Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’[3]. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, dapat digambarkan sebagai berikut.
Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[4]. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[5], Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.
Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Hubungan dengan Presiden/Pemerintah
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan[6].
Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan.
Susunan Organisasi
Organisasi Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi Pertama adalah para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial.
Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.
Organisasi Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2003[7] dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif, sedangkan Organisasi Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN[8].
Mengapa Mahkamah Konstitusi Perlu Dibentuk?
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945[9]. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (b) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’.[10] Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat kewenangan itu[11] adalah: (1) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945[12].
Sengketa Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara
Pada umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini, orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif. Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak dapat keluar dari paradigma lama ketika UUD 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian ‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara.
Oleh karena itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang bersengketa.
Dengan cara pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan hanya dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan hanya menyatakan: “Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD.
Akan tetapi, sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sama-sama disebut namanya dan pembagian kewenangannya dalam Pasal 30 UUD 1945. Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya, siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud UUD menentukan pengaturan tentang pembagian kewenangan di antara keduanya. Meskipun TNI dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara, melainkan adalah “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan dalam dan diberikan oleh UUD.
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.
Pembubaran Partai Politik
Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden.
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden[13]. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803[14]. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan dimana-mana[15]. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk “… membanding undang-undang…”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu[16]. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945[17].
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas[18], maka sekarang – setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat[19]. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR[20], maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Bahkan, seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi, fungsi pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu dilembagakan ke dalam fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar organ Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung[21]. Tentu ada juga model-model kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang berbeda dari satu negara ke negara lain[22]. Ada negara yang mengikuti model Venezuella dimana Mahkamah Konstitusinya berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, ada pula negara yang tidak membentuk lembaga yang tersendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini sebagai salah satu tambahan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika Serikat dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan seperti ini[23]. Akan tetapi, sampai sekarang, di seluruh dunia terdapat 78 negara yang melembagakan bentuk organ konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat mempelopori pembentukan lembaga baru ini adalah Austria pada tahun 1920[24], dan terakhir adalah Thailand pada tahun 1998 untuk selanjutnya Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk lembaga baru ini berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung[25]. Namun di antara ke-78 negara itu, tidak semua menyebutnya Mahkamah Konstitusi[26]. Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel)[27] atau Belgia yang menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage)[28]. Orang Perancis cenderung menyebutnya demikian, karena lembaga ini tidak dianggap sebagai pengadilan dalam arti yang lazim. Karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas di ke-78 negara itu[29], Mahkamah Konstitusi itu dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.
Mengapa keduanya dinilai perlu dipisahkan? Karena pada hakikatnya, keduanya memang berbeda. MA lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan MK lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai ‘court of justice’ versus ‘court of law’ yang usulan yang saya sendiri sering lontarkan sebelumnya. Semula, formula yang saya usulkan adalah seluruh kegiatan ‘judicial review’ diserahkan kepada MK, sehingga MA dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di bawah UU kepada MA. Di pihak lain, MK juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggungjawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, MA tetap diberi kewenangan sebagai ‘court of law’ di samping fungsinya sebagai ‘court of justice’. Sedangkan MK tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai ‘court of justice’ di samping fungsi utamanya sebagai ‘court of law’. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan secara seratus persen antara ‘court of law’ dan ‘court of justice’, tetapi pada hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. MA lebih merupakan ‘court of justice’ daripada ‘court of law’. Sedangkan MK lebih merupakan ‘court of law’ daripada ‘court of justice’. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945[30]. Demikianlah beberapa catatan ringkas berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi itu dalam sistem ketatanegaraan dan dalam sistem kekuasaan kehakiman Republik Indonesia yang baru berdasarkan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. (Sumber: jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc)
[1] Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.[3] Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantive, seperti dalam istilah “court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”. Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Konstitusi.[4] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316). Meskipun dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan “cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehingga mengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan hukum bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu, dejarat independensi hakim konstitusi juga diharapkan dapat lebih terjamin karena yang menentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabila pengangkatan mereka hanya ditentukan oleh Presiden.[5] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.[6] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.[7] LNRI Tahun 2003 No. 98 dan Tambahan LNRI No.4316.[8] Ibid., Pasal 9 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.[9] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, juga Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2002.[10] Dalam pengertian inilah muncul doktrin ‘demokrasi berdasar atas hukum’ atau ‘constitutional democracy’ yang berimbangan dengan doktrin negara hukum yang demokratis atau ‘democratische rechtsstaat’. Lihat juga Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996. Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford: Clarendon Press, 1989.[11] Keempat kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, di bawah judul Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,; sedangkan ketentuan mengenai kewajiban memutus pendapat DPR dalam rangka tuntutan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7B ayat (4), yang merupakan bagian dari Bab III di bawah judul Kekuasaan Pemerintahan Negara.[12] Lihat Pasal 7B ayat (4) UUD 1945.[13] Lihat Pasal 7A juncto Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[14] Untuk uraian lengkap mengenai kasus ini lihat Geoffrey R.Stone, et.al., Constitutional Law, 2nd edition, Boston-Toronto-London: Little, Brown and Co., 1991, hal. 21-44. Lihat juga Robert H. Borck, The Tempting of America: The Political Seduction of the Law, London: The Free Press, Macmillan, 1990, hal. 20-28.[15] Baca juga perdebatan tentang pandangan John Marshall itu dalam John Hart Ely, Democracy and Distrust, Harvard University Press, 1980, hal. 186, ft. 11.[16] Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hal.295. Muhammad Yamin mengusulkan agar “Mahkamah Agung melakukan kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang supaya sesuai dengan hukum adat, hukum Islam (Syari’ah) dan dengan Undang-Undang Dasar dan melakukan aturan pembatalan undang-undang, pendapat Balai Agung disampaikan kepada Presiden yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam perdebatan, ketiga norma pengukur itu ditegaskan lagi oleh Muhammad Yamin, yaitu: “Undang-Undang Dasar, atau hukum adat, atau syari’ah”.[17] Ibid., hal 303-306.[18] Sifat MPR yang “tak terbatas” ini, seperti yang tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan Keempat, dapat dibandingkan dengan sifat kekuasaan pemerintahan negara yang dikatakan “tidak tak terbatas”. Kedudukan MPR itu sebelum diadakan perubahan adalah dalam kedudukan sebagai tempat Presiden bertunduk dan bertanggungjawab.[19] Pasal 1 ayat (2) asli UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan ini, berdasarkan Perubahan Ketiga Tahun 2001 diubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.[20] Bandingkan rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) asli juncto Pasal 20 ayat (1) asli UUD 1945 dengan rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) yang baru hasil Perubahan Pertama Tahun 1999.[21] Bandingkan Konstitusi USSR dengan Konstitusi Rusia, Georgia, Lithuania, Azerbaiyan; Begitu juga negara-negara seperti Hungaria, Ceko, Slovakia, Slovenia, dan lain sebagainya.[22] Dalam buku Mahkamah Konstitusi: Kompilasi ketentuan UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, saya gambarkan adanya 6 kelompok model, yaitu model Austria/Jerman, model Perancis, model Belgia, model Amerika Serikat, model Venezuella, dan model negara yang menganut prinsip supremasi parlemen. Model yang terakhir ini tidak selalu terkait dengan ideologi komunisme yang menganut paham supremasi parlemen secara struktural. Selain negara komunis, ada pula negara yang menganut paham supremasi parlemen secara simbolik seperti Inggeris dan Belanda dengan doktrin ‘Queen in Parliament’ ataupun ‘King in Parliament’ yang menyebabkan timbulnya pengertian bahwa undang-undang sebagai produk parlemen yang ‘supreme’ itu tidak dapat diganggu-gugat oleh hakim. Karena itu, peninjauan terhadap undang-undang hanya boleh dilakukan melalui prosedur ‘legislative review’, dan bukan melalui ‘judicial review’. Tentang sistem hukum Belanda lihat Jeroen Chorus et.al. Introduction to Dutch Law, 3rd revised edition, the Hague-London-Boston: Kluwer Law International, 1999. Tentang doktrin ini dalam sistem hukum Inggeris baca Catherine Elliott and Frances Quinn, English Legal System, 4th edition, London: Longman, 2002.[23] Lihat The Influence of the US Constitution on Pacific Nations, Foundation for the 21st Century, Kapalua Pacific Center, and the Asia Foundation, September 25-26, 1987.[24] Konstitusi Austria ini merupakan konstitusi pertama yang mengadopsikan iden pembentukan Mahkamah Konstitusi ini dalam bentuknya seperti yang dikenal sekarang. Yang dapat disebut berjasa meletakkan dasar-dasar pembentukan MK ini di Austria adalah Professor Hans Kelsen. Lihat Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal System, Vienna: Manzsche Verlags, 2003.[25] Republik Indonesia dapat dicatat sebagai negara pertama yang membentuk Mahkamah Konstitusi ini pada abad ke-21. Ke-77 negara sebelum mendirikan Mahkamah Konstitusi ataupun Dewan Konstitusi pada abad ke-20.[26] Lihat Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 2002.[27] John Bell, French Constitutional System, Oxford: The Clarendon Press, 1992, hal. 270; dan Mauro Cappelletti, Op.Cit., hal. 156-157.[28] Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Op.Cit., hal.4-5.[29] Ke-78 negara ini adalah: Afrika Selatan, Afrika Tengah, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Armenia, Austria, Azerbaiyan, Bahrain, Belgia, Belarusia, Belgia, Benin, Bolivia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Burundi, Cambodia, Chile, Colombia, Comoros, Congo, Cote d’Ivorie, Croatia, Cyprus, Czechs (Ceko), Djibouti, Ecuador, Gabon, Georgia, Guatemala, Hongaria, Indonesia, Italia, Jerman, Kazakhstan, Korea Selatan, Kuwait, Kyrgyztan, Latvia, Lebanon, Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Madagascar, Mali, Malta, Maroko, Mauritania, Mesir, Moldova, Mongolia, Mozambique, Nepal, Perancis, Peru, Polandia, Portugal, Romania, Russia, Rwanda, Senegal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Syria, Tajikistan, Thailand, Togo, Tunisia, Turki, Ukraina, Uzbekistan, Venezuella, danYugoslavia. Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Op.Cit.[30] Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ini menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.