Catatan Ringan Boy Yendra Tamin
Kabupaten/kota terancam kena sanksi tidak mendapat alokasi dana tugas pembantuan apabila bupati/walikota tidak mengikuti atau menghadiri koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Sanksi tersebut ditegaskan dalam PP No 23 Tahun 2011 sebagai perubahan atas PP No 19 Tahun 2010.
Ketentuan sanksi tersebut setidaknya terkait dengan berbagai masalah yang dihadapi gubernur dalam menjalankan koordinasi pemerintahan dengan bupati/walikota selama ini, dimana bupati/walikota terkesan “acuh” atau mungkin “membangkang” terhadap koordinasi yang dilakukan gubernur.
Dalam hubungan ini PP No 23 Tahun 2011 menentukan bahwa dalam melaksanakan urusan pemerintahan gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam rangka penyusunan program/kegiatan yang akan dilimpahkan kepada gubernur dan/atau ditugaspembantuankan kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Adapun bentuk koordinasi yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerg yakni, berupa;1) musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; 2) rapat kerja sinkronisasi RPJPD, RPJMD, dan RKPD kabupaten dan kota agar mengacu pada RPJPD, RPJMD, dan RKPD provinsi; dan 3) rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan. Ketiga bentuk koordinasi yang dilaksanakan gubernut tersebut bupati/walikota wajib hadir dan bila tidak hadir tanpa alasan yang sah akan mendapat sanksi.
Ketentuan pemberian sanksi terhadap bupati/walikota sebagaimana dituangkan dalam PP No 23 Tahun 2011, sepertinya merupakan penguatan bagi peran dan eksistensi gubernur dihadapan para bupati/walikota di wilayah provinsi bersangkutan. Hal terlihat jelas dari penjelasan PP No.23 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa penerbitan peraturan pemerintah itu adalah dalam upaya optimalisasi peran gubernur sebagai wakil pemerintah khususnya dalam rangka meningkatkan sinergitas pusat dan daerah. Hal ini sekaligus mengindikasikan selama ini –setidaknya pasca dicabutnya UU No 5 Tahun 1974-- hubungan antara gubenur provinsi dengan bupati/walikota tidak berjalan dengan baik dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan asas desentralisasi.
Namun pertanyaan pertingnya, apakah pemberian sanksi terhadap bupati/walikota yang tidak hadir dalam pelaksanaan koordinasi yang diselenggarakan gubernur itu akan membawa perubahan bagi pencapaian optimalisasi hubungan kerja yang efektif dengan bupati/walikota, tentu waktulah yang akan menjawab. Sebab persoalannya terletak adanya kelemahan hubungan antar susunan pemerintahan daerah yang didasarkan pada asas densentralisasi, tetapi solusinya diberikan dengan penguatan asas sentralisasi melalui peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Dengan ketentuan baru atas optimalisasi peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah itu, akan diuji sejauhmana terjadi suatu koordinasi –terlepas dari saksi—antara gubenur dengan bupati/walikota. Dalam konteks ini nyata adanya bahwa setiap kapupaten kota tumbuh dan berkembang dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Namun, dengan ketentuan baru itu, maka kabupaten/kota tidak bisa lagi menentukan program daerah dengan bebas, tetapi didahului dengan sebuah kesepakatan dalam musyawarah perencanaan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah provinsi. Di lain pihak tidak tertutup kemungkinan terjadi spaning antara provinsi dengan kabupaten kota tak kala tidak terjadi kesepakatan dengan propinsi, dan yang paling mengkhawatirkan adalah kemungkinan “mati”-nya hak inisiatif kabupaten/kota yang menjadi inti dari asas desentralisasi. (***)