Oleh: Boy Yendra Tamin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung HattaHukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa bersangkutan,[1] maka sebenarnya pembentukan hukum suatu negara harus bebas dari pengaruh dan kepentingan negara lain. Kalau belakangan terdengar nyaring disuarakan, kita butuh pembentukan hukum yang demokratis, namun pembentukan hukum yang demokratis tidak sekaligus berarti hukum yang dibentuk akan efektif. Dalam konteks ini misalnya, mission dari sebuah undang-undang bukan terletak dari seberapa demoraktis pembentukan undang-undang yang dibentuk, tetapi terletak pada sejauh mana apa yang ingin dituju dari pembentukan undang-undang dapat dicapai atau tercapai. Artinya, keuntungan dari pembuatan hukum partisipatif lebih merupakan sebagai upaya meningkatkan karakter demokratis dan legitimasi hukum dari undang-undang yang dibentuk.
Jika hukum suatu bangsa merupakan pencerminan kehidupan social bangsa bersangkutan, maka ia menjadi paradox dengan globalisasi hukum. Meskipun dalam beberapa hal tertentu globalisasi hukum dipahamkan pula globalisasi hukum akan tetap berlansung dalam sistem hukum yang berbeda. Betapa pun globalisasi hukum sesuatu yang sukar dihindari, tetapi negara bangsa tidak akan begitu saja menyerahkan fungsi kedaulatan mereka, dan dalam suatu system global tidak akan berlangsung bebas control dari negara bangsa karena globalisasi bukanlah jalan tol tanpa mekanisme. Mekasnisme bagaimana lalu lintas hubungan masyarakat negara bangsa, justeru dibangun atas suatu perjanjian atau kontrak, konvensi, sehingga bedanya yang tadinya pembatas itu adalah hukum nasional, kemudian pembatasan itu adalah kesepakatan antara negara bangsa.
Kebanyakan pandangan melihat Globalisasi sebagai proses transpormasi bebas hambatan dan mekanismenya terserah pada “masyarakat pasar”. Padahal tidaklah demiikian, globalisasi sesungguhnya lebih tampak sebagai “membuka pagar” rumah, tetapi dalam rumah dan perkarangan tetap ada aturan main. Dalam konsep kehidupan mana pun tidak ada suatu kelompok masyarakat yang membiarkan kehidupannya dan teritorialnya tanpa hukum. Dalam perspektif ini, kekeliruan utama dalam menyikapi globalisasi seakan-akan orang boleh melakukan kesepakatan menurut kemauan mereka sendiri, dan mengabaikan peran, fungsi negara. Kesalahan lain adalah dengan globalisasi selalu ditekankan, kedaulatan negara bangsa akan melemah, tetapi tidak dijelaskan melemahnya dalam hal apa dan itu mungkin terjadi jika globalisasi diterjemahkan sebagai bentuk “penjajahan” model baru.
Tidaklah selalu benar pandangan-pandangan terhadap soal melemahnya kedaulatan negara nasional lantaran globalisasi. Bila McGrew, yang menyatakan bahwa: "Keberadaan jaringan aktivitas global dan regional, rezim internasional, tata pemerintahan global dan regional, gerakan sosial di tataran transnasional, interaksi hukum global dan transnasional, dan berbagai jenis asosiasi transnasional, dapat diinterpretasikan sebagai munculnya 'ruang politik (dan hukum) ' jenis baru yang melepaskan diri dari ikatan wilayah negara. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Jayasuriya (2001) yang menyatakan bahwa, perubahan utama dari karakteristik kedaulatan terletak pada pergeseran dari Pemerintahan (Goverment) menjadi Tata Pemerintahan (Governance). Jayasuriya lebih lanjut menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah menjadi semakin terpecah dan tersebar luas di antara di pasar dan masyarakat sipil atau dengan kata lain kedaulatan telah terdistribusikan di berbagai lembaga dan aktor. Negara dan kedaulatannya tidak menghilang atau berkurang – bahkan sebaliknya, mereka mendapatkan peran baru – namun mereka tidak lagi dapat melaksanakan kekuasaan mereka secara efektif seperti sebelumnya.Mencermati pendekatan-pendekatan terhadap globalisasi dan hubungan dengan kedaulatan negara –termasuk kedaulatan hukum—nasional, memang berdampak terhadap hukum nasional. Meskipun demikian, Teubner (2004) menyatakan bahwa munculnya globalisasi hukum yang tidak berakar pada undang-undang dan tata urutan norma telah membuat kita perlu untuk mediskusikan kembali doktrin tradisional mengenai sumber hukum. Karena itu globalisasi hukum seperti lebih tampak sebagai interaksi hukum masa kini telah merubah pembangunan karakter hukum nasional dan internasional dan itu pun tidak untuk seluruhnya.
Meningkatnya ketergantungan pada pasar selama rezim globalisasi juga tidak dapat dipisahkan dari gerakan ekonomi liberalisme yang berasal dari "Konsensus Washington" yang menghendaki reduksi secara sistematis terhadap peran Negara dalam sistem ekonomi nasional hingga ke titik minimal. Neoliberalism pada umumnya juga berpihak pada tekanan politik multilateral melalui organisasi-organisasi internasional atau perjanjian perangkat seperti WTO, Bank Dunia, IMF atau ADB. Neoliberalism berpihak pada privatisasi dan mengukur keberhasilan pembangunan berdasarkan keuntungan ekonomi yang didapat secara keseluruhan. Namun dalam prakteknya kontrol atas kebijakan ekonomi politik dalam negeri tidak sepenuhnya terlepas dari kontrol Negara dan Negara tetap melakukan intervensi politis atas kebijakan-kebijakan ekonomi. Bahkan aktor-aktor dalam pasar internasional juga sesungguhnya merupakan representasi kepentingan negara-negara industri, dan bukan digerakkan oleh 'invisible hand' (kepentingan pasar).[2] Bila tesis ini benar, maka kecenderungannya adalah; Pertama, globalisasi hukum hanya akan berkembang dalam bidang-bidang tertentu dan sepanjang terdapat adanya suatu kepentingan yang sama. Kedua, globalisasi hukum hanya bisa berlangsung dengan cepat ketiga terdapat kesetaraan dalam tingkat ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Ketiga, globalisasi hukum akan berhenti ketika titik singgungnya sampai merenggut eksistensi suatu negara bangsa.
Beberapa pemikiran terhadap globalisasi hukum seperti dikemukakan di atas, tentu tidak dalam frame anti globalisasi, tetapi secara subtantif globalisasi hukum dengan sistem hukum globalnya harus mempu menjawab keterpeliharaan prinsip-prinsip kedaulatan suatu negara dan disisi lain adalah perdamaian dunia yang substansial. Globalisasi, termasuk globalisasi hukum, bergerak kearah bentuk model “penjajahan” dalam bentuk baru. Bahkan yang harus dihindarkan adalah pengingkaran terhadap hak asasi suatu warga negara bangsa yang tidak terlihat, tetapi ia tampak sebagai globalisasi sebagai sebuah kebutuhan dalam pergaulan dan hubungan ekonomi lintas negara nasional.
Terkait dengan uraian di atas, globalisasi hukum semestinya tidak dipersamakan atau dipandang sama sebangun dengan globalisasi di bidang ekonomi maupun teknologi. Banyak para pengamat mengingatkan, bahwa keberadaan Mahkamah Internasional cenderung dipergunakan negara bangsa yang mengemban tanggung jawab internasional untuk menjalankan kepentingannya. Meskipun kecurigaan itu selalu ditepis dengan dalih nilai-nilai dan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan internasional. Di lain hal, tidak sedikit pula muncul kritik, bahwa dalam area pembentukan hukum dan kebijakan, globalisasi menimbulkan dampak negative dalam hal berkurangnya tingkat kebebasan negara dalam penyusunan kebijakan ekonomi –dan terkadang harus dilakukan dengan merobak kebijakan tertentu yang sudah ditetapkan dengan undang-undang negara nasiona--, hal ini utamanya terjadi pada negara-negara berkembang atau negara-negara yang memiliki ketergantungan pada negara-negara maju.
Santos(2004) sebagaimana dikutip Dian Rositawati [3], meyakini bahwa ketidakseimbangan kekuatan antara Utara dan Selatan telah mengancam kedaulatan Negara yang lebih lemah. Santos lebih lanjut menambahkan bahwa berbagai tekanan terhadap kedaulatan Negara-negara berkembang sebagian besar berasal dari lembaga-lembaga transnasional. Negara-negara berkembang yang terperangkap dalam hutang dan memperoleh bantuan keuangan dari berbagai Institusi Keuangan Internasional (International Finance Institutions - IFIs), dituntut untuk melakukan reformasi ekonomi dan pembuatan kebijakan sebagaimana ditetapkan dalam berbagai perjanjian perbaikan struktural (structural adjustment) oleh IFIs. Keadaan mana pernah juga dialami Indonesia, sebagai organisasi donor, IMF memberikan sejumlah sarat dan meminta perubahan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai syarat untuk mengucurkan pinjaman. Bahkan IMF secara terang-terangan pernah meminta pemerintah Indonesia membatalkan sekitar ratusan peraturan daerah (Perda) untuk dibatalkan karena dinilai telah menghambat kelancaran arus barang dan jasa. Kejadian itu tentu saja mengidikasikan, bahwa globalisasi ekonomi melalui organisasi pembiayaan internasional seperti IMF telah menempatkan Indonesia otonominya melemah –untuk tidak mengatakan tidak punya—dalam hukum dan kebijakan nasionalnya. Bahkan yang terjadi sampai kepada pemerintahan yang lebih bawah dari pemerintah pusat.
Dari kenyataan yang demikian terlihat bagaimana dampak negative dari globalisasi dan sekaligus globalisasi hukum, dimana negara-negara industri memiliki kemampuan untuk dapat mengambil keuntungan terhadap negara yang lebih miskin – yang umumnya memiliki fungsi kelembagaan yang lebih buruk (sistem administrasi, sistem hukum, dan sebagainya) dalam konstalasi ekonomi dan politik internasional.[4] Negara berkembang yang memiliki kelemahan posisi tawar, seringkali tidak memiliki mekanisme efektif untuk mengartikulasikan pandangan dan kepentingan mereka di hadapan aktor privat atau kelompok industri besar dalam proses negosisasi multilateral.
Dengan demikian, globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum, yang kini ini kian tak lagi gampang dikontrol oleh kekuasaan sentral negara nasional, telah mengundang perhatian yang serius dari berbagai pengkaji dan pembuat kebijakan di manapun, baik yang nasional maupun yang internasional. Hukum berformat macam apakah yang kini ini mesti beroperasi di berbagai kancah, mulai yang transnasional, nasional dan juga subnasional. Tatkala negara-negara nasional terpaksa banyak membuka perbatasan-perbatasannya, dan perubahan-perubahan kehidupan ekonomi – yang berimbas ke kehidupan politik, sosial dan kultural – telah meningkatkan jumlah manusia berikut ide dan ideologinya yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib dan kekuasaan structural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan.
Beberapa hal yang telah kemukakan di atas, maka tentu dengan sendirinya globalisasi hukum menjadi suatu pemikiran dalam politik hukum nasional. Meskipun di awal tulisan ini telah dikemukakan, bahwa menguatnya arus globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan, sebenarnya tidak sulit bagi Indonesia untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi. Secara sosial maupun historis, masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam pruralisme dan keberagaman, termasuk pruralisme dan keberagaman hukum. Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda dikenal sebagai Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (European Continental Legal System). Sedangkan sistem hukum Anglo Saxon atau disebut juga dengan Common law system dianut oleh negara Ingris dan negara-negara bekas jajahan Inggris.[5]
Di Indonesia sistem hukum tumbuh dan berkembang didasarkan pada asas konkordasi, dimana berlaku beberapa sistem hukum, pada satu sisi memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa Kontinental) dan disisi lain berlaku pula hukum adat sebagai hukum yang asli. Tidak cuma itu, diantara kedua sistem hukum tersebut berlaku pula hukum Islam. Dalam konteks keberagaman sistem hukum ini, asas penting dalam kehidupan adat adalah sifat kekeluargaan (komunalitas) dan dengan masukknya agama Islam ke Indonesia, maka banyak daerah adat yang menyerap unsur-unsur agama Islam dalam kehidupan hukum adatnya.[6]
Sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi sistem hukum Belanda yang sistem hukum Belanda sendiri adalah sistem hukum Eropa yang awalnya bersumber dari sistem hukum Romawi. Sistem hukum Romawi itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan sistem hukum Civil Law. Dalam konteks ini Rene Devid dan Jon EC Brierly, mengatakan selain sistem hukum civil law dikenal pula sistem hukum cammon law.
Dalam berbagai literature pada umumnya mengambil garis tegas, bahwa ada 3 bentuk sitem hukum yang dominan, --artinya masih ada sistem hukum yang lain seperti sistem hukum adat, sistem hukum islam sebagaimana ada di Indonesia—yaitu: Sistem hukum Romawi Jerman (civil law); cammon law system; dan socialist law system. Meskipun demikian masih terdapat beberapa pandangan mengenai keberadaan sistem hukum tersebut, tetapi pada intinya hanyalah memberikan informasi dan perluasan pandangan, bahwa sebenarnya terdapat banyak sistem hukum apabila diselediki kebanyak negara-negara dunia.
Persoalannya kemudian, disamping sistem hukum yang diterapkan suatu negara yang sudah mapan dihadapkan pada era globalisasi, yang ternyata kemudian membentuk suatu suatu tatanan lingkungan hukum baru dalam pergaulanan internasional. Dalam konteks ini, Era Globalisasi ternyata tidak hanya menuntut pembaharuan hukum nasional suatu negara, tetapi memuncul suatu sistem hukum sendiri yang dinamai dengan sistem hukum global.
Terdapat contoh yang tepat bagaimana sistem hukum global kemudian mempengaruhi sistem hukum nasional, seperti berkaitan dengan Hak Kekayaaan Intelektual. Dalam konteks ini Prof.Syafrinaldi mengemukakan, bahwa bila kita berbicara mengenai suatu bidang ilmu hukum secara khusus, seperti hukum hak kekayaan intelektual (HKI), maka bidang hukum yang relative masih baru di Negara Indonesia juga memiliki sistem hukum tersendiri. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum (legal protection) kepada karya intelektual manusia, baik itu dalam bidang hak cipta dan hak-hak terkait, paten, merek, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.[7] Lebih jauh dikemukakan, dalam bidang hak kekayaan intelektual, system hukum yang berkembang di masing-masing Negara, termasuk juga di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh hukum internasional dan juga oleh hukum negara-negara lain. Hal ini tidak bisa dinafikan, karena bagaimana pun sistem hukum internasional yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara dinamis dan progesif dibandingkan dengan hukum nasional.
Selain itu, pengaruh globalisasi telah memasuki kehidupan hukum di Indonesia dengan adanya bidang-bidang hukum baru seperti Hukum Perusahaan (corporative law), Hukum Komputer (computer law), Hukum Siber (cyber law) dan sebagainya. Pembentukakan bidang hukum baru itu merupakan adopsi dari ketentuan dan norma hukum asing untuk dijadikan norma dan ketentuan hukum kita padahal terkandang hal itu tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, tampak bagaimana suatu sistem hukum tumbuh dan berkembang pada suatu negara. Perkembangan industrialisasi dan paham kapitalisme yang diikuti perubahan sosial, kultur dan hubungan masyarakat dengan negara yang terjadi di Eropa Barat pada abad 19, telah mewarnai corak sistem hukum modern. Bahkan bisa jadi seperti ada pendapat yang menyatakan, bahwa saintifikasi dan sistem hukum modern yang tumbuh pada abad 19 itu sesungguhnya dimaksudkan untuk melayani tatanan sosial yang bercorak pasar bebas yang kompetitif melalui kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi.
Terkait dengan dinamika sistem hukum yang demikian, Donald Black menyebutkan hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is the governmental social control), sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang didalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut1. Walaupun demikian ia mengakui tidak semua kontrol social adalah hukum, control sosial yang bukan hukum adalah sifat tidak resmi karena tidak memiliki daya paksa.[8] Sementara itu Lawrence M. Friedman mengatakan sistem hukum tidak saja merupakan serangkaian larangan atau perintah, tetapi juga sebagai aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyungguhkan cara mencapai tujuan.[9] Dia juga percaya bahwa hukum tidak saja mengacu pada peraturan tertulis atau kontrol sosial resmi dari pemerintah, tetapi juga menyangkut peraturan tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat (living law), menyangkut struktur, lembaga dan proses sehingga berbicara tentang hukum, kita tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang sistem hukum secara keseluruhan.
Pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini masih menjadi diskursus yang hangat dikalangan ahli hukum khususnya. Pasang surut dan dinamika pembangunan hukum di Indonesia telah memberikan banyak pelajaran dalam mewujudkan tujuan negara. Pada zaman Orde Lama dalam bentuknya yang “primitif” mulai dituangkan secara garis besarnya dalam “Pembangunan Semesta Berencana”, namun isinya sangat kental dengan nuasa politik ketimbang nuasa hukumnya. Bahkan HAS Natabaya lebih jauh mengemukakan, bahwa pembangunan hukum hanya sebagai pendukung atau legitimasi politik pemerintah/penguasa (politik) sebagai panglima, bukan untuk kepentingan rakyat dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan atau kepentingan hukum itu sendiri.[10]
Setelah rezim Orde lama di gantikan rezim Orde Baru, dimulai era baru pembangunan hukum dengan diakomodasinya pendapat Rescoe Pound yaitu law as tool of social engineering [11] (hukum adalah sebagai alat rekayasa masyarakat) yang dimodifikasi oleh Muchtar Kusumaatmadja dengan istilah “hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat”. Meskipun demikian pada zaman Era Orde Baru ini, pembangunan hukum masih menjadi subsistem dari pembangunan politik. Keadaan itu baru berubah pada sekitar tahun 1993, dimana pembangunan hukum ditempatkan sebagai sub-sistem pembangunan nasional yang mandiri, tetapi pengaruh dan intervensi politik terhadap pembangunan hukum sudah terlanjur kuat.
Tekait dengan pembangunan hukum pada kedua era rezim itu, Natabaya [12] mengungkapkan, bahwa dengan diadopsinya pendapat Muchtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sebagai sarana pembangunan, maka pandangan Mazhab Sejarah von Savigny ditinggalkan. Dengan demikian adagium tradisional yang berbunyi “het recht ging achter de faiten aan” sejak tahun 1974 telah ditinggalkan dan menunju ke adagium baru yaitu hukum sebagai alat rekayasa social dan berjalan didepan untuk mengubah masyarakat dari kehidupan yang tidak/kurang baik ke kekehidupan yang lebih baik (sejahtera).
Konsep pembangunan hukum dimana hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat harus terhenti, sejalan dengan terjadi reformasi pada tahun 1998. Pembangunan hukum dalam Pembangunan Nasional Jangka Panjang ketiga (1995-2020) dimana pembangunan hukum telah dirumuskan dalam suatu Kerangka pembangunan Hukum Nasional”, harus terhenti dan GBHN yang yang disusun pada zaman Orde Baru tidak lagi berfungsi sebagai sebelumnya.
Dari fakta yang berbicara pada dua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia terlihat dengan jelas, pembangunan hukum bukanlah sekedar pembangunan hukum, tetapi sekaligus pertarungan aliran atau paham hukum. Disisi lain kepntingan politik atau intervensi politik terus memaikan taringnya, meskipun kemudian hukum ditempatkan sebagai sub-sistem pembangunan nasional yang mandiri. Lalu, bagimana keadaannya setelah Orde baru tumbang dan bergulir era Roformasi yang sampai saat ini (2011) sudah berlasung belasan tahun, adakah yang berubah dengan pembangunan hukum nasional ?
Pembangunan hukum di era reformasi tampaknya masih menjadi debatable, dimana pada ada ketidakpuasan –untuk tidak mengatakan menyalahkan—konsep pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru dan disisi lain Indonesia belum pula menemukan paradigma pembangunan hukum yang ideal dan cocok. Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen, tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan [13] terarah dan terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di Indonesia sedang dihadapan pada keadaan tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan kearah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera.
Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional itu, secara tidak lansung tentu mempengaruhi segala aspek kehidupan hukum di Indonesia. Bahkan Indonesia belum memiliki grand disain pembangunan hukum nasional, disisi lain penyelenggaraan pemerintahan harus berjalan dan berjalan di atas ketentuan hukum yang ada, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Baru. Keadaan itu sebenarnya sangat berpengaruh pada sistem hukum sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional.
Dapat dipahami bagaimana eksistensi sistem hukum yang mempunyai fungsi dan peran yang menentukan dalam pengembangan hukum di Indonesia, ini setidaknya dapat ditelusuri ketika hukum di Indonesia yang ada sebagian besar terbentuk dibawah konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakarat atau sebagai tool social of engineering. Parahnya lagi, dimana selama rezim Orde Baru GBHN berisi kebjakan-kebijakan nasional yang berisikan garis-garis besar pembangunan hukum nasional yang kemudian dapat diacu oleh semua pihak penyelenggara negara untuk kemudian dituangkan dalam berbagai macam kebijakan (beleid/policy) yang lebih konkrit/normative baik dalam wujud UU maupun peraturan lainnya, tetapi tidak demikian halnya pasca amandemen UUD 1945 sebagai salah satu hasil reformasi. Pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi GBHN dan setiap lembaga negara –dalam hal ini administrasi negara—berjalan sesuai dengan tugas dna fungsi serta wewenangnya masing-masing dan kemudian saling mengawasi dan saling mengendalikan (cheks and balances) dan tidak berpuncak pada pertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya menurut Natabaya,[13] pembangunan hukum nasinal yang akan dituangkan dalam UU harus dalam bentuk norma (normative) tidak bisa UU berisi program/rencana jangka pendek, menengah dan panjang. UU harus mengatur secara normative yang berisi laraangan (verbod), suruhan, perintah (gebod) dan kebolehan (toestimming).
Dilema pembangunan hukum nasional pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 seperti yang dikemukakan di atas, tentu tidak terpisahkan dengan berkembangnya apa yang disebut dengan sistem hukum global sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi perdagangan internasional dengan segala dinamikanya. Dan disisi lain sistem hukum global yang tumbuh dari dimainkannya peran tanggung jawab internasional.
Dalam konteks esensi sistem hukum tersebut, keberadaan sistem hukum global memang masih bisa diperdebatkan, apakah sebagai satu sistem hukum yang berdiri sendiri atau sebagai suatu sistem hukum yang sebenarnya merupakan dominasi dari suatu sistem hukum yang ada atau sebagai bentuk lain dari implementasi pengaruh perkembangan industrialisasi, pedagangan dan paham kapitalisme.
Memahami ciri-ciri sistem hukum global dan akar sistem hukum global yang tumbuh dan berkembang dari pergaulan internasional dalam segala demensi dan aspeknya, keberadaan sistem hukum global sepertinya mengarah pada suatu tatanan hukum yang meliputi negara-negara dunia, dan disepakati sebagai aturan bersama. Namun masih menjadi pertanyaan, biasanya suatu sistem hukum hidup dalam lingkup suatu negara yang berdaulat dengan hukumnya yang berdaulat pula, tetapi sistem hukum global hidup diatas negara-negara berdaulat, karena tidak ada Global State.
Apabila demikian halnya, apakah memang ada yang disebut dengan sistem hukum global itu. Sebagaimana layaknya pada sistem hukum civil law atau cammon law system ia hidup dalam suatu state. Dalam hubungan ini dengan cara bagaimana sistem hukum global itu hidup dan eksis layaknya sebagai sebuah sistem hukum. Tidak mudah memang untuk memberikan jawaban yang tepat ketika kita membandingkannya dengan keberadaan suatu sistem hukum di dalam sebuah negara.
Namun demikian, dalam faktanya sistem hukum global itu ada –yang dalam banyak pembahasan tidak selalu disebut dengan sistem hukum global--. Sekalipun di-embeli dengan sistem hukum global, tapi belum tentu berlaku global. Karena suatu ketentuan hukum yang yang telah dibuat atas kesepakatan bersama negera-negara belumlah tentu netral dan tidak berpihak serta belum tentu pula sepenuhnya cocok disuatu negara. Keberpihakkan hukum pada kekuatan yang lebih dominan pada sistem hukum global bisa terjadi karena sesungguhnya basis social hukum penuh dengan hubungan yang kompleks, tidak kaku, bahkan bisa mengarah pada keadaan yang tidak seimbang.
Potensi yang demikian sebenarnya sudah dapat diduga sejak dari semula, jauh sebelum berkembang apa yang sekarang disebut dengan sistem hukum global. Hal ini dapat dijelaskan dengan memahami bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan sistemnya sendiri dengan hukum internasional (?), dimana hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara keseluruhan dan merupakan suatu sistem hukum yang terpisah. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sementara itu menurut teori yang lain, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Memperhatikan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tersebut, maka sistem hukum global yang yang dicirikan terbentuknya Mahkamah Hukum Pidana Internasional (ICC) berkaitan dengan masalah War Crimes, Genocida, Crimes against corruption dan lain-lain, ia jelas menunjukkan sistem hukum global berada di atas sistem hukum nasional. Di pihak lain prinsip-prinsip sistem hukum global adakalanya menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Artinya, sukar untuk menarik pemisah yang tegas, karena antara sisten hukum nasional dan sistem hukum nasional secara subtansial terkadang terlihat integral.
Meskipun demikian, terlepas dari kesulitan itu, pembanguna sistem hukum nasional saat ini tidak dapar dilepaskan dari perkembangan sistem hukum global. Artinya, telah terjadi transpalasi hukum,[15] yang tidak hanya dalam sistem hukum nasional, tetapi juga berlansung dari sistem hukum yang satu ke sistem hukum yang lain dan dapat dilihat adanya perubahan dari sistem hukum kepailitan misalnya. Apabila diperhatikan sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi perubahan dari hukum kepailitan yang lama (Faillisement Verordening) yang bercirikan Sistem Eropah Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon.
Dalam kaitan itu, sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia hukum kepailitan selanjutnya diganti oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998. Dan sebagai salah satu negara penganut Civil Law Country, maka hukum kepailitan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum Civil Law Country. Bila ditelusuri dari akar sejarahnya hukum kepailitan Indonesia sesungguhnya sama dengan hukum kepailitan di Negeri Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Bagaimana implementasi hukum kepailitan itu di Indonesia, selain memiliki sejumlah kelemahan dan lahir dengan latar belakang yang berbeda disbanding dengan hukum kepailitan di Amerika Serikat.
Dalam konteks itu, Joseph Dainow menyebutkan However, in order to understand the two system properly, there are disparities which must be recognized and evaluated. For more specific identification of ideas, it is useful to consider five points of reference : the training and recruitment of judges, the method of arriving at decisions, the personalization of opinions or the colegiality of judgements, the manner of writing opinions, and the atitude of the judge in case of silence and insufficiency of the written or estblished law.[16] Oleh sebab itu pada akhirnya globalisasi hukum, sekalipun dengan tema yang sama tetapi prakteknya berbeda. Artinya, globalisasi hukum tidak identik dengan unifornitas hukum. Ini lagi-lagi menampakkan karakternya yang berbeda dengan globalisasi ekonomi yang mungkin cenderung menampakkan wujudnya yang relative sama. Bila dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal adanya Reorganization perusahaan yang diatur dalam Chapter 11, maka hal ini tidak dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia.[17] Di lain pihak, masalah kepailitan di Amerika Serikat terjadi karena adanya adanya utang piutang antara debitor dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berheni membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membauar maupun karena tidak mampu membayar. Hal ini seperti dikemukakan Henry Cheeseman,[18] Bankruptcy judges decide core proceedings (.e.g., allowing creditor claims, deciding preferences, confirming plans of reorganization) regarding bankruptcy cases. Noncore proceedings concerning the debtor (e.g., decisions on personal injury, divorce, and other civil proceedings) are resolved in federal or state court .
Sekilas perbedaan dari hukum kepailitas yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari globalisasi ekonomi, setidaknya memberi keyakinan kepada kita bagaimana globalisasi hukum itu tumbuh dan berkembang mengikuti globalisasi dibidang lain, namun globalisasi hukum itu tidak sepenuhnya akan mengubah atau menggantikan sistem hukum nasional. Artinya globalisasi hukum akan hidup diatas perbedaan sistem hukum negara bangsa. Dalam konteks ini jelas yang menentukan adalah politik hukum dari negara bangsa bersangkutan sebagaimana juga halnya dengan Indonesia. Masalah kemudian, bagaimana hal itu bisa bertahan, memang ditentukan pula oleh daya tawar dari suatu negara bangsa dan seberapa besar negara bangsa itu mampu mempertahankan politik hukumnya ditengah-tengah berkembangnya sistem hukum global atau apa yang lebih umum disebut dengan globalisasi hukum.
Politik hukum nasional akan menjadi sangat berperan dan memberi arahan bagi perkembangan hukum nasional ditengah-tengah menguatnya tuntutan globalisasi hukum, terutama besarnya kemungkinan terdapat ruang kosong ketika terjadi transplansi sistem hukum, atau pada saat suatu negara bangsa melakukan integrasi dengan sistem hukum global. Sebab bagaimana pun juga tidak ada satu sistem hukum pun yang sempurna dan masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Dalam hubungan ini Satjipto Raharjo mengemukakan, bahwa sejak semula hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang mematoki antara perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara sempurna. Salah-salah mengatur bahkan bisa dikatakan seperti ungkapan “Summum ius summa iniuria” bahwa hukum yang bekerja terlalu hebat justru menimbulkan ketidak adilan.[19] (***)
Catatan kaki:
[1] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial, dalam Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum nasional, Editor Artdjo Alkostar dkk, Rajawali, Jakarta 1986, hlm 27
[3] Dian Rositawati, Kedaulatan Negara dalam Pembentukan Hukum di Era Globalisasi, http://www.leip.or.id/ opini/80-kedaulatan-negara-dalam-pembentukan-hukum-di-era-globalisasi.html[4] Dian Rositawati, Ibid,[5] Syafrinaldi, Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual, http://pascasarjanauir.vndv.com/index.php? akses=0_00_2_5[6] Lebih jauh lihat Sunarjati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,Bandung,1991,hal.57-60[7] Syafrinaldi, Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual, http://pascasarjanauir.vndv.com/index.php?akses=0_00_2_5[8] Donald Black, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press, 1976, hal. 2.[9] Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, W.W.. Norton & Company, New York, 1984,hal. 5-14.[10] Lebih jauh lihat HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturaan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; 2008 hlm 203[11] Social engineering adalah suatu konsep yang dikenal dalam ilmu hukum, untuk memerikan adanya upaya yang sistematis oleh para pengemban kekuasaan negara untuk mempengaruhi sikap dan perilaku rakyat dalam skalanya yang luas. Dalam wacana hukum, kebijakan dan pelaksanaan kerja rekayasa sosial ini dilakukan dengan cara mendayagunakan hukum negara – berikut berbagai ragam sanksinya, yang pidana ataupun yang administratif -- untuk mempengaruhi atau mengubah hubungan sosial antar-manusia dalam masyarakatnya. Karena penggunaan kekuatan sanksi pidana sebagai sarana pemaksa inilah yang acap mengesankan, dan mengundang tuduhan, bahwa social engineering itu menyiratkan adanya manuver-manuver yang manipulatif. Lebih-lebih ketika di Indonesia istilah ini mendapatkan imbuhan kata ‘tool’, yang berarti alat, dan kata law (as a tool of social engineering) diartikan ‘hukum undang-undang’ dan bukan judge-made law seperti di Amerika. Roscoe Pound, yang di Indonesia disangkakan secara luas di kalangan para pengajar ilmu hukum sebagai pencipta istilah law as a tool of social engineering, ternyata tak pernah menulis satu kalipun kata-kata ini. Di enam tempat dalam bukunya, yang ia tulis adalah a bit wit of social engineering, yang dalam fungsinya sebagai social control “(should be) applied in the context of a judicial and an administrative process … (which) emphasizes the ideal element of the law, which is absent in legal positivism”. Baca: Roscoe Pound, Op. Cit., 1997).[12] HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturaan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; 2008, hlm 204[13] HAS Natabaya, Ibid hlm 205[14] HAS Natabaya, Ibid hlm 206[15] Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System), e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara[16] Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No. II Vol 6, hal 79[17] Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System), e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara[18] Henry R. Cheeseman, Business Law, Fourth Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458, 2001, page 564.[19] Satjipto Rahardjo,. Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983, hal 13