Catatan: Boy Yendra Tamin
Seorang ahli sains yang murni tidak mempunyai pilihan etika, keagamaan, politik, sastra, filsafat, moral atau status perkawinan. Sebagai ahli sains ia tidak mempunyai perhatian tentang apa yang benar (right) dan apa yang salah (wrong), apa yang baik dan apa yang jahat, akan tetapi perhatiannya hanya kepada apa yang betul (true) dan apa yang keliru (false)[1] Padangan ini tidak sepenuhnya benar, meskipun berguna sebagai pembeda dan menentukan mana ahli sain murni dan mana ahli sain yang tidak murni
Apabila seorang ahli sain menaruh perhatian penuh atau hanya fokus pada soal mana yang betul dan mana yang keliru, maka sains pantas menjadi pegangan bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya atau setidaknya menjadi alat penuntun bagi manusia dalam menjalani hidup dan membangun kehidupannya. Bahkan eksistensi ilmu makin tidak terpisahkan dalam setiap gerak kehidupan dan pergaulan sosial manusia sehari-hari, sehingga ilmu menjadi bagian yang sangat penting dalam setiap upaya manusia menjadikan dirinya berarti dan bernilai. Dalam perspektif yang lebih luas, negara mengambil peran yang dominan dalam kancah ilmu dan menjadi simbol kemajuan dan peradaban suatu bangsa.
Berbagai upaya dilakukan masyarakat bangsa-bangsa di dunia dalam upaya memajukan ilmu dan terus berupaya mengembangkan ilmu-ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Bahkan kemajuan ilmu suatu bangsa menjadi alat penekan, alat kendali atau alat ekonomi bila tidak ingin dipakai sebagai instrumen penjajahan bagi masyarakat bangsa yang kemajuan ilmu masyarakat bangsanya masih rendah. Tidak ada yang salah memang, ilmu sebagai sumber kekuatan masyarakat bangsa modern. Siapa yang menguasai ilmu, maka ia akan menguasai peradaban modern dan dipandang lebih berkelas dari masyarakat bangsa lain.
Sarjana-sarjana dalam berbagai bidang pengetahuan telah menyatakan bahwa telah terdapat kemajuan ilmu pengetahuan selama satu setengah abad terakhir lebih banyak dari pada selama sejarah abad-abad sebelumnya. Memang laju perkembangan ilmu sangat cepat sehingga abad kita ini sering dinamakan abad sains dan teknologi. Perkembangan sains sebagian terbesar adalah hasil peradaban barat pada periode modern. Peradaban-peradaban lain telah memberikan sumbangan-sumbangan penting kepada kemajuan manusia, tetapi pokoknya dalam bidang-bidang selain sains. Orang-orang Yunani purba menunjukkan kemajuan dalam filsafat, seni dan ilmu tata negara. Ketika mereka mengarahkan perhatiannya kepada sains, mereka mengarahkan perhatiannya kepada sains yang murni dan teori. Pada zaman itu filsafat dan sains mempunyai arti yang sama, tak ada perbedaan antara kedua bidang tersebut. Orang-orang Yahudi masyhur dalam pemikiran keagamaan dan moralitas. Orang-orang Romawi adalah administrator, ahli hukum dan ahli bangunan. Theologi merupakan suatu bidang perhatian yang penting dalam abad pertengahan. Tetapi semenjak Renaisans, khususnya selama abad yang lalu (abad ke -19) kemajuan di Barat dipusatkan dalam sains dan aplikasinya praktis.[2] Perkembangan sains tersebut untuk sementara cukup membantu peninjauan kita lebih jauh mengenai sains, tetapi belum memberikan mamfaat yang memadai bagi kita bagaimana mengambil sikap terhadap ilmu, apalagi menghadapi perkembangan terakhir sain sedemikian ”didewakan” di banyak tempat dan dibanyak kalangan.
Permasalahan tersebut memerlukan pengkajian, terutama adanya kecenderungan “pendewaan” terhadap sains yang padamulanya dimulai dengan memberikan stimulan bagi terjadinya sain dan bukan sain, dan juga telah membelah pergaulan manusia dan negara bangsa-bangsa. Sebagaimana digambarkan Jujun S. Suriasumatri, bahwa sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah kebintang-bintang dan tercengang. Lho, kok masih ada langit lain diluar tempurung kita. Dan kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu simpul sokrates , ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa.[3]
Bertolak dari beberapa dinamika seputar sain seperti dikemukakan tersebut, maka ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan antaranya; Pertama, apakah ilmu mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Kedua, apakah ilmu sanggup memecahkan seluruh rahasia alam semesta. Pertanyaan-pertanyaan tadi tentulah harus didahului dengan pertanyaan apakah sains itu ?
Perkembangan ilmu pada waktu lampau dan sekarang merupakan jawaban dari rasa keinginnan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tetapi masih terdapat jarak yang jauh antara akhir tujuan itu dan posisi kita sekarang.[4] Oleh karena itu mempertanyakan apa ilmu (sains] itu masih relevan untuk saat ini karena masih banyak orang yang gagap ketika ditanya sesungguhnya ilmu itu apa. Dan celakanya mereka tidak bisa memberikan perbedaan, sebaliknya menyamakan antara ilmu dan pengetahuan. Tidak jarang kata ilmu dan pengetahuan sering digabungkan dan diucapkan dalam satu kesatuan menjadi ” Ilmu pengetahuan”.
Dari aspek kebahasaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia phrase ”ilmu” diartikan sebagai (1) pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; (2) pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb).[5] Sementara itu menurut Peter R. Senn, ilmu dapat dianggap sebagai suatu sistem yang menghasilkan kebenaran. Dan juga seperti sistem-sistem yang lainnya dia mempunyai komponen-komponen yang berhubungan satu sama lain. Komponen utama dari sistem ilmu adalah; (1) perumusan masalah (2) pengamatan dan deskirpsi (3) penjelasan; (4) ramalan dan kontrol.[6] Selanjutnya Horal H. Titus Cs mengemukakan, bahwa istilah sains dapat dipakai untuk sekelompok pengetahuan yang sistematik, yang mencakup hipotesa, teori, hukum-hukum (laws) yang telah dibentuk oleh ahli-ahli sains selama bertahun-tahun. Pengetahuan ini sifatnya teoritikal, yakni bahwa pengetahuan praktikal dan bukan seni.[7] Lebih jauh dikemukakan Horal, bahwa bagi sejumlah besar manusia istilah sains dipakai untuk menunjukkan suatu metode memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam arti ini istilah sain menjadi sinonim dengan metode ilmiah.[8]
Pengertian tersebut cukup memadai dan dari definisi mengenai ilmu itu dapat di simpulkan, bahwa Ilmu adalah pemikiran asosiatif yang memahami kausalitas hakiki dan universal sebagai hasil dan akumulasi pengetahuan dengan menggunakan prosedur sistematis dan metode-metode tertentu. dengan lain perkataan, ilmu adalah pengetahuan yang sistematis; atau ilmu itu merupakan sistem. Jadi, untuk dapat disebut ilmu, maka harus dipenuhi syarat adanya objek dan adanya metode.
Meskipun abad ini diberi abad sains, namun sebagaimana dikemukakan Horal H. Titus, bahwa pada umumnya tidak ada sesuatu yang dinamakan sains, kecuali jika perkataan tersebut dipakai secara kolektif untuk menunjukkan bermacam-macam natural science atau kumpulan fakta-fakta yang telah terkumpul. Tidak ada orang penyelidik yang dapat dinamakan ahli sains secara umum. Ia adalah seorang spesialis dalam satu bidang atau beberapa bidang tertentu. Terdapat banyak sekali sains yang bidangnya bertumpang tindih. Sain-sain ini dapat dibeda-bedakan diantara mereka, bukan dari segi bidang atau isinya, akan tetapi dari segi kesatuan kelas, kategori dan konsep dari mana kita memikirkan isinya.[9] Pendapat yang terakhir ini sekaligus mengkritisi penganut pandangan yang menyatakan, bahwa ahli sains tidak mempunyai perhatian tentang apa yang benar (right) dan apa yang salah (wrong), apa yang baik dan apa yang jahat, akan tetapi perhatiannya hanya kepada apa yang betul (true) dan apa yang keliru (false).
Meskipun kita sudah mendekati apa itu sains, tetapi tetap saja pengertian-pengertian itu memberikan kepada kita sebuah konsepsi mengenai apa itu sains dan sepertinya memiliki kecenderungan apa yang dikategorikan sebagai sain dan mana yang bukan sain. Hal ini adalah sejalan dengan pandangan dari Horal Titus menyatakan, bahwa bagi sejumlah besar manusia istilah sains dipakai untuk menunjukkan suatu metode memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam arti ini istilah sain menjadi sinonim dengan metode ilmiah.[10] Oleh sebab itu sain atau bukan hanyalah sebuah model pemisahan dan penggolongan dari aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya dan tidak sepenuhnya dikungkung aspek-aspek keberfaedahan. Karena pada dasarnya, sain atau bukan jelas memberikan faedah bagi manusia dengan nilai keberfaedahan tersendiri.
Dalam ruang yang lebih luas, gejala ilmuwan picik itu juga terjadi dalam kompetisi ilmu diantara bangsa-bangsa sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya. Banyak bangsa atau suatu merasa tidak sepadan yang tolok ukurnya disandarkan pada perkembangan dan kemajuan sains yang dimiliki satu negara bangsa. Semua itu tidak terlepas dari dampak abad ini dihembuskan sebagai abad sains dan dierabolarasi kelompok ilmuwan serta dipublis sedemikian rupa, sehingga sains menjadi perhatian dimana-mana.
Namun demikian, berbagai fakta antara kemajuan ilmu dan teknologi suatu bangsa seperti digambarkan di atas tidak selalu benar. Ilmu dan teknologi bukanlah segala-galanya. Seperti dikemukakan Jujun, bahwa kerendahatian Sokrates bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Seorang yang berfikri filsafati selain tengadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat berpijak secara fundamental.Inilah karakteristik berfikir filsafat yang kedua, yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar ? Apakah kriteria ia sendiri benar ? Lalu benar sendiri itu apa ? [11] Terlepas dari pertanyaan filsafati itu, Jujun S Suriasumantri benar, sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari sengkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut dengan benar, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.[12] Beberapa hal yang disebut tadi, setidaknya mendekatkan kita pada apa yang disebut dengan sain dan sekaligus menjadi tali penghubung antara manusia dan keberadaan sain dan memperlakukan sain dalam kehidupan,
Apa yang dikemukakan diatas memang hanya sebuah catatan kecil atas frase ”sains” atau ilmu, dan ia menjadi penting ketika ada gejala campur aduk antara ilmu dan pengetahuan. Sesuatu yang hanya berupa pengetahuan, tetapi dilabel sebagai ilmu, dan kadang-kadang dibingkai saja dalam frase ”ilmu pengetahuan. Dengan mendekati apakah sain itu, maka beberapa pertanyaan yang diajukan diawal tulisan ini akan menemukan jawabannya dengan baik.*** Foto : antarafoto.com
End Note:
[1]Horal H. Titus, Marylin S. Smith, Richard T. Nolan “Living Issues In Philosophy,” D. Van Nostrand Company, New York 1979 alih bahasa H.M Rajidi, PT Bulan Bintang Jakarta 1984 hlm 254.[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar”, Sinar Harapan-Jakarta ;1990, hlm 20.[3] Jujun S. Suriasumantri, ibid.[4]Peter R.Senn, “Struktur Ilmu” dalam Jujun S Suriasumantri Ed, “Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan karangan tentang hakekat Ilmu, Yayasan Obor dan Leknas, LIPI;Gramedia;1984 hlm 110[5]Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,[6]Peter R.Senn, “Struktur Ilmu” dalam Jujun S Suriasumantri Ed, “Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan karangan tentang hakekat Ilmu, Yayasan Obor dan Leknas, LIPI;Gramedia;1984 hlm 111[7]Ibid[8]Ibid[9]Ibid[10]Ibid[11]Ibid hlm 21[12]Ibid 22