Oleh: Dowa Palito.
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah ‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya.
Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa, karena otonomi ini diberikan kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya (daerahnya) dari wilayah NKRI. Jadi secara tidak langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan damai agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak.
Artikel Terkait:
Otonomi Daerah Dalam UU Pemda Yang Silih BergantiKonsep Otonomi Daerah Yang Berubah-ubahKilasan Perkembangan Otonomi Daerah Otonomi Daerah dan Menjamurnya KorupsiPembagian Urusan / kewenangan PemerintahanOptimalisasi Otonomi Daerah dan Kebijakan Kepala DaerahButuh pertimbangan yang sangat matang untuk memberikan otonomi khusus kepada daerah ‘tertentu’ ini. Karena suatu negara sangat bergantung pada pendapatan daerah ‘tertentu’ yang akan diberikan otonomi khusus. Diperlukan beberapa kesepakatan agar kedua pihak (negara yang memberikan otsus dan daerah ‘tertentu’ yang menerima otsus) akan sama-sama diuntungkan dengan adanya otonomi khusus ini, Karena setiap bangsa atau negara memerlukan kemajuan yang relatif meningkat untuk melaksanakan proses berkembangnya negara menuju kondisi yang lebih baik. (Baca juga: Otonomi Daerah Dalam UU Yang SIlih Berganti )
Perbedaan otonomi daerah dan otonomi khusus<
Otonomi Khusus Provinsi Papua diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari 79 pasal yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008. Keputusan penyatuan Papua menjadi bagian dari NKRI merupakan salah satu tujuan NKRI. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih menimbulkan masalah di Papua seperti kesejahteraan rakyat yang timpang antara kaum pendatang dan pribumi, kesenjangan ekonomi pusat dan daerah, eksploitasi sumber daya alam perusahaan asing yang minimdirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua, kesenjangan tingkat pendidikan dan sumber daya manusia antara pendatang dan pribumi dan minimnya infrastruktur dan konektivitas serta sering terjadiya konflik berdarah akibat kisruh Papua.
Setiap negara tentunya ingin menyelesaikan berbagai masalah agar pemerintahan negaranya tetap maju.Karena itu lah, MPR RI pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah untuk melaksanakan upaya penyelesaian masalah-masalah di provinsi papua
Terlihat pada rancangan awal bahwa apabila diberikan otonomi khusus, Papua harus membagi pendapatannya dengan pemerintah pusat 20% dan untuk Papua sendiri 80%. Namun masih terdapat kesenjangan pendapat tentang hal tersebut. Tetapi hal ini dilakukan agar budget NKRI menjadi seimbang. Ini merupakan salah satu ketentuan dalam penyelenggaraan otsus di Papua. Tapi disayangkan sifat otonomi khusus untuk Papua lebih merupakan tindakan sepihak dari pemerintah pusat.
2. Aceh
Setelah otonomi khusus diberikan kepada Aceh, nama daerahnya berubah menjadi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Otonomi khusus memberikan kebebasan Aceh dalam mengurus sistem pengadilan dan pendidikannya sendiri. Tetapi pada hakekatnya masyarakat Aceh menginginkan terdapatnya kebijakan tentang penghentian kekerasan di Aceh, karena otonomi khusus ini seharusnya diberikan karena militer terus melakukan aksi-aksi penyiksaan, teror dan penghilangan paksa.
Jadi, apabila dalam peraturan otonomi khusus untuk Aceh tidak terdapat kebijakan tersebut, maka akan sulit terlihat perbedaan/perubahan yang berarti di daerah Aceh. Walaupun kebijakan pemberian otonomi khusus mendapatkan dukungan dari berbagai negara seperti Australia, namun pelaksanaanya juga akan terlihat tidak sempurna apabila otonomi khusus ini hanya digunakan sebagai media pengalihan dari tuntutan mendesak untuk mengadakan gencatan senjata antara gerakan kemerdekaan bersenjata, GAM, dan militer Indonesia, atau untuk menghentikan kekerasan militer terhadap penduduk sipil serta negosiasi penyelesaian damai yang melibatkan setiap pihak.
Hal lain yang menjadi masalah, GAM tidak menerima UU otsus Aceh karena mereka memandang bahwa dalam UU tersebut hanya mementingkan sisi elit Indonesia saja. Tetapi, GAM mengharapkan Indonesia jujur dan membuktikan peraturan-pareturan damai yang telah disetujui di Aceh. Diharapkan dari otonomi khusus ini Aceh akan mendapatkan pendapatan yang meningkat dari sumberdaya minyak dan gas. UU otonomi khusus Aceh diatur oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Sifat otonomi khusus Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
3. Yogyakarta
Otonomi khusus yang diterima oleh Yogyakarta bukan seutuhnya berupa otsus seperti Aceh dan Papua hanya saja Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati beberapa kewenangan yaitu pertanian, agraria, perburuhan, pemerintahan umum, urusan umum, kehewanan, sosial, dll. Tidak tampak begitu jelas kekhususan pada wewenang yang diberikan itu. Tetapi sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI Yogyakarta
Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan dan budaya. Kedudukan ini tidak diatur di dalam ke 2 UU, dan secara politis pemerintah telah mengakui bahwa ke dua posisi ini yang menguasai daerah DIY.
Itulah beberapa pandangan tentang otonomi khusus, tetapi dalam pelaksanaannya perlu dipantau dan diberikan dana dalam menyelenggarakan otsus dengan baik dan benar. Hanya saja ditekankan disini, bahwa DIY tidak meminta biaya otsus seperti yang diberikan kepada Papua dan Aceh. Sekarang baru PP Nomor 54 Tahun 2004 dan PP Nomor 77 Tahun 2007 yang muncul dalam menanggapi otsus ini lebih lanjut. (***)