Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan SeniorWakil Kepala Daerah (wakil gubernur dan atau wakil bupati/wakil walikota) tak perlu sampai berebut tugas/wewenang dengan kepala daerah, tidak perlu merasa tersundak karena wewenang sangat kecil/terbatas dan atau takdir tugas sekadar “pembantu” kepala daerah dengan jabatan bernama wakil kepala daerah dan atau tidak perlu sampai merajuk dan meminta mundur di perjalanan, bilamana mereka mencermati peraturan-perundangan (UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah) yang mengatur jabatan dan posisi serta tugas/wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apa pula bilamana antara calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sudah ada ketulusan berpasangan dan keterimaan ikhlas menerima jabatan/posisi/tugas/wewenang masing-masing — sebagaimana diatur peraturan perundangan. Idealnya, calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah sudah bersepakat sejak keduanya dipasangkan.
SALAH satu kontroversi/perdebatan kita tentang penyelenggaraan otonomi daerah — lebih khusus penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembangunan daerah, dan memimpin/melaksanakan kewajiban daerah terhadap masyarakat di daerah, tentang tugas kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dan dengan wakil kepala daerah (wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota). Yang jadi concern kita terhadap kontroversi kepala daerah/wakil kepala daerah, antara lain, terjadi rivalitas di antara keduanya, seakan keduanya “berebut” tugas/wewenang — sampai muncul kesan “dua matahari”, sampai ada wakil kepala daerah yang “merajuk” dan minta mundur, dan atau pecah kongsi (kepala daerah yang masih satu masa pengabdian tidak lagi engambil wakilnya untuk mencalonkan untuk masa jabatan kedua, dan atau wakil kepala daerah maju menjadi calon kepala daerah).
Sesungguhnya, semua itu tidak perlu terjadi bilamana setidaknya mengacu pada Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-undang (UU) No. 32/2004 — juga UU No. 12/2008 perubahan pertama UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur secara relatif rinci tugas/wewenang kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) dan tugas wakil kepala daerah (wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota). Masalahnya, ada kecenderungan kurang tulus kepala daerah untuk berbagi dengan tugas wakil kepala daerah —sampai ada wakil kepala daerah yang merasa “tak dianggap” atau “tak diperlukan” — padahal kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih sebagai atau dalam satu paket melalui pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
Pasal 25 (a-g) UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah mengurai secara rinci tugas/wewenang kepala daerah (gubernur/bupati/walikota): dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD; mengajukan rancangan Perda; menetapkan Perda yang mendapat persetujuan bersama DPRD; menyusun/mengajukan rancangan Perda tentang APBD pada DPRD buat dibahas/ditetapkan bersama; mengupayakan terlaksana kewajiban daerah (sesuai Pasal 22); mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan —dapat menunjuk kuasa hukum mewakilinya sesuai peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan tugas/wewenang lainnya sesuai peraturan perundangan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur punya tugas pembinaan/pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; koordinasi pembinaan/pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pada Pasal 26 ayat (1) — a - g, ayat (2) tentang tanggungjawab wakil kepala daerah pada kepala daerah/ Ayat (3) tentang wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah. Dalam UU No. 12/2008, perubahan pertama UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, ditambah empat ayat (jadi tujuh ayat) tentang penggantian jabatan wakil kepala daerah kosong karena kepala daerah digantikan oleh wakil kepala daerah. Ayat (3) Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebut wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal, berhenti/diberhentikan, tidak dapat menunaikan kewajiban selama enam bulan secara berturut-turut dalam masa jabatannya.
Tugas wakil kepala daerah (a-g): membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berdasar kebijakan ditetapkan bersama DPRD; membantu kepala daerah mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan pengawasan aparat pengawas, melaksanakan pemberdayaan perempuan/pemuda, dan mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota untuk wakil kepala daerah pemerintah provinsi; memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah kecamatan dan kelurahan/desa (nagari) bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota (UU No. 12/2008, ayat ini djjadikan dua huruf c dan d); memberikan saran-pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; melaksanakan tugas dan wewenang pemerintahan lainnya yang diberikan kepala daerah; dan melaksanakan tugas kepala daerah bilamana kepala daerah berhalangan.
TERLEPAS dari sumber kontroversi/perdebatan — menurut peraturan-perundangan wakil kepala daerah tak lebih sekadar pembantu kepala daerah bernama jabatan kepala daerah dan dalam penyelenggaraan pemerintahan (termasuk pemerintahan daerah) menganut prinsip mono-eksekutif dan entah kenapa wakil kepala daerah harus dipilih sebagai/dalam satu paket dalam Pemilukada, bahwa takdir seorang kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memang hanyalah seorang pembantu dari kepala daerah/bertanggungjawab kepada kepala daerah. Yang ada itu, hanya kepala daerah, wewenang dan tanggungjawab ada pada kepala daerah., dan kepala daerah yang menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD!!
Sejauh dalam pencermatan Cucu Magek Dirih, bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah dipasangkan/diusung partai politik, diproses di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), berkampanye dalam Pemilukada sebagai satu paket pasangan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah, dipilih/terpilih sebagai pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah, dan lalu kenapa dalam memerintah tidak ada pembagian wewenang yang jelas kecuali takdirnya secara peraturan-perundangan atau legal formal hanya sekadar “pembantu” kepala daeran yang tugas/wewenang sangat terbatas dan bertanggungjawab kepada kepala daerah. Memang terasa amat sangat pahit/menyesakkan dada dan tersekat di kerongkongan, tapi, siapa suruh menjadi calon kepala daerah — terpilih menjadi wakil kepala daerah!?
Idealnya, satu pasangan calon kepala daerah — ibarat calon suami-isteri — berlandaskan ketulusan. Lebih ideal lagi, ada kejelasan dalam berbagai/banyak hal bila dua figur bersepakat berpasangan. Yang harus dipastikan lebih dalu, adalah bagaimana peraturan-perundangan mengatur tugas/wewenang mereka apabila terpilih. Ketika debat kandidat kepala daerah, di antara yang ditanyakan Cucu Magek Dirih adalah bagaimana distribusi kekuasaan atau pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut (pasal 25 dan pasal 26 UU No. 32/2004, diubah dengan UU No. 12/2008 tentang Pemerintah Daerah). Mencermati jawaban para kandidat, kelihatan mereka tidak/belum membaca apa yang menjadi tugas/wewenang kepala daerah dan tugas wakil kepala daerah sebagaimana diatur Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 32/2004.
Dalam pemahaman Cucu Magek Dirih, bilamana ada ketulusan calon kepala daerah (kepala daerah pasca terpilih) dan keterimaan yang ikhlas dari calon kepala daerah (wakil kepala daerah pasca terpilih) — menerima takdir posisi/jabatan dan tugas/wewenang yang terbatas sebagai kepala daerah, bahwa keduanya sudah mengikat diri sebagai satu pasangan, maka tentu ada kemauan baik buat berbagi tugas dan kekuasaan — bagi kepala daerah yang mengetahui/menyadari prinsip mono-esekutif yang sangat mungkin membuat wakil kepala daerah merasa bilamana tidak ada kemauan baik dari dirinya berbagi kekuasaan bersama wakil kepala daerah-nya, maka benih kecurigaan akan tumbuh dan merebak.
Sesungguhnya ada peluang kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) berbagi kekuasaan bersama wakil kepala daerah (wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota). Yaitu, saat (1) f, Pasal 26 UU No. 32/2004: melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang diberikan kepala daerah. Hanya, idealnya, calon kepala daerah sebaiknya sudah menyepakati bersama calon wakil kepala daerah — atau sebaliknya calon wakil kepala daerah sudah bersepakat bersama calon kepala daerah untuk berbagi tugas/wewenang. Sebab, kalau berbagi tugas/wewenang itu dilakukan setelah pasangan terpilih, kemungkinan akan “masuk angin”. Apatah pula bilamana ketulusan dan keikhlasan masih menjadi modal (intangible) moral utama kedua pasangan. Sesungguhnya pmilih/masyarakat daerah amat mendambakan modal moral itu dipertahankan/diperkuat.
KINI tengah diproses perubahan kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah di DPR-RI. Bocorannya, prinsip mono-eksekutif masih tetap dipakai. Artinya, kewenangan berada pada kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), sedang wakil kepala daerah tetap pembantu kepala daerah dengan tugas/wewenang yang sangat terbatas. Karena itu, calon wakil kepala daerah dipertimbangkan tidak dipilih sebagai/dalam satu paket bersama calon kepala daerah. Melainkan — kembali ke masa rezim Orde Baru, yang diajukan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) ke DPRD, dan ditetapkan pemerintah pusat (Presiden melalui Mendagri).
Artinya — kalau akhirnya memang demikian, posisi/jabatan wakil kepala daerah dikembalikan ke takdirnya yang seutuhnya. Sebab, seperti dikemukakan Mendagri Dr. HC. H. Gamawan Fauzi Dahlan Dt. Rajo Nan Sati SH, MM, ketika di masa Orde Baru, tak ada wakil kepala daerah yang pecah kongsi dengan kepala daerah dan atau tidak ada yang merajuk minta mundur di perjalanan, atau merasa tersundak karena tugas/wewenangnya yang terbatas.***
H. Sutan Zaili Asril
Sumber: padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1399 I Minggu, 01/01/2012