Oleh: Boy Yendra Tamin
Adakah contoh kasus putusan ultra petita ? Meskipun putusan hakim ultra petita dilarang, tetapi jika ditelusuri putusan-putusan hakim tentu bisa ditemukan putusan yang ultra petita sebagai contoh kasus dan soal putusan ultra petita itu sebenarnya sudah menjadi pembicaraan kalangan hukum sejak lama. Belakangan putusan hakim yang ultra petita kembali mendapat perhatian, terutama adanya beberapa putusan Mahkamah Konsitusi yang ultra petita dan melahirkan pandang pro-kotra dikalangan pakar hukum dan menaman krisis kehidupan dunia hukum Indonesia.
Putusan ultra petita menjadi menarik dibicarakan, karena ada pandangan yang berpendapat, bahwa larangan putusan ultra petita hanya pada peradilan perdata. Bila demikian halnya, apakah selain dari peradilan perdata, katakanlah misalnya pada MK dan peradilan PTUN doblehkan putusan hakim yang ultra petita ?
Secara gamblang dapat dikatakan, bahwa putusan hakim PTUN pada pokoknya adalah berupa pernyataan batal atau tidak sahnya suatu keputusan TUN sebagaimana yang digugat seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan dengan dikeluarkan suatu keputusan Badan/Pejabat TUN.
Kemudian, yang menjadi pegangan hakim dalam memeriksa sengketa yang diajukkan kepadanya adalah surat gugatan yang diajukan penggugat. Akan tetapi didalam praktek keputusan hakim ada kalanya bersifat ultra petita. Artinya keputusan hakim melebihi dari apa yang dituntut atau yang diinginkan penggugat sebagaimana dinyatakan dalam surat gugatan (pokok sengketa atau pangkal sengketa istilah yang dipergunakan Sjachran Basah). Satu contoh dari putusan hakim PTUN yang bersifat ultra petita adalah keputusan Hakim PTUN Jakarta Nomor : 010/G/PTUN-JKT dalam sengketa TUN yang dikenal pula dengan sebutan "Sengketa Jalan Sabang".
Dalam kasus tersebut yang digugat ialah Badan Pertanahan Nasional Jakarta dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sekaitan dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh kedua Badan/Pejabat TUN tersebut. Adapun keputusan yang digugat penggugat sebagaimana dalam surat gugatannya yang didaftarkan tanggal 19 Februari 1991, yang kemudian diperbaiki tanggal 18 Maret 1991 yang pokoknya sengketa adalah sebagai be rikut:Bahwa Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah mengeluarkan SIPPT (Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah) tanggal 7 Mei 1990 No.:1618/-1.711 seluas 7000 M2 yang terletak di persil Jln. H. Agus Salim ( Dulunya bernama Jalan Sabang) Nomor 4-6-8-10-12-14 dan persil Jalan Kebon Sirih Nomor 48-50 Jakarta Pusat, kepada PT Sari Graha Mandala;
Bahwa Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah memberikan perpanjangan SIPPT selama 6 bulan atas SIPPT tanggal 7 Mei 1990 Nomor 4662/-1.771.5 kepada PT. Sari Graha Mandala sesuai dengan permohonan tanggal 5 Nopember 1990 Nomor : 031/SGM/XI/90;
Atas dikeluarkanya kedua surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta itu, Ny. Dahniar dkk, melakukan gugatan ke PTUN Jakarta, dengan alasan kepentingan penggugat telah dirugikan oleh kedua surat keputusan sebagaimana disebut diatas. Sebab penggugat tidak dapat melakukan realisasi balik nama atas tanah Sertifikat Hak Milik No.60/Gambir, dengan dihapusnya Sertifikat Hak Milik No.60/Gambir oleh Badan Pertanahan Nasional yang kemudian memberikan status lain terhadap tanah tersebut.
Atas dasar tidak dapatnya penggugat merealisasikan maksudnya untuk melakukan balik nama terhadap Sertifikat Hak Milik itu,sementara atas tersebut oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta telah dikeluarkan pula SIPPT yang diberikan kepada PT. Sari Graha Mandala yang dasar pengeluaran SIPPT itu adalah beberapa Surat Keputusan BPN Jakarta mengenai tanah tersebut yakni :
Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor SK 158/HP/DA/1972, tanggal 4 Agustus 1972.
- Sertifikat HGB Nomor 116/kebon Sirih yang didaftarkan atas nama turut tergugat I tanggal 14 Desember 1993.
- Sertifikat HGB Nomor 138/Kebon Sirih yang terakhir tercatat atas nama turut Tergugat II pada tanggal 14 Desember 1990.
Dalam "Sengketa Jalan Sabang" tersebut ternyata hakim tidak hanya memberikan putusan terhadap pokok sengketa. Hakim TUN dalam keputusannya pada kasus Jalan Sabang tersebut, juga memberikan keputusan terhadap Keputusan TUN diluar Keputusan TUN yang digugat penggugat sebagai pokok sengketa dalam surat gugatan. Keputusan Hakim itu adalah pernyataan sahnya Sertifikat Hak Milik No 60/Gambir dengan surat ukur Nomor 69 Tahun 1888, sedangkan hal tersebut oleh penggugat dalam surat gugatan tidak diajukan sebagai pokok sengketa. Mengenai hal itu oleh para tergugat juga telah dikemukakan dalam eksepsinya, akan tetapi putusan hakim tetap memberikan pernyataan bahwa Sertifikat Hak Milik itu dinyatakan sah. Disamping putusan terhadap Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang menjadi dasar keluarnya SIPPT Tanggal 7 Mei 1990 seperti yang disebut diatas.
Tergugat dalam eksepsinya lebih jauh mengemukakan, mengenai gugatan penggugat bahwa gugatan penggugat bersifat obscuur libel, sebab dalam petitum gugatan penggugat telah mendalilkan dan menuntut pengesahan atas sertifikat hak nomor 60/Gambir jo Akte jual beli PPAT No. 44/Gambir/1990 disamping permohonan pembatalan surat-surat bukti atau keputusan TUN yang diajukan sebagai objek sengketa.
Menurut Tergugat pula, berdasarkan pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disyaratkan bahwa tuntutan penggugat hanya berisi permohonan agar keputusan TUN dinyatakan batal atau tidak sah. Bahwa dengan demikian dalil penggugat tersebut telah mencampur adukan antara kewenangan dalam yurisdiksi PTUN dengan Pengadilan Umum, oleh karena soal permohonan pengesahan perbuatan hukum adalah berada dalam kewenangan jurisdiksi Peradilan Umum, sedangkan kewenangan jurisdiksi PTUN hanya memeriksa mengadili keputusan Badan/Pejabat TUN.
Terhadap eksepsi tergugat di atas, Hakim PTUN Jakarta berpendapat lain, bahwa dalam perkara a quo keputusan TUN yang memang memenuhi syarat secara formal kriteria tersebut adalah Surat Perpanjangan SIPPT No.4662/-I711.5 tertanggal 22 November 1990, namun surat keputusan tersebut bukanlah berdiri sendiri melainkan terkait dengan serangkaian keputusan-keputusan TUN sebelumnya yang keberadaannya tidak dapat dipikirkan terlepas satu dengan lainnya. Untuk dapat menilai sah tidaknya SIPPT No.4662/1.711.5 tanggal 22 November 1990 hanya dapat dilakukan dengan menelusuri dan menilai pula keputusan-keputusan TUN yang sebelumnya dan tidak terlepas kaitannya satu sama lainnya.... ,
Hakim PTUN Jakarta dalam pendapatnya juga mengemukakan, bahwa sekalipun gugatan penggugat ada kemungkinan mencampur adukan antara petitum yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan PTUN yang menurut pendapat Tergugat bersifat obscuur libel, menurut Majelis Hakim hal itu tidak bersifat obscuur libel sebab pada akhirnya putusan nanti hal-hal tersebut masih dapat dibersihkan sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih wewenang antara kedua lembaga peradilan dimaksud.
Dalam pertimbangan putusan hakim lebih jauh dikemukakan, bahwa apa yang dimaksud oleh penggugat dalam posita gugatannya nomor 5 yaitu mengenai permohonan penggugat akan pengesahan Sertifikat Hak milik No.60/Gambir dengan surat ukur No.69 Tahun 1888 menurut majelis Hakim sesungguhnya adalah untuk menetapkan sahnya kembali menurut hukum sertifikat hak milik tersebut yang didalilkan oleh penggugat bahwa semula telah ada bahwa kemudian berdasarkan SK. 158/HP/DA/1972 tanggal 14 Agustus1972 telah dinyatakan batal demi hukum oleh tergugat (Tergugat I).
Sekalipun dalam permulaan kalimat pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan secara tersurat (expresis verbis) " Dinyatakan batal atau tidak sah" suatu keputusan TUN, hal itu tidak berarti bahwa PTUN tidak boleh sebaliknya menyatakan sahnya suatu keputusan TUN yang berdasarkan penafsiran a contrario tidak dilarang oleh undang-undang yang bersangkutan.
Kemudian pertimbangan hakim atas keputusan yang diberikannya yakni mengenai pengesahan Sertifikat Hak milik No.60/gambir yang tidak termasuk dalam objek gugatan yang diajukan penggugat adalah lebih-lebih dikarenakan tidak ada satu pasal-pun di dalam peraturan perundang-undangan lain yang berlaku yang menyebutkan bahwa menyatakan sahnya suatu keputusan TUN adalah semata-mata wewenang absolut dari Peradilan Umum.
Memahami beberapa hal yang menyangkut putusan Hakim TUN yang bersifat ultra petita dalam "sengketa Jalan Sabang" seperti dikemukakan diatas, maka setidaknya didapat gambaran bagaimana pemikiran dan alasan-alasan yang menjadi acuan lahirnya putusan Hakim PTUN yang bersifat ultra petita. Dan cuplikan terhadap kasus "jalan Sabang" itu hanya sebuah contoh kasus dan tentu esensinya sebagai sebuah kajian dari sisi akademik dan bukan mengenai kedudukan putusan hakim itu sendiri. Artinya, secara factual dalam praktek ada putusan hakim yang ultra petita, dan masalahnya kemudian sejauh mana putusan hakim yang bersifat ultra petita itu bisa dibenarkan dan apakah kemudian bedampak bagi kepastian hukum. Hal ini pada gilirannya akan sampai pada asas-asas dan prinsip-prinsip hukum acara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain itu, yang terpenting dari contoh kasus di atas adalah, bahwa putusan ultra petita terjadi dalam praktek peradilan TUN. Persoalannya kemudian, apakah hal itu dibolehkan atau tidak, karena pada prinsipnya dari sisi hukum acara yang digunakan pada peradilan tata usaha negara tidak jauh berbeda dengan prinsip-beracara pada peradilan perdata. Di lain pihak, apakah boleh dan tidak bolehnya putusan ultra petita diukur dari subjek dan objek perkara yang menjadi kewenangan mengadili dari suatu pengadilan atau ditentukan oleh apa yang diharapkan pihak dari sebuah gugatan (permohonan) yang ajukan penggugat/pemohon. Apabila karena tidak suatu ketentuan yang melarang, sehingga putusan hakim yang ultra petita dalam peradilan TUN tidak bermasalah secara hukum. Persoalan ini tentu memerlukan pengkajian dan pendalaman, sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum yang berkepastian dan berkeadilan. (***) Bersambung bagian ke4 .(Bagian sebelumnya klik disini)