Oleh Boy Yendra Tamin
Apabila seseorang diduga keras atau disangka melakukan suatu kejahatan/ kriminal atau tindak pidana, maka terhadap diri yang bersangkutan dapat dilakukan penahanan oleh penyidik (polisi/jaksa), penuntut umum atau oleh hakim, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Kapan dan mengapa seseorang ditahan pihak berwenang ?
Dalam dan atas kasus tindak pidana apa pun, hal pertama yang ditakutkan seseorang adalah adanya tindakan penahanan. Bahkan ada prinsip yang timbul dari masyarakat, ia sanggup menghadapi proses hukum asal tidak ditahan. Mengapa ? Penahanan adalah instrument hukum yang kewenanganya diberikan kepada penyidik, penuntut umum atau pun hakim. Penahanan itu sendiri menurut KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Biasanya penempatan tersangka/terdakwa itu bisa di rumah tahanan dan kebebasannya untuk hidup dalam msyarakat untuk sementara dibatasi.
Siapa pun orangnya tidak ada yang mau hidup dalam rumah tanahan dan kebanyakan orang lebih dominan memikirkan ketidak-sanggupnya hidup dalam rumah tahan. Padahal penahanan adalah tindakan sepihak dan subjektif dari pihak yang berwenang dan karena setiap orang yang terkena penahanan perlu memahami soal-soal yang berkaitan dengan institusi penahanan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, penahanan dilakukan pihak berwenang adalah terhadap seorang tersangka atau terdakwa, sehingga ada perbedaan ditahan dengan dipenjara. Dipenjara adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang sudah dinyatakan bersalah atau terbukti berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan pada lembaga penahanan belum tentu seseorang itu bersalah. Sehingga penahanan adalah sebuah instrument hukum selama seseorang sedang menjalani proses hukum sampai dijatuhkan vonis oleh pengadilan. Karena itu pada lembaga penahanan diatur sedemikian rupa hak-hak tersangka/terdakwa yang ditahan dan demikian pula dengan hak-hak dan kewenangan dari pihak yang berwenang melakukan penahanan.
Baca juga: Ketentuan Penangkapan Terhadap Tersangka Atau Terdakwa.
Pihak berwenang melakukan penahanan terhadap seseorang bukanlah tanpa alasan dan alasan itu disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan (KUHAP). Alasan atau dasar seorang tersangka/terdakwa untuk dilakukan penahanan, apabila tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa; (1) akan melarikan diri; (2) merusak atau menghilangkan barang bukti; (3) dan atau mengulangi perbuatannya. Ketiga kekhawatiran dari pihak berwenang tersebut tentulah ada ketika penyidik sudah memiliki bukti yang cukup terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Artinya adanya kekhwatiran penyidik baru timbul sehingga memandang perlu melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga keras sebagai telah melakukan tindak pidana, setelah adanya bukti yang cukup. Sepanjang penyidik belum memiliki bukti yang cukup, maka semestinya tidak ada penahanan terhadap seorang tersangka. Bahkan bila dicermati rumusan pasal 21 ayat (2) KUHAP, penyidik tidak bisa melakukan penahanan terhadap seorang tersangka sebelum penyidik memiliki bukti yang cukup. Dan lebih tidak boleh lagi, seseorang ditahan sambil mencari bukti yang cukup. Jadi, jika sudah didapat bukti yang cukup, maka baru ada rasa khawatir dari penyidik, penuntut umum atau pun hakim seperti tersangka/terdakwa akan melarikan diri dan sebagainya sehingga penyidik, penuntut umum atau pun hakim melakukan penahanan sesuai dengan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penahanan, seorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tidak selalu harus dilakukan penahanan. Artinya status tersangka tidak berjalan seiring dengan penahanan. Hal ini sesuai dengan rumusan KUHAP sendiri terhadap tersangka, yakni: ‘Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Dengan demikian terdapat dua istilah dalam KUHAP, yakni istilah “bukti permulaan” dalam kaitannya dengan status tersangka dan istilah “bukti yang cukup” dalam kaitannya dengan penahanan terhadap tersangka/terdakwa. Dengan demikian, semestinya ketika seorang ditetapkan sebaga tersangka, bisa jadi belum ada pada yang bersangkutan bukti yang cukup, tetapi baru berupa bukti permulaan dan karena itu semestinya belum bisa dikenakan penahanan. Kecuali pada saat penetapan tersangka pada seseorang sekaligus didapati bukti permulaan dan bukti yang cukup, maka penahanan terhadap seorang tersangka tidaklah masalah.
Persoalannya kapan suatu dugaan terjadinya tidak pidana sudah memiliki bukti yang cukup ? Suatu tindak pidana dikatakan sudah memiliki cukup bukti sepertinya tergantung pada masing-masing pihak yang berwenang dalam setiap tingkat proses hukum sebagaimana diatur KUHAP. Apabila penyidik berpendapat kasus yang ditangani dipandang sudah cukup bukti, maka penyidik melimpahkan kepada penuntut umum. Dan apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya ternyata dinilai tidak cukup bukti, maka Penuntut Umum akan menerbitkan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SP3). Namun sebaliknya, apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang diterimanya dari penyidik sudah cukup bukti, maka Penuntut Umum akan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan untuk diperiksa dan diadili. Kemudian, Hakim pada pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum menilai tidak cukup bukti, maka terdakwa akan bebaskan dari dakwaan penuntut umum, tetapi sebaliknya bila hakim yang menyidangkan perkara dimaksud menilai perkara dimaksud dipandang sudah cukup bukti, maka terdakwa akan dijatuhi hukuman.
Dari rangkaian uraian soal cukup bukti seperti yang dikemukakan di atas, maka perihal adanya bukti yang cukup sehingga sesesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditahan ternyata bersifat relative. KUHAP tidak mengatur apa ukuran dari bukti yang cukup itu pada setiap tingkatan proses yang dilalui. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka adalah dengan melakukan praperadilan, namun upaya prapedilan itu tidak bisa dilakukan seorang terdakwa yang ditahan ketika perkaranya sudah dilimpahkan kepada pengadilan. Sehingga, meskipun soal bukti yang cukup itu masih relative sifatnya pada saat perkara seorang terdakwa diperiksa didepan pengadilan, tetapi terdakwa tidak bisa berbuat banyak atas penahanan yang dilakukan hakim terhadap dirinya, sementara perihal bukti yang cukup itu baru akan ditemukan setelah pemeriksaan perkara selesai dilaksanakan.
Sempit ruang gerak seorang tersangka atau terdakwa untuk mengetahui dan menguji bahwa penahanan terhadap dirinya oleh yang berwenang karena diduga keras sebagai pelaku tindak pidana sudah memiliki bukti yang cukup. Bahkan dalam upaya praperadilan pun, upaya tersangka melakukan perlawanan terhadap penahan dirinya, seringkali terbentur ketika dilakukan upaya pembuktian atas bukti yang cukup itu. Dalam hubungan, upaya tersangka melakukan pembuktian terhadap ada atau tidak adanya bukti yang cukup itu seringkali tersandung alasan pemohon praperadilan sudah memasuki materi perkara. Padahal mencermati rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, mau tidak mau pemeriksaan pra peradilan atas penahanan tentu akan bersentuhan dengan materi perkara, karena soal adanya bukti yang cukup itu tidak terpisahkan dari materi perkara. Jadi pemeriksaan pra peradilan terhadap penahanan sesungguhnya tidak hanya sebatas sah atau tidak sahnya penahanan secara formalitas.
Soal “Berdasarkan Bukti Yang Cukup”
KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan “bukti yang cukup” dalam kaitannya dengan penahanan. Jika kemudian bukti yang cukup itu tentu tidak dapat dilepaskan dari alat bukti menurut KUHAP sendiri. Dalam KUHAP yang dikatagorikan sebagai alat bukti adalah;
Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa.
Secara kebahasaan kata “cukup” diartikan sebagai;(1) dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dsb; tidak kurang; (2) lengkap; (3) sudah memadai (tidak perlu ditambah lagi). Apabila dipedomani pengertian kata “cukup” dari aspek kebahasaan itu, maka tentu “bukti yang cukup” mencakup ke-lima (5) alat bukti yang disebutkan KUHAP dengan kualitasnya masing-masing untuk dipandang sebagai alat bukti yang sah secara hukum. Di sisi KUHAP sendiri, soal bukti yang cukup itu bisa juga disandingkan dengan soal pengambilan keputusan hakim, dimana hakim dalam memutuskan perkara yang diperiksanya. Pasal 183 KUHAP menyebutkan; “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”.
Dalam praktek yang sering dikemukakan dalam kaitannya dengan penahanan seorang tersangka adalah berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai acuan minimal. Persoalannya kemudian, apakah dua alat bukti atau lebih yang dijadikan dasar penyidik untuk melakukan penahanan adalah alat bukti yang sah ? Maka dalam kaitan ini jelas, penyidik atau penuntut umum harus sudah memiliki keyakinan yang kuat, bahwa dua alat bukti atau lebih yang dipunyainya sebagai dasar untuk melakukan penahanan terhadap tersangka. Dan tersangka sendir tentu untuk meyakinkan dirinya, bahwa penahanan yang dilakukan terhadap dirinya sudah didasarkan penyidik atau penuntut umum atas adanya alat bukti yang sah menurut hukum. Dengan demikian, maka dalam proses pemeriksaan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penahanan terhadap tersangka, sekaligus melakukan pengujian terhadap keabsahan secara materil terhadap alat bukti yang dijadikan dasar penahanan dan bukan sekedar pengujian formalitas terhadap alat bukti terkait. Dalam konteks ini harus pula dibedakan antara lat bukti dengan barang bukti.
Dari beberapa uraian di atas, maka karena rumusan “berdasarkan bukti yang cukup” sebagai dasar untuk melakukan penahanan mengacu pada kuantitas alat bukti, maka alat bukti itu semestinya diuji kualitasnya sebagai alat bukti yang sah secara hukum. Dari lima (5) lima jenis alat bukti yang disebutkan KUHAP, setidaknya penyidik atau penuntut umum memiliki tiga (3) alat bukti yang dapat dipertahankan secara kuantitas dan kualitas sebagai alat bukti untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka. (***). Dunia Hukum