Oleh: Boy Yendra Tamin
Kata “kekuasaan” bukan lagi kata yang asing bagi banyak orang. Tetapi acapkali pula kata “kekuasaan” melahirkan masalah-masalah yang sukar untuk dipecahkan. Kekuasaan sering kali mendatangkan konflik dalam suatu masyarakat negara, terutama jika implementasi dari “kekuasaan” itu tidak terkonsepsi sedemikian rupa
Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan ? banyak sarjana yang memberikan pengertian terhadap apa yang disebut dengan kekuasaan, yang antaranya menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule end the ruled); satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah . Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi dari pada yang lain, dan ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Paksaaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.
Dengan demikian dapat dimengerti bagaimana suatu kekuasaan harus dijalankan dalam suatu negara. Apalagi jika negara bersangkutan menyatakan dirinya sebagai Negara Hukum. Dengan perkataan lain, bahwa soal kekuasaan merupakan suatu segi yang tak terpisahkan dari setiap pembicaraan mengenai negara hukum. Hal ini menunjukkan sejak munculnya teori Trias Politica, pada dewasa ini tidak ada lagi negara yang memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau satu badan. Ini berarti kekuasaan negara harus dibagi-bagikan kepada masing-masing alat perlengkapan negara atau kepada masing-masing aparat administrasi. Dalam negara harus ada pembagian-pemisahan- kekuasaan.The word “power” has diffrent meanings in these diffrent usages. The power of the state to wich the people is subject is nothing but the validity and efficacy of the legal order, from the unity of wich is derived that of the territory and of the people. The “power” pf the state must be the validity and effecacy of the national legal order, if sovereignity is to be considered as a quality of this power.
Adalah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi (memisahkan) tugas pemerintahan ke dalam “trichotomy” sebagaimana yang diajarkan Montesqueu yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudicatif. Menurut Montesqueu suatu sistem, dimana ketiga-tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapannya (organ) yang melakaukannya sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa Timur dan tengah dengan sistem Republik menolak sama sekali teori pemisahan kekuasaan ini.
Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan Negara Hukum yang penting bukan ada atau tidak adanya Trias Politica. Menurut Ismail Suny, persoalannya adalah dapat ataukah tidak alat-alat kekuasaan negara itu dihindarkan dari praktek burokrasi dan tirani. Dan hal itu tidaklah tergantung kepada pemisahan kekuasaan itu sendiri, tetapi kepada adanya sendi negara demokrasi ialah kedaulatan rakyat.
Jika ditinjau sejarah ketatanegaraan lahirnya teori Trias Politica sebetulnya John Locke yang dianggap membicarakannya pertama kali dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, dimana ia memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara dalam kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Antara kedua kekuasaan itu menurut Locke harus dipisah. Di samping kedua kekuasaan itu terdapat pula kekuasaan yang meliputi kekuasaan perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang badan-badan di luar negeri. kekuasaan yang ketiga ini dengan tidak memberikan arti tertentu kepada nama itu disebutnya “federatif”.
Gagasan John Locke itu yang mengilhami Montesqueu dimana ia mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintah terdapat 3 jenis kekuasaan yang diperincinya menjadi; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatitf. Ketiga-tiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan suatu sistem dimana ketiga-tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lain. Dalam hubungan ini Montesqueu memandang kekuasaan pengadilan itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. hal itu disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari seorang hakim Montesqueu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif berlainan dengan dengan kekuasaan pengadilan.
Sehubungan dengan itu pula, bila ada sebagian sarjana yang berpendapat bahwa suatu negara hukum dalam konteknys dengan kekuasaan yang penting bukan ada atau tidak adanya Trias Politica agaknya dapat diterima. Namun haruslah diingat bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya pengadilan yang bebas. Hal ini mengandung makna, perwujudan negara hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep pemikiran Trias Politica. Dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara terhadap warga negara dibatasi oleh hukum. Konsekuensi dari pandangan ini adalah dengan cara bagaimana dapat dikendalikan kekuasaan negara dengan tidak terlalu menghalang-halangi dalam usahanya melaksanakan tujuan negara.
Jalan yang sebaik-baiknya dapat mendekati tercapainya cita-cita tersebut menurut pendapat para sarjana ialah dengan pemisahan kekuasaan (Trias Politica). harus dipisah-pisahkan kekuasaan badan perundang-undangan, kekuasaan penyelenggara dan kekuasaan mengadili, sehingga ketiga kekuasaan itu tidak berada dalam satu tangan. Meskipun teori ini secara murni sulit dipraktekan, tetapi pokok pikirannya telah dioper dalam konstitusi-konstitusi negara modern. Undang-undang yang dimaksudkan sebagai batas kekuasaan badan penylenggara dibuat dengan bantuan dari badan pembawa suara rakyat. Dalam badan ini duduk pula wakil-wakil dari rakyat. Untuk rakyat ini pun akan berlaku peraturan-peraturan yang ia sendiri telah turut membuatnya. Inilah yang menurut Sudargi gautama yang menjadikan hubungan antara cita-cita negara hukum dan asas pemisahan kekuasaan. Suatu badan peradilan yang bebas dari segala pengaruh luar baik dari badan penyelenggara maupun dari badan perwakilan rakyat (pembuat undang-undang), harus menjamin bahwa setiap pihak bertindak di dalam batas-batas yang diberikan kepadanya.
Dengan pemisahan (pembagian) kekuasaan ini cita-cita suatu negara hukum lebih terjamin. Walaupun demikian tidak dapat disangkal, bahwa dalam negara-negara dimana semua kekuasaan terletak dalam satu tangan raja, asal raha berpegang teguh pada perikemanusian dan ekadilan dapat pula terjadi suatu negara hukum. tetapi harus diakui bahwa negara hukum ini biasanya tidak akan lama berlansung.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Trias Politica adalah prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak azasi warga negara lebih terjamin. Lebih jauh menurut Montesqueu, kemerdekaan akan terjamin apabila kekuasaan-kekeuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau satu badan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaaan itu. Dalam konteks ini pada pokoknya Montesqueu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan induvidu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Ajaran Trias Politica yang dilaksanakan di Amerika Serikat dianggap yang paling konsekuen, namun penyusun UUD Amerika Serikat masih juga menggangp perlu menjamin masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya. maka dari itu dicoba untuk membendung kecenderungan ini dengan mengadakan suatu sistem “cheks and balances” (pengawasan dan keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Dalam rangka “cheks and balances” ini Presiden diberi wewenang untuk menveto rancangan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Conggres dengan dukungan 2/3 suara dari kedua Majelis. Mahkamah Agung mengadakan cheks terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui “judicial review (hak uji). Di lain pihak Mahkamah Agung yang diangkat seumur hidup oleh badan eksekutif dapat diberhentikan oleh Conggres kalu ternyata telah melakukan tindakan kriminal.
Pada pokoknya sistem “cheks and balances” itu yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksudkan untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang dilihat di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara efektif.
Memahami konsep dan perkembangan penerapan ajaran Trias politica tersebut jelaslah bahwa pelaksanaan konsep trias Politica dalam aslinya sukar sekali diselenggarakan dalam praktek. Konsep ini mungkin hanya dapat dilaksanakan dalam Negara Hukum Klasik abad 19 seperti yang digambarkan Imanuel kant dan Fichte yang tugasnya tidak lain dari mempertahankan dan melindungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan asas “laisser faire, laissez aller”.
Uraian di atas mengandung arti bahwa pada negara hukum modern (negara kesejahteraan) dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur atu ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara me-nyeluruh, sehingga fungsi kenegaraan sudah melebihi tiga macam fungsi yang disebut Montesqueu. Dengan lain perkataan dalam negara kesejahteraan pemerintah campur tangan hampir dalam semua aspek kehidupan warga negaranya, sehingga Trias Politica dalam arti “pemisahan” kekuasaan tidak dapat dipertahankan lagi.
Atas dasar hal yang demikian, kiranya memang tidak dapat dihindarkan jika kecenderungan untuk menafsirkan trias Politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (divison of power) yang diartikan sebagai hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifannya, serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. Meskipun demikiab model pembagian kekuasaan kemungkinan lemahnya fungsi control dari lembaga yang ditugasi untuk hal itu potensial terjadi. Ruang tawar menawar antara pemegang kekuasaan –apalagi dalam konteks kekeuasaan bersama- dalam pengambilan suatu keputusan akan menjadi sangat rawan untuk disalahgunakan. (***)