Catatan hukum Boy Yendra Tamin
Suatu hari seorang sahabat menyampaikan kisahnya (masalahnya) kepada saya, bahwa ia telah sangka sebagai orang yang menggunakan surat palsu. Sahabat saya itu mengisahkan ia diberikan sepucuk surat seseorang yang isinya mewariskan harta pusaka yang ditulis di atas kertas segel bertahunkan 1975 dan surat pewarisan harta pusaka itu juga dibuat tahun 1975.
Sahabat saya itu mengisahkan, bahwa seorang-seorang yang merasa karabat dari yang pembuat surat waris itu menilai surat warisan yang diberikan kepada sahabat itu palsu. Mulanya sahabat saya disangka sebagai telah membuat surat palsu, belakangan beralih lagi disangka sebagai orang yang menggunakan surat palsu.
Sahabat saya itu tak habis-habisnya bertanya hati, mengapa sangkaaan itu bisa berubah-ubah demikian ? Sahabat saya itu juga tidak habis mengerti mengapa dirinya disangka menggunakan surat palsu, sementara yang memalsukan suratnya tidak jelas (atau belum dibuktikan). Kata sahabat saya lagi, orang yang memberikan surat warisan yang dibuat tahun 1075 itu sudah meninggal dan kepala desa yang ikut bertanda tangan diatas surat warisan itu juga sudah meninggal. Sementara di tahun 1975 ia baru berumur 10 tahunan, tentu belum mengerti apa-apa mengenai surat palsu ? apalagi membuat surat palsu.
Sahabat saya melanjutkan ceritanya, kisah surat palsu itu berangkat dari adanya perbedaan tahun penanda tanganan orang-orang yang membubuhkan tanda tangannya di atas surat waris tadi itu. Sepanjang yang diceritakan sahabat saya, permasalahannya adalah adanya perbedaan tahun penanda tanganan pada surat dimaksud. Surat warisan dibuat dan ditanda tangani si pembuat surat warisan tahun 1975 sementara Kepala Desa sebagai orang yang mengetahui surat warisan itu menanda tanaganinya pada tahun 1985. Itulah dasar atau alasan surat warisan yang diterima sahabat saya itu yang dikatakan palsu dan kemudian mengantarkannya disangka oleh seseorang yang mengaku kerabat dari yang membuat surat waris menggunakan surat palsu.
Dari kisah sahabat saya itu, pihak lain yang membubuhkan tanda tangannya tahun 1985 di atas tahun segel 1975 dan berjarak dengan tahun sipembuat surat menanda tangani surat yang dibuatnya, ada beberapa kemungkinan; bisa jadi sipembuat surat waris pada waktu membuat surat waris di tahun 1975 masih menyimpan surat waris yang dibuatnya dengan berbagai pertimbangan, misalnya masih ragu atau memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan kepada orang yang dituju dalam surat waris yang dibuatnya, sehingga si pembuat surat waris belum meminta kepada kepala desa untuk membubuhkan tanda tangan di atas surat waris yang dibuatnya. Beberapa tahun kemudian atau pada tahun 1985 (sepuluh tahun kemudian seperti kisah sahabat saya) setelah surat waris dibuat baru ada ketetapan hati si pembuat surat waris untuk menyampaikan maksudnya dan kemudian meminta kepala Desa untuk membubuhkan tanda tangan sebagai orang yang mengetahui dari surat waris yang dibuatnya. Dalam rangkaian peristiwa seperti itu, maka tidaklah bisa dipandang adanya perbedaan tahun dari pihak-pihak yang bertanda tangan disurat waris itu menjadikan orang yang menggunakan surat waris itu sebagai orang yang menggunakan surat palsu. Artinya perbedaan tahun penanda tanganan surat tidak serta merta menjadikan surat itu palsu tentu ada fakta hukum yang bisa menjelaskannya, kecuali surat waris bisa dibuktikan tidak dibuat oleh orang yang namanya tercantum dalam surat warisan itu.
Apalagi seperti yang dikisahkan sahabat saya itu, ternyata Kepala Desa yang membubuhkan tanda tangannya di atas surar waris itu memang menjabat sebagai Kepala Desa periode 1982-1991. Itu artinya sipembuat surat waris selama kurun waktu 1975-1985 hanya menyimpan saja surat waris yang telah dibuatnya. Dan kemudian ketika surat warisan itu disampaikannya tahun 1985 kepada yang dituju, baru kemudian dimintakan tanda tangan Kepala Desa sebagai yang mengetahui dan menguatkan surat waris yang dibuatnya.
Bila benar masalahnya hanya soal adanya perbedaan tahun penanda tanganan surat dari orang-orang yang membubuhkan tanda tangan di atas surat waris yang jadi dasar sahabat saya menggunakan surat palsu, maka wajar bila sahabat saya itu galau hatinya berhadapan dengan hukum. Kisah ini sahabat saya itu tentu hanya sebuah pembelajaran saja, karena selain saya belum mendalami fisik dari sepucuk surat yang dikisahkan sahabat saya. Seperti apa kebenaran materilnya, tentu jika seluruh fakta didalami dan tidak cukup hanya sebuah kisah yang belum utuh diceritakan. Dan pihak berwajib jika permasalahan yang dikisahkan sahabat saya itu dibawa ke ranah hukum, pihak berwajib tentu akan melakukan pendalaman kasus jika sahabat saya itu dilaporkan sebagai orang yang menggunakan surat palsu dengan dasarnya ada perbedaan tanggal pembubuhan tanda tangan dari orang-orang yang namanya tercantum di dalam surat waris seperti dikisahkan sahabat saya itu. (***)