Oleh: Boy Yendra Tamin
Dalam berbagai tulisan bisa ditemukan bagaimana pertarungan antara sistem hukum Indonesia berhadapan dengan globalisasi hukum (sistem hukum global). Satu hal yang spesifik (khas Indonesia) adalah keberadaan sistem hukum adat diantara berbagai sistem hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia. Sistem hukum adat boleh dikatakan sebagai sistem hukum asli Indonesia. Karenanya membicarakan eksistensi sistem hukum adat dalam kuatnya pengaruh sistem sistem hukum global terhadap sistem hukum nasional, menjadi sangat penting bagi Indonesia. Bahkan seharusnya mendapat tempat khusus dalam pengembangan politik hukum nasional.
Hukum adat di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan hukum di Indonesia. Apabila diajukan pertanyaan mana hukum asli Indonesia, maka hukum adat merupakan jawaban yang tidak dapat disangkal. Namun bagaimana eksistensi hukum adat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan dinamika kehidupan social, budaya dan politik di Indonesia.
Kehidupan hukum adat di Indonesia pernah termajinalkan dan disisi lain terdesak oleh hukum nasional, tidak terkecuali di era reformasi yang sedang bergulir saat ini di Indonesia. Pengaruh yang demikian setidaknya dapat ditangkap dari apa yang dikemukakan Andrew McWilliam, yang mengemukakan, bahwa “Customary laws and practice flourished under the shifting geo-politics of Indonesia’s dynastic history, but they remained for the most part ill-defined and diffused as coherent systems of bounded customary practice and authority over defined jurisdictions. It was the advent of European, and particularly Dutch, colonialism, that created the conditions for greater articulation and definition of custom or adat, as systems of local jural and cultural practice (see Weiner and Filer, this issue). Dutch colonialism in Indonesia set in train a gradualist but determined process of codification and control by the state over customarily held lands and coastal waters in the interests of both territorial integrity, and the pursuit of economic development and revenue. It is this legacy of the colonial project that continues to influence the contemporary pattern of relationships between the nation-state in Indonesia and its constituent customary or adat communities in their diverse cultural forms.” [1]
Banyak pandangan dan contoh yang bisa dikemukakan untuk memberikan gambaran terhadap eksistensi hukum adat di Indonesia. Namun yang pasti, jauh sebelum masuk hukum kolonial dan hukum nasional Indonesia, hukum adat telah terlebih dahulu eksis mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat Indonesia dan tentu dalam batas-batas yuridiksi masyarakat hukum adat tempat dimana hukum adat itu tumbuh dan berkembang.
Keterpurukan hukum adat dibawah kuatnya dominasi hukum kolonial dan hukum nasional, dan termasuk kuatnya pengaruh globalisasi hukum, tidaklah dalam artian “mati” melainkan yang berkembang adalah dualisme hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengaruh hukum sipil kolonial belanda merasuk jauh kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi itulah yang kemudian dipulihkan kembali setelah Indonesia merdeka yang ditandai dengan diakuinya keberadaan hukum adat dalam tatanan hukum agraria Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Andrew McWilliam, Among the challenges facing the independent Indonesian government was the desire to rid the state of its colonial regulatory framework, and particularly the pluralist and racially based legal system constructed under Dutch rule. One significant initiative in this respect was the promulgation of the Basic Agrarian Law (BAL) 1960, which represented an attempt to ‘harmonise’ the parallel systems of European and adat law originally created under the colonial Agrarian Act of 1870. It sought to uphold the principle that Indonesian adat should form the basis for a national land law (Article 5)9 while creating a single system of statutory rights (kepastian hukum), recognising one set of disposable and transferable rights in landed property. A series of property rights (hak) were subsequently created which ranged from nominal ‘freehold’ (hak milik) to more temporary use or lease rights (hak pakai, hak guna bangunan).[2].
Meskipun demikian, hak-hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam perspektif ini, eksistensi hukum adat berkaitan dengan hak-hak atas tanah masih berada dibawah kekuatan hukum nasional. Pada sisi lain hukum nasional berkemungkinan menjadi penetrasi bagi hukum adat apabila berhadapan dengan kepentingan negara atau kepentingan pembangunan.
Bila dikaitkan dengan era sekarang ini, memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang sudah mulai tampil dengan kekuatan yang lebih besar dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang pengelolaan sumber daya alam, bahkan langkah ini sebenamya sudah terlalu jauh tidak hanya sekedar menyangkut goal-goal yang bersifat tehnis namun mudah menyinggung hal-hal yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan hukum di Indonesia menunjukkan wajahnya yang berbeda dengan negara-negara lain. Perbedaan itu terutama berkaitan dengan pruralisme hukum di Indonesia dan memberikan warna dan karakteritis tersendiri dalam pembangunan hukumnya. Dalam konteks pruralisme hukum ini Cotterrel (1995) menegaskan : We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law[3](Cotterrell, 1995:306).
Apa yang dikemukakan Cotterrel itu dapat dipahami, bawah secara empiris dapat dijelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law). Dengan adanya berbagai hukum yang hidup dalam suatu masyarakat negara, maka scenario pembangunan hukum dan bagaimana membentuk suatu harmonisasi hukum jelas suatu masalah yang kompleks dan sangat berpengaruh pada efektifitas hukum. Kemungkinan yang terjadi, acapkali dominnasi hukum negara melakukan penetrasi terhadap hukum adat atau dilain pihak terjadi spaning penegakkan hukum dengan penerimaan masyarakat terhadap suatu hukum.
Apabila pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6), maka dapat dipastikan ada sejumlah kesulitan dan permasalahan yang akan dihadapi dalam pengembangan sistem hukum negara yang bersangkutan dan memerlukan pemecahan yang tepat dan mampu meminimalisasi kemungkinan tidak efektifnya hukum.
Pruralisme hukum pada banyak negara, tidak lepas dari kondisi tarik menarik dalam menentukan perberlakuan suatu hukum. Dalam lain perkataan pruralisme hukum acap kali dipertentangkan dengan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religious law), hukum kebiasaan (customary law), dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (inner-order mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.[4]
Meskipun tidak tampak secara terang-terangan adanya gerakkan dari ideology sentralisme hukum itu di Indonesia, tetapi dengan dominasi dari hukum negara di Indonesia, sebenarnya secara tidak lansung ideology sentralisme hukum itu hidup di Indonesia. Akan tetapi keadaan itu tidak selamanya harus dipahami sebagai sesuatu yang buruk, misalnya saja bagaimana kalau sistem hukum Islam yang diberlakukan diseluruh territorial Indonesia, sementara di Indonesia tidak seluruh penduduknya beragama Islam, meskipun mayaoritas. Demikian pula misalnya, adalah terlalu sulit bagi hukum adat untuk diberlakukan secara nasional, karena begitu banyak masyarakat adat di Indonesia dengan hukum adatnya masing-masing.
Sungguh pun demikian, keadaan itu pula sekaligus berarti bahwa hanya hukum negaralah satu-satunya yang tepat diberlakukan di wilayah territorial Indonesia. Suatu yang mustahil dan beresiko apabila idelogi sentralisasi hukum di Indonesia yang berkarakter mengabaikan kemajemukan social dan budaya di Indonesia. Faktanya, meskipun sudah ada hukum negara, akan tetapi tidak sedikit pula yang di taati masyarakar hukum lokal (hukum adatnya). Dalam perspektif ini, ada konsepsi perumusan hukum “mengecualikan” atau “dikecualikan” merupakan suatu hal lumrah kita temukan dalam permberlakuan hukum di Indonesia. Pengecualian-pengecualian pemberlakuakn hukum itu tidak lain sebagai sebuah kedasadaran akan adanya pruralisme hukum di Indonesia.
Hukum adat sebagai salah satu dari wujud pruralisme hukum dalam memberikan sejumlah catatan penting dalam kehidupan hukum di Indonesia. Pruralisme hukum dalam perspektif hukum adat itu lebih menunjukkan persoalan, permasalahan lebih kompleks dibanding negara-negara lain. Ini terutama dengan banyak ragamnya komunitas masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing. Kalau pun hukum-hukum adat itu akan diakomodir dalam hukum nasional. Selain keberlakuannya sangat terbatas pada teritori masyarakar adat itu sendiri.
Dalam hubungan itu tidaklah menjadikan hukum adat sebagai hukum tidak memiliki nilai. Eksistensi hukum adat di samping hukum-hukum lainnya akan tampak sangat penting apabila hukum dipahami dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian social (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan,1967:48)
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional [5] kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. Apabila sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia dan sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional Indonesia. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa eksistensi hukum adat sangat penting dalam suatu masyarakat pruralistik dan dengan memberikan pengertian hukum yang luas. Dalam hubungan ini apa sebenarnya hukum adat itu tentulah harus dibedakan dengan tradisi. Dalam konteks ini Bohannan mengemukakan, bahwa Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.[6]
Sementara itu Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95) menyatakan, bahwa hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian social (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), [7] yang salah satunya disebut dengan Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusankeputusan dari pemegang atoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otoritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum.[8]
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.[9]
Apa yang kita kemukakan di atas, tidaklah dimaksudkan untuk menyatakan hukum adat sebagai hukum yang sempit, tetapi kita hendak mengatakan bahwa dalam suatu masyarakat yang pruralistik, untuk mewujudkan suatu efektifitas hukum adalah bukan pekerjaan mudah. Hukum nasional, tidak selamanya akan efektif ketika berhadapan dengan suatu lingkungan masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum adatnya, sekali pun bertentangan dengan hukum negara. Karena itu adakalanya hukum adat lebih efektif mewujudkan pencapaian pembangunan social-budaya,ekonomi, politik dan pemerintahan dibanding hukum nasional.
Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan :
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.[10]
Prulalisme hukum merupakan suatu keadaan yang tidak bisa ditolak di Indonesia oleh siapa pun juga, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya konstitusi justeru memberikan jaminan akan adanya keberagaman hukum itu di Indonesia dan memberikan pengakuan konstusional terhadap hak asal-asal masyarakat adat. Dari apa yang berlansung di Indonesia sebenarnya konsep pluralisme hukum Griffiths tidaklah persis sama, bahkan sebaliknya. Meskipun dizaman colonial belanda terjadi pembedaan pemberlakuan hukum dengan membagi golongan masyarakat. ..bersambung (***)
endnote:
[1]Andrew McWilliam, Historical Reflections on Customary Land Rights in Indonesia, The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 7, No. 1, April 2006, pp. 45_/64[2]Andrew McWilliam, ibid.[3]Cotterrel, Roger, Law’s Community, Legal Theory in Sociological Perspective, Clarendo Press, Oxford, 1995 halaman 3006[4]Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law Number 24/1986, The Foundation for Journal of Legal Pluralism, 1986, hlm 12[5]Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru hukum di Indonesia. John Ball, Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a national law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara golongan-golongan ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11[6]Bohanan, Paul (Ed), Law and Warfare, Studies in the Anthropology of Conflict, The Natural History Press, New York, 1967. Hlm 45[7]Pospisil L., Anthropology of Law, A Comparative Theory, Harper & Row Publisher, London, hlm 39-95 1971.[8]Ibid[90 II Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, huma.or.id/document/I.03.%20 Analisa%20Hukum/Perkembangan%20Pemikiran%20Konsep%20Pluralisme%20Hukum_I%20Nyoman%20Nurjaya.pdf[10]Griffiths, Ibid hlm 4