Catatan Hukum Boy Yendra Tamin
Dibalik berbagai sorotan terhadap hakim pengadilan di Indonesia beberapa waktu belakangan, hal yang tidak bisa diabaikan dari sorotan itu adalah sisi sistem rekrutmen calon hakim. Artinya hakim yang baik dan ideal tidak bisa dilepaskan dari sistem rekrutmennya dan tentu harus dilihat secara objektif apabila ujungnya adalah terpenuhinya harapan akan akan hakim yang ideal.
Menurut Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, setidaknya ada tiga kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang bisa menjadi hakim yang ideal sebagaimana diungkapkan hukumonline.com (24/12/11). Ketiga kriteria itu menurut Artidjo pada pokoknya, yakni;
Pertama, Pengetahuan hukum. Pengetahuan hukum itu merupakan syarat pertama yang sudah harus digali calon hakim sejak dibangku kuliah.
Hakim Ideal Kedua, keahlian (skill) atau kapasitas yang baik. Menurut Artijo, skill atau kapasitas ini berkaitan erat dengan jam terbang yang dimiliki oleh si calon hakim. Pengalaman di bidang hukum adalah syarat yang tidak boleh dikesampingkan. Calon hakim harus memiliki pengalaman bagaimana teknis menegakkan hukum. Artijo mengibaratkan seperti Advokat, “Untuk menjadi lawyer, orang harus menjadi asisten lawyer terlebih dahulu. Asisten Lawyer itu tidak bisa lansung bela klien. Dalam hubungan itu, Artidjo mengatakan hakim itu seharusnya orang yang sudah malang melintang di dunia hukum, misalnya mantan advokat.
Ketiga, integritas dan moral yang baik. Selain menggunakan aturan hukum untuk memutus perkara, seorang hakim harus juga menggunakan hati nurani. Penggunaan hati nurani itu menjadi pembeda ketika dia (calon hakim) masih menjadi advokat dengan posisinya saat ini sebagai hakim saat memutus perkara.
Apa yang dikemukakan Artijo itu tidak dipungkiri memang dan sudah berlansung dinegara-negara yang menganut sistem hukum cammon law yang kapasitas hakim dan kualitas putusan-putusannya yang sangat dihormati. Pada negara-negara cammon law, hakim itu direkrut dari advokat. Seperti di Inggris misalnya, ada istilah part time juges, yakni advokat yang bekerja sebagai hakim secara part time dan di Amerika Serikat hakim-hakim berasal dari mantan lawyer.
Bagaimana dengan di Indonesia ? Jika diperhatikan syarat-syarat menjadi hakim pada lingkungan peradilan umum sebagaimana diatur dalam UU No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 2 Tahun 1986, sepertinya syarat-syarat sebagaimana dikemukakan Artijo Alkostar tersebut memang belum terakomodir.
Pertanyaan pentingnya, mungkinkah di Indonesia calon hakim direkrut dari mantan Advokat yang sudah memenuhi kriteria sebagaimana dikemukakan Artidjo Alkostar itu ? Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja mungkin dan malah sudah diterapkan dalam rekrutmen calon hakim pada pengadilan tertentu seperti pada pengadilan Tipikor misalnya atau dalam rekrutmen calon Hakim Agung, meskipun tidak secara terang-terangan disebutkan advokat melainkan digunakan istilah calon hakim agung dari jalur non karir dengan persyaratan bergerlar doktot hukum dan pengalaman 20 tahun. Atau pada rekrutmen hakim adhoc pada pengadilan tipikor dengan persyaratan pengalaman di bidang hukum dalam waktu tertentu.
Artinya persyaratan-persyaratan bagi calon hakim melalui jalur non karir itu tidak ditujukan pada advokat semata seperti adanya di Amerika Serikat dimana hakim-hakim direkrut dari mantan lawyer/advokat. Artinya, apabila rekutmem calon hakim yang ideal adalah dari mantan advokat atau ke depan rekrutmen calon hakim dari advokat/lawyer dengan syarat sebagaimana dikemukakan Artidjo Alkostar mendapat porsi yang lebih besar, maka hal itu sekaligus tantangan bagi para advokat dan organisasi advokat untuk berbenah diri dalam segala aspek, sehingga profesi advokat yang disebut sebagai profesi terhormat itu, sekaligus dapat integral untuk menjawab tantantangan jika memang hakim ideal adalah mantan advokat. (***)