Oleh : Boy Yendra Tamin
Dosen Fakultas Hukum Univesitas Bung HattaBelakangan muncul wacana untuk meninjau ulang sistem pemilihan kepada daerah, khususnya pemelihan kepala daerah pada tingkat provinsi, maka hal itu bisa dipahami bila mencermati berbagai masalah dan dampak dari pemilihan kepala daerah secara lansung. Akan tetapi suatu hal yang perlu dipertimbangankan, bahwa suatu sistem yang mudah berubah atau diubah tiap sebentar juga melahirkan dampak buruk bagi kelansungan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah. Kecenderungan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berubah tiap sebentar itu, tanpa disadari sebenarnya menjadi bagian dari sulitnya pemerintahan daerah mencapai kemandiriannya dan cenderung tidak stabil. Karena itu sistem yang sudah ada, jika ada kekurangannya seharusnyalah disempurnakan sehingga ada kemantapan sistem. Artinya aspek politik atau dalil negative bukanlah serta merta kita harus meninggalkan sistem yang belum lama dipraktekkan.
I. PENGANTAR.
Saluran yang efektif dalam mengkoversi aspirasi rakyat tergantung pada bentuk demokrasi yang diyakini dan secara ril berlangsung. Ini tentu saja dengan memahami, bahwa salah satu manfaat yang diberikan demokrasi adalah memberikan kesempatan berupa kemerdekaan (freedom) bagi rakyat biasa untuk mengemukakan pendapat (aspirasi-pen) mereka. Namun perlu juga disadari bahwa bagaimana kesempatan itu diraih tergantung juga dari bagaimana kemerdekaan itu diungkapkan (Makmur Keliat, Kompas 4/1/01).
Untuk mendapatkan saluran yang tepat dan efektif bagi tumbuhnya partisipasi dalam masalah politik sangat tergantung pada bentuk demokrasi yang dikembangkan dan terjaga konsistensinya dalam praktek. Dalam konteks ini berdasarkan sistem politik yang pernah dianut di Indonesia, faktor pembeda antara demokrasi yang satu dengan yang lainnya terletak pada prosesnya. Dalam proses itu juga dipersoalkan bagaimana rakyat diajak turut serta dalam keputusan politik. Setiap keputusan politik yang diambil oleh suprastruktur politik, melaui proses konversi dikaitkan kembali dengan rakyat dan karenanya melibatkan rakyat (Makmur, ibid).
II. MEMAHAMI EKSISTENSI PILKADA SECARA LANGSUNGJika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara lansung diklasifikasikan sebagai salah satu jenis partisipasi rakyat dalam politik, maka pertanyaannya adalah, apakah Pilkada secara lansung akan memberikan konstibusi bagi perkembangan dan pertumbuhan pemerintahan daerah ke arah yang lebih baik dari masa sebelumnya ? Tidak mudah sebenarnya memberikan prediksi atas pertanyaan tadi, ini setidaknya karena Pilkada lansung yang akan berlansung pada Juni 2005 mendatang baru untuk yang pertama kali di Indonesia. Meskipun tahun 2004 lalu telah memiliki pengalaman akan suatu Pemilu lansung –khususnya Pilpres--, tetapi hanya mungkin dalam soal teknis, dan berbeda corak dan perspektifnya yang berbeda dengan Pilkada. Mengapa ?
Pilpres secara langsung memang sudah kehendak konstitusi dan dinyatakan secara tegas, sementara untuk Pilkada konstitusi hanya menyebutkan, bahwa Gubernur/Walikota/Bupati dipilih secara demokratis. Bagaimana pemilihan Kepala daerah secara demokratis itu bentuknya, konstitusi tidak menjelaskan lebih jauh. Jika kemudian, pembentuk UU No.32 Tahun 2004 memutuskan Pilkada lansung dipilih oleh rakyat, maka ia adalah keputusan politik yang saya kira dilatar belakangi berbagai pertimbangan. Tetapi yang jelas UU No. 32 Tahun 2004 tidak menyebutkan latar belakangnya mengapa Kepala Daerah lansung dipilih rakyat, kecuali dijelaskan bahwa Pemilihan terhadap Kepala Daerah secara demokratis dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU No.22 Tahun 2003 (UU Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD) yang menyatakan antara lain bahwa DPRD TIDAK MEMILIKI tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan dasar itu, pemilihan Kepala Daerah yang dikehendaki konstitusi secara demokratis, maka pembentuk UU No.32 Tahun 2004 mengambil keputusan Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat.
Sekalipun Pilkada secara lansung direspon dengan antusias oleh masyarakat, namun dibalik antusias itu terkandung suatu “ujian” bagi perkembangan dan pertumbuahan politik local. Artinya, prospek Pilkada lansung akan ditentukan oleh pelaksanaan Pilkada secara lansung pada Juni 2005 mendatang. Dalam konteks ini Pilkada langsung akan dianggap gagal memberikan konstribusi bagi perkembangan dan pertumbahan pemerintahan local pada satu pihak dan pada perkembangan dan pertumbuhan politik local dilain pihak yang antara lain apabila;
Pertama, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi Kepala daerah yang terpilih dalam memimpin dan menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah tidak sebagaimana yang diharapkan rakyat –kebijakannya mengecewakan publik--, maka sebenarnya Pilkada lansung gagal secara subtantif dan hanya sukses dalam arti formalitas demokratis.
Kedua, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi pemilih dihadapkan pada calon yang sesungguhnya tidaklah yang diharapkan rakyat, dan mereka memberikan suaranya karena tidak ada pilihan lain, maka Pilkada lansung gagal secara aspiratif dan kemungkinan melahirkan kekecewaan yang luar biasa ditengah masyarakat, ketika sang Kepala daerah terpilih tidak segera menyadari bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Ketiga, Pilkada berlangsung disertai dengan konflik, maka Pilkada lansung menambah runyamnya krisis politik local sebagaimana halnya dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada waktu pemilihan kepala Daerah di bawah undang-Undang No.22 Tahun 1999.
Keempat, Pilkada gagal dilaksanakan dengan berbagai sebab teknis dan politis, maka Pilkada secara lansung berpotensi meruntuhkan penyelengaraan pemerintahan daerah, dan pemerintah daerah akan lebih lama dipimpin oleh Kepala daerah berdasarkan penunjukkan pemerintah Pusat atau Propinsi.
Kelima, Dalam Penentuan Kepala daerah terpilih terjadi kecurangan dalam penghitungan suara, maka Pilkada berpotensi melahirkan konflik local yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan daerah untuk waktu yang mungkin saja bisa lama.
Keenam, Pilkada berjalan lancar dan tanpa konflik, tetapi setelah calon terpilih diperoleh dan ternyata kemudian persyaratan sang calon terpilih ditemukan persoalan hukum, maka pemilih tak dapat disalahkan. Disisi lain akan terjadi versus antara fakta politik dan fakta hukum.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas, memang masih bisa diperdebatkan. Tetapi intinya adalah, bagaimana Pilkada secara lansung yang telah direkomendasi oleh UU No.32 tahun 2004 tidak melulu ditanggapi sebagai suatu proses bagi pengimplementasiaan kedaulatan dan partisipasi politik rakyat dalam memilih pemimpin agar kemudian “legitimate”. Sesugguhnya pemilihan kepala daerah secara lansung oleh rakyat yang berbasiskan mobilisasi dukungan, tidak lebih baik dari pada proses pemilihan melalui sistem perwakilan. Pemilihan Kepala daerah secara lansung akan terasa faedahnya dan efektif apabila dukungan diberikan kepada seorang calon berdasarkan kapasitas calon yang sudah diketahui dan program calon diyakini pemilih akan dilaksanakan.
Tidak mudah memang mengkondisikan Pilkada secara lansung sebagaimana yang demikian, tetapi harus ada upaya. Tingkat pencapaian hasil Pilkada secara lansung dengan menghadirkan seorang calon kepada Daerah yang kapisitasnya dan programnya akan mampu menginplementasikan otonomi daerah secara benar dan tepat sasaran atau setidaknya mendekati, apabila penyelenggaraan Pilkada taat asas dan konsisten dengan aturan yang sudah ditetapkan. Meskipun pada beberapa soal aturan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada belum mengakomodasi aspirasi yang berkembang. Tapi hal itu tidaklah persoalan benar, karena kurang akomodatifnya ketentuan perundang-undangan yang ada bisa ditutupi dengan sosok calon kepala daerah yang diusung ketengah rakyat untuk dipilih.
III. PILKADA DIBAWAH UU NO. 32 TAHUN 2004 dan CALON KEPALA DAERAH.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa UU No.32 Tahun 2004 tidak memberikan suatu arah sasaran yang ingin dicapai dengan Pilkada secara lansung. Dari puluhan pasal yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 (pasal 56-119), maka lebih dari 90 % mengatur soal teknis penyelenggaraan Pilkada. Artinya, UU ini hanya sedikit sekali mengatur mengenai sosok kepala daerah itu sendiri. Jika kita cermati UU No. 32 Tahun 2004 hanya ada satu pasal yang berbicara mengenai sosok calon Kepala Daerah, yakni pasal 58 yang memuat mengenai syarat-syarat seseorang dapat menjadi calon;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklaniasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
- berpendidikan sekurang-kurang nya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
- berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran;
- sehat jasmani clan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
- tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau lebih;
- tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
- menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
- tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara;
- tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
- memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
- menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
- belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
- tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah.
- surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf h, huruf 1, dan huruf n;
- surat keterangan hasil pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani dari Tim Pemeriksa yang ditetapkan oleh KPUD, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e;
- surat keterangan bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari Lurah/Kepala Desa yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal calon;
- surat tanda terima laporan kekayaan calon, dari instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i;
- surat keterangan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j;
- surat keterangan tidak sedang dinya takan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dari Pengadilan Niaga yang wilayah hukumnva meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k;
- g. surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;
- surat pernyataan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dilampiri dengan hasil tes narkoba yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Kesehatan yang ditetapkan oleh KPUD, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1;
- fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama calon, tanda terima Diolah oleh Centre for Electoral Reform – www.cetro.or.id penyampaian Surat Pemberitahuan Ta hunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima) tahun terakhir atau sejak calon menjadi wajib pajak, clan tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kantor Pelaya nan Pajak (KPP) tempat calon yang bersangkutan terdaftar, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m;
- daftar riwayat hidup calon, dibuat dan ditandatangaru oleh calon dan ditandatangani pula oleh Pimpinan Partai Politik atau para Pimpinan Partai Politik yang bergabung, sebagai bukti pemenuhan syarat calon scbagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n;
- surat keterangan tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana makar berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
- fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
- fotokopi ijazah yang telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;
- surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f;
- surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf o;
- surat pernyataan tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf p; dan q.
- pas foto calon ukuran 4 cm x 6 cm berwarna dan hitam putih masing-rnasing 4 (empat) lembar.
Jika sewaktu berlakunya UU No.22 Tahun 1999, bursa calon kepala daerah demikian ramai dan sedemikian banyak , bahkan ada ratusan nama-nama yang diusulkan masyarakat. Kemudian sejumlah nama yang terjaring disaring menjadi belasan pasang calon yang kemudian dipilih secara bertahap oleh DPRD dalam sidang paripurnanya dan akhirnya diperoleh satu pasang calon terpilih. Namun tidak demikian halnya dengan UU No.32 tahun 2004, bursa calon kepala daerah tidak seramai pada waktu berlakunya UU No.22 Tahun 1999. Bahkan terkesan yang ramai adalah soal pemilihan langsungnya, dan bursa calon yang dulunya mengembang, sekarang justeru mengerucut sebagai dampak dari ketentuan pencalonan yang ditentukan UU No.32 Tahun 2004.
Ketentuan, bahwa pasangan calon kepala Daerah hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 % kursi dari DPRD atau 15 % dari akumalasi perolehan suara sah dalam Pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, telah menyebabkan terbatasnya jumlah calon Kepala Daerah. Keterbatasan itu terjadi karena beralihanya kewenangan pencalonan kepada partai politik dengan persyaratan tertentu. Ia tidak mungkin tidak menjadi masalah, apabila partai politik yang memenuhi syarat, dalam melakukan penetapan satu pasang calon dari partainya atau gabungan partai mengambil oleh proses penjaringan sebagaimana dulu yang pernah terjadi pada waktu berlakunya UU No.32 Tahun 1999. Artinya, ada tanggung jawab moral dan mungkin bisa dipandang sebagai suatu kewajiban pula bagi partai politik untuk melaksanakannya dengan mengingat ketentuan pasal 59 UU No 32 tahun 2004;
Pertama, Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Kedua, Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan rakyat.
Berdasarkan PP No.06 Tahun 2005, keputusan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengatur mekanisme penyaringan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilengkapi berita acara proses penyaringan. Mekanisme penyaringan pasangan bakal calon kepala daerah itu adalah mekanisme yang ditetapkan partai atau gabungan partai politik.
Dengan demikian, jelaslah apakah penyelenggaraan pemilihan kepada daerah dibawah undang-undang No.32 Tahun 2004 dan PP No.06 Tahun 2005 akan menghasilkan pasangan kepada daerah yang memiliki kapasitas, ia sangat ditentukan oleh Partai politik atau gabungan partai politik. Rakyat pemilih tidak dapat disalahkan ketika kepala daerah terpilih ternyata kemudian tidak kredibel dan akuntabel dalam memimpin pemerintahan, maka partai politik tidak dapat bersembunyi dibalik alasan “ pilihan rakyat sendiri”.
Dengan demikian, betapa penting sesungguhnya kewenangan da eksistensi partai politik yang diberi amanah oleh undang-undangan sebagai satu-satu instansi yang berwenang mengajukan pasangan calon kepala daerah. Karenanya, sukar dihindari keperluan partai politik mencalon calon kepala daerah yang memiliki kapasitas yang setidaknya ukurannya yang sanggup menghadapi tantangan dan masalah daerah yang akan dipimpinnnya. Hal ini tentu perlu dilengkapi dengan pertimbangan teknis perundang-undangan, etika pemerintan, kondisional daerah/wilayah dan adanya dukungan publik.
Dipenuhinya beberapa hal di atas, kiranya dalam proses penetapan calon kepala daerah yang dilakukan partai, maka menjadi tidak relevan lagi untuk dibicarakan orang partai dan bukan orang partai, dari mana asalnya dan berapa usianya. Hal ini dalam pengamatan kita masih menjadi perdebatan menjelang pilkada juni 2005 mendatang. Padahal, soal usia misalnya, kemudaan usia tidak identik dengan ketidakmatangan, ketuaan usia terkadang tidak berjalan seiring dengan kebutuhan daerah yang dinamis. Singkatnya, ketika dalam menetapkan calon, kita semestinya tidak lagi memperdebatkan sosok diri calon sepanjang terpenuhi syarat yang ditentukan undang-undang, hanya tinggal membicarakan antara kapasitas menghadapi tantangan dan masalah daerah dan pemenuhan kesejahteraan rakyat.
IV. PENUTUP
Beberapa yang dikemukakan dalam tulisan ini, hanya sisi kecil saja dari persoalan Pilkda secara lansung sebagaimana diamanatkan UU Np.32 Tahun 2004, dimana suksesnya penyelenggaraan Pilkda tidak hanya secara teknis penyelenggaraan, melainkan berjalan seiring dengan dihasilnya sosok kepala daerah yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin daerah yang mampu menghadapi tantangan dan masalah daerah dan memenuhi harapan publik. Meskipun sisi pencalonan dan kapasitas calon menjadi beban tanggung jawab Partai politik, tetapi pelaksaan pilkada tidak dapat dilepaskan dari terciptanya sinergis antara DPRD, KPU, Partai Politik dan Panwaslu sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan dan dilaksanakan dengan konsisten dengan mempertimbangan efektifitas dan kualitas penyelenggaraan.
Jika Pilkada lansung pada tahun-tahun mendatang akan ditiadakan dan diganti dengan model yang lain atau dikembalikan ke model sebelumnya vide perubahan UU No.32 Tahun 2004, maka tentulah harus dengan pertimbangan yang matang dan tidak semata-mata pertimbangan praktis belaka.(***)