kepentingan 237 juta lebih rakyat Indonesia dan secara socio-kultural merupakan produk kolonial dan dalam banyak hal sudah ketinggalan zaman. Kemdudian dari lebih dari 250 lebih RUU yang sudah disepakati untuk dibahas sampai tahun 2014 hanya baru sekitar 20-an yang selesai dibahas, padahal sudah hampir 2 tahun anggota DPRD periode 2009-2014 menjalani masa kerjanya.
Pemikiran untuk meningkatkan peran legislasi DPR bukanlah tanpa alasan. Tugas legislasi adalah wahana utama untuk merefleksikan kepentingan rakyat (publik). Fungsi kontrol legislatif akan lebih efektif dan bermakna bila terimplementasi dalam pengoptimalan peran dan fungsi legislasi.
Dalam perspektif perubahan yang tengah berlansung, semestinya DPR telah “memainkan” fungsi dan tugas legislasinya nya secara efektif dan berdayaguna. Melepaskan diri budaya politik kepentingan atau kelompok atau leboh responsive pada soal-soal politik temporer, apalagi kasus-kasus hukum yang sebenarnya sudah ada insutisi yang berkompenten yang menanganinya. Celakanya, kecenderungan yang dapat diamati, justeru masalah ini yang menjadi hambatan baru bagi perujudan peran legislasi DPR. Meskipun, peran legislasi itu tidak sepenuhnya diukur dari jumlah Undang-Undang yang dibuat, melainkan juga diukur dari kualitas dari produk lelegislatif. Artinya, peran legislasi DPR sesungguhnya berujud dalam bentuk produk legislasi yang dilandasi kearifan, perhitungan tentang masa depan yang memberi arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi tidak mudah untuk mecapai peran legislasi DPR serupa itu, bila eksistensi kelembagaan legislatif masih penuh dengan sentimen perwakilan-perwakilan kelompok, partai dan kekuasaan. Peran legislasi akan terwujud apabila visi mewakili rakyat sudah melembaga dengan baik, sesuai harapan rakyat
Betapa penting sebenarnya peran legislasi itu, sesuatu yang sangat esensial, dimana arah dari kehidupan bersama di masa mendatang pada hakikatnya sudah ditentukan lebih dahulu (predetermined). Rambu-rambu pembatasan dari segala usaha kenegaraan itu secara awal sudah ditetapkan dalam wujud legislasi yang berisi regulasi yang terpokok, yang cakupannya jauh ke depan dan diharapkan dapat berumur panjang, tidak cepat lapuk. Mengentaskan persoalan-persoalan yang mengebiri peran legislasi DPR sama pentingnya dengan upaya mendorong penguatan peran legislasi DPR. Tuntutannya tidak hanya pada isi, melainkan juga pada kedayalakuan. Karenanya sukar dihindarkan, bahwa untuk meningkatkan peran legislasi DPR tidak hanya dengan perluasaan kewenangan DPR secara kelembagaan, melainkan sejalan dengan peningkatan sumber daya manusia. Meskipun memerlukan biaya besar, tetapi hal itu jauh lebih murah dibanding nilai produk legislasi.
Dengan demikian, adakah yang bisa menerima dan membenarkan dalil rendahnya kinerja DPR dalam bidang legislasi sebagai tugas pokoknya, disebabkan kendala waktu dan soal kunjungan anggota DPR ke konstiuen dan pekerjaan control politik lainnya, maka target penyelesaian RUU jauh dibawah yang sudah ditetapkan ? padahal DPR periode sebelumnya bisa menyelesaikan RUU menjadi UU sekitar 50 buah setahun (***)