Catatan Ringan : Boy Yendra Tamin
Sepertinya kita mesti setuju dengan apa yang pernah dikatakan Ketua DPR Marzuki Alie, bahwa Presiden merupakan simbol negara yang harus dihormati dan tidak boleh dihina (republika.co.id, 21/11/11). Soal hina menghina itu sebenarnya sudah menjadi krisis kehidupan berbangsa di negeri ini dan berpuncak pada menghina presiden seperti dikemukakan Marzuki Alie. Dalam konteks ini menghina presiden dan menghina siapa saja sama sekali tidak bisa didalilkan sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di alam demokrasi. Bahkan sebaliknya, sebenarnya kita tengah mempertaruhkan jadi diri bangsa.
Benar adanya, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat sebagai instrument dari demokrasi, tetapi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat tidak identik dengan orang boleh menyatakan apa saja, apalagi sudah jatuh pada kategori menghina. Tunding menunding, cela mencela dan puncaknya melakukan penghinaan, berlansung begitu saja dan tidak banyak orang mau memberikan responnya, dan banyak yang berdiam atau mendiamkan saja. Lama-lama akhirnya mentradisi. Dan dalam dunia hukum sendiri sebenarnya sudah menyediakan sarana untuk setiap perbuatan yang dipandang sebagai penghinaan.
Baca juga: Tindak Pidana Penghinaan Berdasarkan Pasal 207 KUHP
Kembali kepada soal menghina presiden. Apa pun kondisinya, secara faktual Presiden adalah pemimpin negara dan bangsa . Dalam perspektif demikian maka tidaklah patut seorang Presiden dihina oleh bangsanya sendiri. Kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap kinerja presiden tentu disikapi dengan kritik yang membangun dan konstruktif. Sikap serupa itu semestinya menjadi bagian keseharian dari setiap elit bangsa dan publik, sehingga kesan bangsa yang maju dalam berfikir dan bertindak tumbuh sedemikian rupa.
Mesti diakui, dikalangan elit sendiri keteladanan dalam menyikapi berbagai hal boleh dikatakan mengalami degradasi. Artinya model-model kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat tu cenderung “tidak terkontrol”. Coba saja lihat dalam berbagai dialog di suatu pertemuan atau diskusi ketika membicarakan suatu soal, terkesan lebih menonjol rasa tidak suka –untuk tidak mengatakan membenci—dan celakanya terkadang menjurus pada personal seseorang ketimbang memberikan pandangan dan solusi yang bijak dan arif. Bahkan yang dominan kesan menyalahkan, memojokan dengan segala elemennya.
Dengan demikian, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat sudah saatnya dibangun dalam suasana yang lebih elegan dan intelek . Penciptaan Suasana yang demikian, sekaligus merupakan usaha membangun jati diri bangsa dalam alam demokrasi yang berkualitas. Jadi selain karena Presiden adalah simbol negara, hina menghina bukanlah cermin budaya bangsa Indonesia.. Kecenderungan itu tumbuh sebagai dampak dari kebebasan menyatakan pendapat dan berbicara yang terlalu diagung-agungkan, namun sesungguhnya tidak mencerminkan alam demokrasi itu sendiri secara esensial. Dan janganlah lupa, tidak ada seorang pun mau dirinya dihina dan bahkan orang yang suka menghina juga tidak mau dihina. (***)