Catatan Hukum Boy Yendra Tamin
Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni dengan diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada “selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai;
“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Rumusan terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan; “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun1975 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terserat arus politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya gerakan menjauh dari makna pemberian otonomi kepada yang utama untuk memajukan kesejahteraan masyarakat daerah , tetapi otonomi daerah lebih cenderung dibangun dibawah kepentingan politik dan kekuasaan. Belakangan UU No 32 Tahun 2004 bakal direvisi lagi, artinya otonomi daerah di Indonesia masih akan berada dalam situasi pasang surut.*