Ulasan: Boy Yendra Tamin
Apabila tuntutan atas revisi UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sangat kuat, ia bukanlah tanpa alasan. Selain memang usia UUPA sudah terbilang tua, sehingga dapat dipandang sebagai tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Namun demikian, merevisi UUPA harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak boleh hanya sekedar keinginan untuk merevisi, karena soal keagrariaan sangat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, revisi UUPA selain sebagai langkah untuk mengantisipasi atau menyelesaikan sejumlah persoalan keagrariaan selama ini, juga sangat terkait dengan esensi dan prinsip-prinsip mendasar dan sensitive. Karena ada nilai-nilai yang terkansung dalam UUPA itu, maka revisi terhadap UUPA tidak boleh menjadikan keadaan bertambah buruk dan disisi lain dampaknya luar biasa bila salah merancang.
DPR memang harus menyegerakan revisi UUPA karena masalah keagrarian di Indonesia cukup kompleks dan memerlukan regulasi baru sehingga masalah-masalah yang dihadapi selama ini dalam persoalan keagrariaan dapat diselesaikan dan sekaligus menjadi regulasi penting dalam penataan kebijakan pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat kini dan mendatang.
Dalam kepentingan revisi UUPA itu DPR sudah semestinya mendapat banyak masukan dari berbagai pakar, khususnya pakar hukum agrarian, sehingga hasil revisi UUPA itu nantinya tidak menjadi sebuah UU yang sulit diterapkan, bahkan boleh jadi ditentang publik. Terkait dengan pembahasan revisi UUPA itu, hukumonline.com (13 Oktober 2011) memberitakan:
Komisi II DPR mulai membahas revisi Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Sejumlah pakar mulai dihadirkan untuk berpendapat sebaiknya bagaimana revisi UU Pokok Agraria kedepan. Pembahasan memang belum berbicara materi secara detil, melainkan konsep besar mau dibawa kemana wacana revisi UU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR periode 2009-2014 ini.
“Bayangkan, UU ini terdiri 67 pasal. Diantaranya, ada 53 pasal yang mengatur mengenai tanah. Jadi, ada contradictio in terminis. Seharusnya namanya UU Pertanahan,” jelasnya di ruang rapat Komisi II DPR, Rabu (12/10).
Lebih lanjut, Maria menjelaskan terminologi agraria secara hukum tak hanya berarti tanah, melainkan juga air dan ruang udara. Itu pengertian secara luas. Bila awalnya UU ini diniatkan untuk mengatur Ketentuan Pokok Agraria, seharusnya bukan hanya persoalan tanah saja yang diatur secara lengkap, tetapi juga persoalan air dan ruang udara.
“Itu bila kita mengingingkan UU ini sebagai UU Pokok yang menjadi sebuah sistem, yang kemudian membawahi sub-sistem (uu sektoral),” ujar Maria. Artinya, UU Pertanahan ini akan sejajar kedudukannya dengan UU sektoral yang lain seperti UU Kehutanan, UU Kelautan dan lain sebagainya.
Karenanya, Maria menyerahkan sepenuhnya kepada para anggota dewan untuk meluruskan ‘salah arah’ ini. Ada dua pilihan yang ditawarkan. Pertama, cukup mempertahankan isi UU Pokok Agraria yang hanya mencakup hukum tanah saja, dengan konsekuensi mengubah namanya menjadi UU Pertanahan.
Atau, kedua, mengembalikan ruh awal UU Agraria yang isinya tak hanya mencakup tanah, tapi juga air dan ruang udara. “Saya hanya memberikan pilihan. Silakan bapak-bapak dan ibu-ibu memilih pilihan itu. Dua pilihan itu tentu ada untung ruginya,” jelas Maria.
Maria menjelaskan bila DPR memilih opsi pertama maka konsekuensinya adalah mengubah UU Pokok Agraria menjadi UU Pertanahan, lalu tinggal menyempurnakan hukum tanah nasional saja. UU ini menjadi setara kedudukannya dengan UU Sektoral yang lain. “Pertimbangannya politisnya, tarik ulur antar sektor relatif sedikit. Karena tinggal menyerahkan pengurusannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) saja,” ujarnya.m
Bila DPR memilih opsi kedua, maka cukup mengatur prinsip-prinsip agraria (mencakup tanah, air dan ruang udara) di dalam UU Pokok Agraria itu. Namun, pilihan ini akan menimbulkan tarik ulur yang kuat antar sektor. Misalnya, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan, Kementerian ESDM dan BPN sendiri. “Terserah bapak dan ibu mau pilih yang enteng-enteng saja yang sedikit berkelahinya atau pilih yang agak idealis tapi akan banyak berkelahi,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia (UI) Arie Sukanti Sumantri (Hutagalung) berpendapat senada. Namun, ia lebih memilih bila UU Pokok Agraria tetap menjadi UU induk. Sehingga, UU yang bersifat sektoral yang lain kelak harus menyesuaikan isinya dengan UU Pokok Agraria itu. “Saya usulkan ada Menteri Koordinator yang kelak mengurus persoalan agraria ini,” jelasnya.
Pimpinan Rapat Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja menyambut baik masukan-masukan dari para profesor itu. Ia mengatakan revisi UU Pokok Agraria memang masih tahap awal. Sehingga, yang dibicarakan baru sebatas konsep global, bukan isinya secara detil. “Kami masih menggali prinsip-prinsipnya,” pungkas Hakam.
Mencermari pandangan pakar hukum agraria atas revisi UUPA tersebut, setidaknya memperlihatkan akan peliknya pembahasan revisi UUPA yang telah mewarnai kebijakan dan politik agraria di Indonesia selama puluhan tahun. Di samping sejumlah regulasi dibidang agraria yang ada di Indonesia juga dibangun atau dipayungi UU No.5 Tahun 1960. Namun hal ini tidak berarti pembahaan revisi UUPA harus ditunda-tunda lagi, karena yang diperlukan adalah keseriusan DPR mengingat arti penting dari revisi UUPA. (***)