"Dunia ini mencukupi untuk semua manusia. Tapi ia tidak akan pernah memuaskan satu orang serakah (Mahatma Gandhi)"
Oleh: Sabiq carebest
Sejak di undangkan di hadapan Sidang DPR-GR 12 September 1960, UUPA 1960 ini merupakan sebuah perjuangan untuk melepaskan diri dari sistem hukum agraria lama yang bersifat feodal dan cenderung melayani kepentingan pemodal asing.
Oleh karena itu, UUPA 1960, seperti dinyatakan Sadjarwo (Menteri agraria Indoensia saat itu) pada pidato pengantar dalam rangka penyerahan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, saat itu dengan tegas meneguhkan posisi hukum undang-undang ini sebagai penentang kapitalisme dalam penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya. Karena itulah landreform sudah semestinya menjadi semacam grand narasi yang tidak hanya menggejala sebagai sebuah wacana belaka tanpa substansi dan inisiasi.
Padahal kita tahu bersama bahwa persoalan agraria adalah juga menyangkut harkat, eksistensi dan martabat bangsa. “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi.” Dengan demikian, hubungan manusia/masyarakat Indonesia dengan tanah bersifat abadi dan keterkaitan keduanya itulah yang menentukan keindonesiaan kita. (Pasal 1 ayat 3 UUPA)
Namun sayangnya, bila menyimak dinamika dan ingatan reflektif kita atas masalah ke-agrarian di Indonesia, nampaknya komitmen akan perwujudan reforma agraria tersebut selalu, dan tidak bisa disangkal lagi, terkait erat dengan perkara politik rezim, dan kekuasaan. Regulasi dan keberpihakan rezim politik bangsa ini dengan diundangkannya UU. NO. 41/1999 Tentang Kehutanan, UU No. 18 Tentang Perkebunan, UU. No. 25/2004 tentang Penanaman Modal, UU no. 25/2007 Tentang Sumberdaya Air, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Energi, dan regulasi sektoral yang lain, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Negara dalam WTO, NAMA, GATS, G33, AoA, dan EPA rupanya masih cenderung memihak kepentingan pemodal besar, maupun investasi, TNC/MNC yang berorientasi pasar dengan sepenuh kendali madzhab ekspansi, eksploitasi Kapitalisme.
Maka tak ayal, kekerasan, tindakan kriminal pada petani, perampasan hak tanah rakyat, cengkeraman kelaparan, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, sampai tingkat urbanisasi yang tinggi masih terus berlangsung bahkan setelah kini hampir 12 tahun usai reformasi 1998.
Hal itu sekalian menunjukan bahwa reforma agraria harus menjadi agenda penting bersama yang membutuhkan sokongan, komitmen, konsistensi, dan kesadaran (historis) semua pihak akan pentingnya reforma agraria; baik masyarakat dengan kesadarannya, maupun kewajiban dan konsistensi kekuasaan politik untuk mewujudkan agenda reforma agrarian demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kesadaran masyarakat atas (substansi) landreform terkait erat kiranya dengan, pertama; kesadaran sejarah (historis). Lahirnya UUPA 1960 adalah sebagai alat perjuangan rakyat dalam rangka mengakhiri dominasi dan invasi-akumulasi tanah oleh pihak penjajah (kolonialisme). Kedua; kesadaran masyarakat akan pentingnya sumber daya agraria sebagai alat kesejahteraan dan juga kehormatan dalam dimensi nilai kemanusiaan, dan kebangsaan. Sehingga jangan sampai usaha reforma agraria hanya dimaknai dengan dangkal sebagai semata usaha sertifikasi untuk tujuan ekonomis-praktis, seperti fenomena yang banyak terjadi belakangan dimana sertifikasi hanya jadi kampanye untuk rakyat menjual tanahnya; alias sertifikasi bertujuan privatisasi. semoga program larasita (layanan sertifikasi tanah) yang tengah dicanangkan oleh pemerintah melalui BPN, sebagai tindak lanjut atas perencanaan landreform seluas 8,1 juta Ha melalui Kepres no.10/2006, tidak mengarah kepada usaha privatisasi dengan wajah manis sertifikasi.
Sementara itu pada pihak pemerintah, hendaknya menyadari betul bahwa agenda reforma agraria adalah jalan yang akan melapangkan jalan menuju kesejahteraan rakyat sekaligus penguatan ekonomi nasional dan kehormatan sebagai bangsa. Pemimpin bangsa ini harus sadar bahwa perkara keadilan agraria dan persoalan pangan adalah pertaruhan eksistensi sebuah bangsa.
*******Ancaman krisis pangan yang masih mengancam 100 kabupaten lebih di Indonesia saat ini sudah tidak bisa dipandang dan diselesaikan dengan cara-cara lama: berbelas kasihan pada mereka yang miskin, dan bantulah mereka (meminjam istilah Shindunata). Bahwa perkaranya sudah tidak semata tentang si Miskin lagi, tapi menyangkut eksistensi bangsa, keberlangsungan dunia secara global, dan bukti gagalnya globalisai.”Jika kita membiarkan keadaan demikian, resikonya tak hanya mengenai negara nasional, tapi juga mengancam stabilitas global.” (Jacques Diouf.)Oleh karena itu jangan sampai issu pembaruan agraria seperti (issu) dicanangkan oleh presiden SBY kali ini hanya menjadi upaya mobilisasi politik (kekuasaan) demi meraih simpati rakyat belaka. Land reform mesti menohok menjadi suatu cara pandang (paradigma) dalam usaha pengautan struktur kekuatan ekonomi rakyat dan bangsa ini. Landreform adalah jalan bagi basis kesejahteraan rakyat dan penguatan struktur ekonomi Negara berhadapan dengan rezim global yang kapitalistik, ekspansif dan eksploitatif.
Jika kita percaya bahwa tujuan hukum adalah tercapainya the greatest happiness of the greatest number of people (Jeffrie G.Murphy, Philosophy of Law, 1990), maka di Indonesia mereka yang tergolong the greatest number of people adalah kaum tani, nelayan dan sebagainya yang umumnya hidup di pedesaan atau pantai. Dan kepada merekalah semestinya pembangunan negeri ini dilandaskan dan hukum yang berpihak ditujukan. Sudah saatnya politik pembangunan ekonomi kita diorientasikan kepada kepentingan terbesar dari nasib kehidupan rakyat yang hidup dari sektor agraris. Paradigma baru pembangunan mesti dikembangkan atas dasar pareto superiority yakni membangun tanpa merugikan kepentingan orang lain. Sebaliknya apa yang selama ini dipraktekkan yakni membangun dengan mengorbankan kepentingan orang lain, pareto optimality, zero some gime ala Developmentalisme Orde Baru harus segera ditinggalkan.
Kita semua mesti berefleksi bersama, kalau masalah agraria adalah masalah pokok dan penting ditengah pertumbuhan manusia yang super tinggi, sementara di tempat berbeda tanah pertanian makin sempit, air yang langka, produksi sudah tidak lagi mencukupi spekulasi, maka bijakkah manusia bila ditengah kebutuhan yang bersifat bersama sebagiannya justeru mementingkan hiburan dan pesta pora tanpa akhir? Lahan pertanian rakyat di ubah menjadi lapangan Golf, Jembatan Tol, lahan produktif dijadikan lahan industri dan perumahan, aset pokok rakyat di privatisasi hanya untuk memenuhi libido kesenangan dan hiburan. Manusia modern dengan kemajuannya harus mengubah cara pandang dan gaya borjuasinya seandainya kehidupan ini masih diharapkan berlanjut dalam keadaan sejahtera dan berkeadilan.
Pengalaman mengajari kita bagaimana orientasi pertumbuhan ekonomi pembangunanisme (Developmentalisme) yang berorientasi pasar-kapitalistik hanya mengakibatkan ketimpangan semakin nyata dan mencolok. Tak terkecuali ketimpangan struktur penguasaan lahan yang menyebabkan diberbagai wilayah, konflik agraria terus menerus terjadi diiringi dengan kekerasan terhadap petani. Oleh karena itulah kita semua, sekali lagi, boleh berharap konsistensi semua pihak untuk melangsungkan reforma agraria sesuai dengan UUPA 1960 dengan konsisten dan berkeadilan dan sesegera mungkin kekerasan terhadap petani dihentikan atas nama Hak Asasi Manusia, keadilan dan kemanusiaan.
At Bina Desa Office
Maret 2010Sabiq Carebesth, lahir di Cilacap 10 Agustus 1985. saat ini tinggal di Jakarta. Penulis adalah Direktur pada Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI) dan bekerja sebagai Redaktur Publikasi Indhrra (Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Areas) Yayasan Bina Des
Sumber: nasional.kompas.com/read/2010/03/09/0116449/merefleksikan.reforma.agrari ,,, selasa, 9 Maret 2010 I 01;16 WIB