Oleh Adam Malik
Pada tanggal 14/15 Agustus 1945 kira-kira diwaktu magrib datanglah seorang tua yang memperkenalkan dirinya dengan nama Husin kerumah Sukarni di jalan Fort de Kock, dengan berpakaian celana hitam pendek, berkaos (short) dengan topi ditangannya. Ia memperkenalkan diri sebagai wakil pemuda dari Bajah-Banten Kosha. Sukarni gembira menerimanya, karena ia dapat berkenalan dengan wakil satu gerombolan pemuda-pemuda yang bekerja pada disatu tambang yang penting.
Setelah berbicara, tanya menanya, masing-masing menerangkan keadaan umumnya dan hari pun jauh malam. Sukarni menahan Husin untuk menginap dirumahnya supaya dapat bertukar pikiran lebih jauh. Kira-kira jam 10 malam menurut perjanjian Sukarni dengan teman-temanya (golongannya) mereka harus berkumpul di rumahnya itu untuk membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan berita “penyerahan Jepang”. Oleh karena pembicaraan itu sangat penting dan harus berhati-hati, maka atas usul Sukarni sendiri, supaya rapat malam tersebut jangan diadakan di rumahnya, karena ia baru kedatangan seorang tamu bernama Husin wakil pemuda-pemuda Bajah-Banten Kosha. Karena ia belum kenal benar dengan orang tersebut dan soal-soal yang hendak dirundingkan penting sekali, maka diputuskanlah untuk mengadakan rapat di rumahnya Nitimihardjo di Jalan Bogor lama.
Siapakah wakil pemuda-pemuda dari bajah yang bernama Husin yang menginap dirumah Sukarni pada malam tersebut, pada malam “golongannya” membicarakan dan memutuskan persediaan proklamasi itu ?
Pengaruh pembicaraan-pembicaraan Husin-lah yang mendorong pembicaraan-pembicaraan Sukarni lebih kuat di dalam perundingan dengan teman-temannya malam itu di Jalan Bgor lama. Dengan berapi-api ia mendesak dan menerangkan supaya proklamasi jangan ditunda . Proklamasi harus lekas diumumkan dan harus diatur taktik-strategis selanjutnya. Ia pun (Sukarni) merasa sedih, bahwa seseorang tetamu yang menginap dirumahnya yang begitu sederhana, begitu jauh tempat tinggalnya dari Jakarta ditengah hutan dikelilingi lobang-lobang tambang yang gelap itu mendesak dan mengharapkan supaya diadakan persiapan seluruh murba untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang berhubungan dengan oeoerangan dan kemerdekaan Indonesia. Itulah kepedihan riwayat, Sukarni tidak terus terang kepada tetamunya itu, menerangkan bahwa Jepang sudah kalah. Bahwa Jepang sudah menyerah dan juga ia juga tidak dapat mengajuk (mengukur) lebih dalam perhitungan tetamunya itu, sehingga ia ragu-ragu menerangkan maksud dan rencananya.
Sukarni sepulang dari pertemuan di Jalan Bogor Lama , tidak menyambung pembicaraan-pembicaraan lagi dengan tetamunya Husin itu, bahkan ia bertambah diam, memikirkan putusan-putusan pembicaraan-pembicaraan yang sudah dirundingkan. Baru pagi harinya ketika tetamunya hendak berpamitan , Sukarni berkata dan berpesan supaya pemuda-pemuda di Bajah disiapkan . Sukarni mengatakan kepada Husin, bahwa ia akan mengatur segala sesuatunya jika datang kesempatannya akan pergunakan untuk merebut kemerdekaan , tetapi rencana selanjutnya tidak dibicarakan terus-terang.
Sitamu yang bernama Husin itu belum merasa cukup puas, ia meninggalkan rumah Sukarni, hendak mencari rumah Chairul Saleh, Anwar Tjokroaminoto dan lain-lain, yang dianggapnya tentu akan dapat memperhitungkan tiap-tiap kemungkinan politik ketika itu, supaya dapat disatukan dengan Sukarni.
Husin berjalan kaki menuju rumah Chairul Saleh, tetapi ketika ia sampai dirumah tersebut di jalan Pegangsaan Barat 30, orang yang ditujunya dan diharapkannnya kebetulan sedang keluar. Bagaimana kecewa dan kesalnya ketika itu tentu tiap-tiap orang yang pernah mengharapkan sesuatu, tiba-tiba terhalang dapat membayangkannya. Tetapi Husin belum putus asa, ia masih mempunyai lain alamat yang akan ditujunya. Tetapi bagi Husin kekecewaannya pada hari itu lebih dalam lagi, karena ia hendak menjelaskan langkah dan perhitungannya dengan perjalanan sejarah, ia hendak menguji kebenaran cita-cita yang pernah ditanamkannya, ia hendak menyaksikan satu kejadian yang hebat dan dahsyat, karena itu tiap menitdan tiap nafas yang dihembuskannya semua ditujukan kepada perhitungan dan kemungkinan-kemungkinan yang dalam rekaannya itu.
Lebih pedih lagi kejadian ini bagi orang yang kemudian mengetahui siapa dia (Husin) yang sebenarnya. Lebih besar kepedihan Sukarni dan golongan-golongannya ketika mereka mengetahui siapa Husin ini, karena mereka mendiamkan diri terhadapnya, jusit pada ketika itulah mereka mengharapkan pikiran dan perhitungan dari seorang yang sebagai dia itu kalibernya, orang yang terus menerus hidup dalam perjuangan, orang yang seumur hidupnya merencanakan kemerdekaan bangsa tertindas, tetapi mereka membiarkannya pergi berjalan kaki, membiarkannya lepas dari pandangan mata. Tidaklah ketika itu Sukarni dan golongan-golongannya merasakan kekecewaan yang sebenar-benarnya, karena mengharap-harapkan tindakan revolusioner dari pemimpin-pemimpin lainnya seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain.
Tetapi rupanya Sukarni dan golongan-golongannya, begitu pula seluruh rakyat dan pemudanya, harus sekali lagi menghadapi ujian, percobaan-percobaan untuk dapat mendekatinya.
Husin alias Tan Malaka yang dibuang keluar negeri semenjak tahun 1922, sudah hampir ¼ abad meninggalkan tanah air-nya, tiba-tiba kembali dan ada didekat cucu-cucu-nya , sudah tentu tidak aka nada yang mengenalnya.
Husin datang sebagai wakil golongan pemuda-pemuda dari Bajah-Kosha, pada saat runcingnya suasana peperangan dan politik ketika itu. Ia datang ketengah pemuda-pemuda yang sedang bergelora semangat dan keyakinannya, tak obahnya sebagai kabut gelap yang menatikan hujan turun, tentulah sukar baginya mengenal dan mencari siapa dan dimana adanya cucu-cucu dan cita-citanya.
Siasat yang direncanakan Sukarni tidak jauh dari siasat-siasat yang diktemukan dalam buku-buku yang ditulis Tan Malaka. Sukarni bertahun-tahun bernafas dalam saluran cita-cita Husin, tetapi ketika itu tidak sempat dikenalinya. Tidakah ini suatu kepedihan riwayat ?
Begitu pula Sukarni dan golongannya, bertahun-tahun mengalami kepahitan karena hendak meneruskan perjuangan murba teratur dan bertahun-tahun harus berjalan dibawah tanah, merangkak-merangkak, tetapi belum sempat berdiri , belum dapat ia membukakan matanya dengan terang, datang dan berjalanlah disisinya pencipta dan penunjuk jalan perjuangannya kearah murba teratur itu, tetapi tidak dikenalinya !
Ia ragu-ragu dan khawartir kalau-kalau orang-orang yang datang sebagai tamu itu dikirim oleh Algojo Jepang menciumi jejak-jejaknya ! Semua ini tidak lain sebabnya karena benang penghubung yang bertahun-tahun sudah tersambung, putus ditengah (1923-1937).
Tetapi kenyataan riwayat dan kebenaran sejarah tidak dapat dielakkan. Tiap-tiap jiwa revolusioner, walaupun ia seperempat abad terpisah,tetapi ia dalam dalam saat yang bagaimana pun akan dapat terhubung dengan tenaga dan jiwa revolusioner itu. Dalam saat yang genting itu, ia datang kesisi pemuda-pemuda di Jakarta, ia membisikan perasaan dan jiwa revolusionernya , jiwa proletar, murbanya itu, menguatkan dan mendorongkan pemuda-pemuda itu lebih keras kearah tindakan-tindakan yang revolusioner. Maka dengan keadaan itulah dapat kebulatan hati dan keyakinan, diciptakan proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu dan ditindakkan oleh seluruh rakyat.
Hari itu juga diwaktu sore Husin mendengar dijalanan ramai orang membicarakan penyerahan Jepang. Keesokkan harinya dengan cepat ia kembali ke Jalan Fort de Kock mencari Sukarni, tetapi tidak bertemu. Diteruskan sekali lagi mencari Chairul Saleh, tidak berjumpa. Ketika itu hampir-hampir ia putus asa, takut kalau-kalau pemuda yang diharapkan dan dimasukkannya dalam perhitungannya itu akan melewatkan waktu yang sebaik itu dengan menyelamatkan dirinya masing-masing, tetapi dengan sabar ia mencari keterangan kesana kemari, achirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 itu dapatlah diketahuinya bahwa apa-apa yang diharapkan dan dipesankannya dalam perundingan-perundingan dengan Sukarni itu sudah kejadian.
Tidak ada orang yang lebih gembira ketika itu, Barangkali hanya Husinlah ! Husin bergembira karena saat yang semacam itulah yang dinanti-nantikannya sebagai hasil dari perhitungannya didalam tempo ¼ abad dalam perantauan yang selalu berjalan ditepi jurang, kelaparan dan kesengsaraan itu, yang hampir ¼ abad itu, telah menunjukkan kenyataannya, ia ikut merasakan dan menyaksikannya.
Kedatangannya dan oerhubungannya dengan Mr Subardjo itulah yang menyebabkan namanya selalu dihubung-hubungkan oleh musuh dan kawan-kawannya terutama oleh imperialism , yang mengatakan bahwa ia adalah kaki tangan kempeni, spion dan lain-lain, sedangkan hal yang sesungguhnya ia hanya terpaksa menemui yang dalam pengiraannya masih mengenalnya, orang itu ialah Subardjo. Itulah sebabnya tanggal 18 Agustus 1945 ia datang untuk pertama kalinya kepada Subardjo. Sesudah beberapa hari ia menginap dirumah Subardjo (Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke I), maka ia pun meninggalkan tempat itu pergi ke Bogor.
Subardjo berusaha menahannya dengan alasan hendak merundingkan sesuatu bersama-sama dengan Presiden. Putusan perundingan menetapkan kedudukannya dalam revolusi yang sedang membakar itu didalam sebuah amanat yang berisi antara lain sebagai berikut; “Karena keadaan perdjuangan memuntjak dan mendesak, maka ia (Tan Malaka) dan 3 orang lainnya diserahi sebagai pengadjur kelandjutan revolusi dan Republik”.
Hal ini jangalah dipandang sebagai satu kehendaknya, sekali-kali tidak. Kejadian ini harus dipandang dari sudut yang memberi kepercayaan padanya dalam keadaan dan suasana yang genting pula. Tetapi saying kepercayaan yang tak pernah diumumkan itu dengan cara yang gelap dan samar dan rendah dikatakan sebaliknya ! ? (***)
Sumber: Dikutip dari Buku” Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” karangan Adam Malik terbitan tahun 1948)