Oleh : Boy Yendra Tamin
Apakah hukum itu ilmu ? Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan ini. Ketidak-mudahan itu dimungkinkan oleh sisi pandang terhadap hukum itu sendiri yang sampai saat ini dikalangan sarjana hukum belum terdapat kesamaan pandangan mengenai pengertian hukum itu apa.
Baca juga: What is Law : Definition of law In Dictionary
Tetapi persoalan diatas tidak pula sekaligus suatu kesulitan untuk menelusuri apakah hukum itu ilmu atau bukan. Karena titik permasalahannya bukan pada soal pengertian hukumnya, meskipun sesungguhnya tidak bisa lepas sama sekali. Dalam kaitan pertanyaan diawal tulisan ini, penyelidikan kita harus dimulai dari pengertian terhadap apa yang disebut ilmu itu terlebih dahulu.
Ilmu adalah pemikiran asosiatif yang memahami kausalitas hakiki dan universal sebagai hasil dan akumulasi pengetahuan dengan menggunakan prosedur sistematis dan metode-metode tertentu. dengan lain perkataan, ilmu adalah pengetahuan yang sistematis; atau ilmu itu merupakan sistem.
Sementara itu menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu mengandung dua makna, yakni ilmu sebagai produk dan ilmu sebagai proses. Sebagao produk ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya. Sedangkan sebagai proses, ilmu menunjuk pada kegiatan akan budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig), atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan mengkaji gejala-gejala (keterberian,gegevens) yang relevan dengan bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan criteria yang sama dan disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas sekeahlian dalam yang bersangkutan.
Jadi, untuk dapat disebut ilmu, maka harus dipenuhi syarat adanya objek dan adanya metode. Jika demikian halnya, apakah hukum sudah memilki kedua syarat dasar itu untuk dapat disebut ilmu ? Sebelum kita memberikan jawaban terhadap pertanyaan tadi, berikut akan dikemukakan beberapa pendapat yang menolak hukum dapat dikatakan ilmu. Von Stammer dan H.Kelsen ; bahwa hukum itu merupakan keharusan belaka sollen dan bukan sain. Dan segala sesuatu yang bersifat sollen adalah bukan ilmu pengetahuan.
Gabriel Marcely ; hukum itu adalah mistery (gelap) karena berbicara hukum selalu terbatas pada ruang dan waktu, dengan demikian hukum itu bukan sebagai ilmu. Begitu pula dengan Von Kircman ; bahwa ilmu hukum itu bukanlah ilmu, karena objek dari ilmu hukum adalah hukum positif. Dimana didalam hukum positif secara a priori kita dipaksa untuk mentaatinya, sedangkan dalam ilmu pengetahuan orang memiliki kebebasan untuk mempelajari.Dari ketiga pandangan yang menolak hukum sebagai ilmu itu, kiranya dapat dikemukakan, bahwa pandangan tersebut tidak bertolak dari akar, artinya hukum dilihat hanya sebagai sesuatu yang abstrak atau hukum hanya dilihat dalam pengertian yang sempit (hukum positif). Padahal, sesungguhnya hukum harus dilihat sebagaimana layaknya hal yang lain dalam dunia empiris. Adalah hal yang penting untuk mendapatkan kejelasan bahwa sudut pandang sosiologi misalnya, hukum terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dapat diamati, bukan hanya perbuatan-perbuatan yang dapat diamati, bukannya terdiri dari peraturan-peraturan sebagaimana konsep peraturan atau norma yang digunakan baik dalam literatur yurisprodensi maupun dalam bahasa hukum sehari-hari.
Bahwa objek dari ilmu hukum adalah hukum. Maka kembali lagi ke pertanyaan apakah hukum itu ? Disadari, bahwa sampai saat sekarang belum ada defenisi hukum yang benar-benar sempurna dan tepat dari defenisi yang pernah dikemukakan sarjana hukum, karena begitu luasnya bidang cakupan hukum itu, tetapi satu dari sejumlah rumusan yang ada sebagaimana yang dikemukakan Satjipto Rahardjo dapat membantu kita untuk menjelaskan apakah hukum itu ilmu atau bukan. Dikemukakan, bahwa hukum adalah tehnologi sosial. Jika hukum adalah teknologi sosial, maka akar dari pemahaman ini adalah tingkah laku manusia dan manusia itu sendiri di dalam pergaulan hidupnya.
Dan tingkah laku dan manusia serta pergaulan hidup manusia itu sesungguhnya merupakan awal mula dari objek dari ilmu hukum dan bagaimana menyusun suatu peraturan-peraturan bagi pergaulan hidup manusia itu melalui suatu peraturan-peraturan yang akan mengatur tingkah laku dan pergaulannya untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita hukum yakni kertertiban dalam arti yang luas. Untuk menyusun suatu susunan hukum yang baik dan sesuai dengan cita hukum itu, jelas diperlukan suatu metode. Dan dalam kenyataannya dalam perkembangan ilmu hukum metodologi hukum sudah berkembang sedemikian rupa sebagaimana yang terlihat sekarang ini.
Pemahaman dan persepsi kita akan semakin kuat, bila kita kemukakan apa yang dinyatakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmadja, bahwa hukum itu dapat digunakan sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pendapat ini jelas tidak lagi semata-mata memandang hukum hanya sebagai alat pengatur tingkah laku, untuk menciptakan ketertiban dalam arti sempit, tetapi lebih dari itu. Begitu pula dengan Rescoe Pound yang menyatakan hukum dapat digunakan untuk memberikan dan mengembangkan dasar-dasar pemikirannya dengan menyusun bahan-bahan hukum yang ada, menjadi hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Dengan pandangan diatas ,jelaslah bahwa pengertian dan pandangan kita terhadap hukum tidak lagi semata-mata tertuju kepada hukum positif atau jurisprudensi atau pada pernyataan hukum itu hanya terdiri kata-kata. Tetapi merupakan sebagai sarana. sebagai sarana hukum haruslah disusun melalui suatu metode dan objeknya tidak hanya hukum positif tetapi tingkah laku manusia dan perubahan sosial yang dapat diamati. Dengan pandangan ini, sebagaimana halnya layaknya dunia empiris. Kalau demikian halnya apakah hukum itu bisa disebut sebagai ilmu ?(***)