Oleh: Boy Yendra Tamin
Sejak diundangkannya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sebagaimana diatur dalam Pasal 43.. Ketentuan ini menyebakan anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya (orangt ua laki-lakinya). Artinya seorang anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan dengan bapaknya kecuali dalam hubungan keperdataan. Akibat hukumnya anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan tentu tidak memiliki hak keperdataan atas apa-apa yang dipunyai bapaknya yang singkatnya tidak mempunyai hubungan waris dengan orang tua laki-lakinya.
Tolok ukur dari anak yang lahir diluar perkawinan tentu ukurannya sesuai dengan rumusan mengenai perkawinan itu sendiri menurut UU No. 1 Tahun 1974 , dimana menurut ketentuan UU No 1 tahun 1 974 perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian sekalipun suatu perkawinan itu sah tetapi bila tidak dicatatkan, maka anak yang lahir dari perkawinan yang sah yang tidak dicatatkan itulah yang ditergolong anak yang lahir diluar perkawinan. Anak yang lahir diluar perkawinan itu lazimnya hasil suatu perkawinan di bawah tangan, bahkan kemudian popular juga disebut kawin siri.
Tidak sedikit persoalan yang muncul dalam masyarakat yang bersumber dari perkawinan dibawah tangan, termasuk pengakuan terhadap seorang anak yang lahir diluar perkawinan. Meskipun disisi lain ada yang menerima keadaan serupa itu apa adanya , walaupun dari segi formalitas hokum, anak-anak yang lahir diluar perkawinan mengalami kesulitan dalam memahami statusnya.
Prok-kontra terhadap keberadaan atau status anak yang lahir diluar perkawinan sudah berlansung sejak lama dan sejumlah ahli telah memberikan pandangannya, dengan hilangnya hubungan keperdataan antara anak yang lahir diluar perkawinan dengan orang tua laki-lakinya. Namun berdasarkan putussan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 12 Februari 2012, terjadi perubahan yang mendasar.
Pertimbangan MK memutuskan ketentuan Pasal 43 UU No 1 tahun 1974 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan bertolak dari pandangan, bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan undang-undang. Dalam kaitan ini ada dua pertimbangan penting yang diberikan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya itu menyebutkan:
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
- Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;
Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan yang mendasar atas keberadaan anak-anak yang lahir diluar perkawinan, namun putusan Mahkamah konstitusi itu tidak hanya member jalan keluar atas masalah yang dihadapi anak-anak yang lahir diluar perkawinan, dan tentu tidak pula harus diartikan sebagai stimulant bagi terus terjadinya perkawinan dibawah tangan. Dalam konteks ini, pemerintah sudah seharusnya merevisi UU Perkawinan No 1 tahun 1974 terutama berkaitan dengan pengaturan terhaadap perkawinan dibawah tangan yang tidak lagi disangkutkan dengan hubungan keperdataan dengan orangtuanya, terutama orang tua laki-laki dari si-anak. Artinya sepanjang perkawinan di bawah tangan harus diberi saluran sehingga sampai pada proses pencatatan dan tidak terhenti hanya sebatas perkawinan yang sah saja sebagaimana terjadi selama ini.
Terlepas dari ada kemungkinan pengadilan akan kebanjiran gugatan dari anak-anak yang yang lahir diluar perkawinan sebagai dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi itu, pengaturan yang tegas dari pemerintah atas perkawinan-perkawinan dibawah tangan merupakan kebutuhan mendesak yang harus disegerakan pemerintah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. (***)