Oleh: Dr Boy Yendra Tamin, SH, MH
Indonesia adalah negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dimana hukum seyogianya senantiasa harus mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Meski demikian ada pendapat yang mengemukakan, bahwa adalah tidak benar seluruhnya jika hukum adalah alat masyarakat untuk menegakkan demokrasi. Penekanan fungsi hukum cenderung lebih mendukung kekuasaan pemerintah serta implementasinya, baik untuk mendapatkan basis penggunaan kekuasaan yang kukuh dalam melaksanakan pembangunan.
Untuk mendalami hal diatas, kiranya perlu dikemukakan ciri-ciri dari produk hukum yang demokratis; (1)produk hukum harus bersifat mengatur (2)produk hukum yang bernama undang-undang keatas dan peraturan daerah, penetapannya harus melibatkan rakyat setidak-tidaknya wakilnya. (3)dilihat dari segi isinya, isi produk hukum harus untuk kepentingan rakyat dan kepentingan umum. (5)dilihat dari segi pelaksanaannya harus untuk kepentingan umum dan kepentingan rakyat.
Jika dijumpai di dalam kenyataan fungsi hukum cenderung lebih mendukung kekuasaan pemerintah serta implementasinya ia sesungguhnya tidak identik dengan tidak benarnya hukum sebagai alat penegakan demokrasi.
Tidak terlihatnya keberadaan hukum sebagai alat penegakan demokrasi, ia sebenarnya merupakan soal pengabaian hukum dan bukan persoalan hukum ke intinya. Atau dengan kata lain, hukum belum ditempatkan pada peranan dan kedudukannya yang benar dan sesungguhnya. Atau dengan lain kata lagi, apa yang disebut sebagai akibat dari "pelecehan" hukum dalam kehidupan bernegara dan dan bermasyarakat.
Kenyataan serupa itu bisa diamati di Indonesia, terutama pada masa sesudah kemerdekaan misalnya (1949-1959), masa dimana dijumpai sistem pemerintahan yang terbuka dan bersifat liberal. Walaupun secara de jure hak asasi manusia memperoleh tempat dan pengakuan di dalam konstitusi yang berlaku saat itu. Tetapi yang membuat hak asasi tidak memperoleh tempat bukanlah dikarenakan faktor hukum, melainkan sistem politik yang dipakailah yang memunculkan kegagalan untuk menegakkan tegaknya suatu mesyarakat Indonesia yang bersatu dibawah negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Begitu pula pada saat naiknya rezim demokrasi terpimpin ke panggung politik Indonesia, kehidupan hukum dan hak asasi manusia umumnya tidak menggembirakan. Rezim demokrasi terpimpin pada dasarnya merupakan rezim pemerintahan patrimonial yang menolak dalam bentuk apapun pengawasan rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Apabila produk hukum yang dihasilkan pada rezim ini belum berhasil membawa kemakmuran bagi masyarakat tani, salah satu sebabnya karena masyarakat tani tidak mempunyai kekuatan yang diperlukan bagi pelaksanaan hak-hak asasi mereka yang telah diakui oleh produk-produk hukum tersebut.
Lebih jauh, rezim demokrasi terpimpin telah pula menghasilkan produk hukum yang justru dipakai untuk menindas hak-hak asasi politik dari warga negara yang senantiasa kritis terhadap pemerintah. Boleh dikatakan pada rezim pemerintahan demokrasi terpimpin usaha-usaha untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial mengalami masa-masa yang suram. Ketika rezim pemerintahan Orde Baru naik ke panggung politik Indonesia tahun 1966, rezim Orde Baru menyatakan komitmen untuk tujuan memulihkan kehidupan negara hukum berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945. Beberapa upaya antara lain, memulihkan fungsi lembaga-lembaga negara sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Pada masa ini pulalah dilakukakan usaha untuk memulihkan kedudukan lembaga peradilan yang hampir lumpuh pada era demokrasi terpimpin. Akan tetapi kenyataannya hukum juga tidak bisa eksis sebagaimana yang diharapkan, pembangunan hukum. Hukum kita masih dirasakan sebagai sarana legitimasi bagi kekuasaan pemerintah, dan hukum sepertinya diabdikan untuk kepentingan politik penguasa.
Dengan demikian menjadi jelas, tidak terlihatnya kemampuan hukum sebagai alat untuk menegakan demokrasi bukanlah disebabkan oleh faktor hukum sendiri, tetapi karena hukum itu diabaikan dan dimana politik dan kekuasaan lebih penting dari pada hukum. Sementara disisi lain, lembaga negara yang telah dibentuk berdasarkan hukum tidak pula berfungsi sebagaimana mestinya. Yang terlihat justru politik lebih menentukan dari pada hukum. Pendeknya bila politik adalah panglima, maka hukum hanya tinggal cita-cita.
Tegak atau berfungsinya hukum sebagaimana mestinya tergantung dari semangat penyelenggara negara dan sistem politik yang dipakai yang menjadi penopang tegaknya hukum. Diakui bahwa hukum tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan, tetapi apabila kekuasaan tidak terkendali yang muncul justru kekuasaan dan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan.
Dapat atau tidaknya hukum sebagai penegak demokrasi dan keadilan tergantung kepada sistem politik yang dipakai Dari sistem politiklah, apakah hukum dapat berfungsi sebagai alat penegakkan demokrasi dan keadilan. Sebab sistem politik yang dipakai suatu negara menentukan produk hukum. Sistem politik otoriter atau non-demokratis melahirkan hukum-hukum yang cendrung ortodok/konservatif.Sedangkan sistem politik demokratis melahirkan hukum-hukum yang responsif/populistik -- sistem politik menurut istilah Moh Mahfud.MD disebut dengan konfigurasi politik-- Adalah sulit untuk menempatkan hukum sebagai alat penegakan demokrasi apabila bangunan dasar hukum represip, ortodok/konservatif.
Bangunan hukum yang demikian hukum cendrung dirasakan sebagai penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi warga negara. Hukum melembagakan disprivile dengan menekankan kewajiban dan tanggung jawab, bukan pada hak-hak yang dipunyai oleh golongan-golongan yang tidak berkuasa. Golongan miskin yang memiliki ketergantungan menjadi sasaran bekerjanya lembaga-lembaga atau birokrasi tertentu maupun distimatisasi oleh klasifikasi-klasifikasi resmi. Hukum represif mengorganisasi pengamanan sosial atas " klas-klas berbahaya" dengan mengkriminalisasikan prilaku-prilaku tertentu. Dalam keadaan sistem politik otoriter dengan outputnya hukum represif/konservatif, maka jelas hukum lebih dirasakan sebagai penindasan dan legitimasi kekuasaan bagi penguasa (pemerintah).
Tidak demikian halnya apabila suatu negara (pemerintahan) menjalankan sistem politik yang demokratis. Bangunan dasar hukum dalam sistem politik demokratis adalah responsif. Hukum lebuh bertujuan agar hukum lebih tanggap terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dna lebih efektif dalam menanggapi masalah-masalah sosial. Tujuan serupa itu bisa terwujud apabila sistem politik yang dipakai demokrasi, karena sistem politik demokratis bercirikan : adanya lebih dari satu partai politik. Partai-partai politik tersebut bebas berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan politik; kompetisi politik dilakukakan secara terbuka dan dididasarkan pada aturan permainan yang tetap dan telah diterima; memasuki dan merekrut (recruitment) untuk mendapatkan posisi-posisi kekuasaan politik adalah terbuka; adanya pemelihan secara berkala (periode) dan yang bersifat umum (a wide frachi); golongan penekan (presure groups) diberi kesempatan untuk mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan keputusan; kebebasan-kebebasan dasar manusia (civil liberties) seperti kebabasan berbicara dan menganut agama dan kebebasan untuk tidak ditahan secara tidak sah (freedom from arbitracy arrets) diakui dan dilindungi oleh pemerintah; Kekuasaan peradilan bebas tidak memihak; media masa seperti televisi, radio, surat kabar tidak dimonopoli oleh pemerintah dan dalam batas-batas tertentu dapat mengkritik pemerintah.
Bagaimanakah dengan demokrasi di Indonesia ? Indonesia menganut paham Demokrasi Pancasila yang berbeda dengan demokrasi liberal. Demokrasi liberal meletakkan kebabasan induvidu yang toleran sebagai urgensi kehidupan negara dan masyarakat. Oleh karena itu kontrol rakyat dan atau wakilnya kepada penguasa dan negara adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Dalam konteks ini C.F. Strong mengemukakan; negara konstitusional sekarang ini harus didasarkan atas suatu sistem perwakilan yang demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Mengenai hal ini harus tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Sedangkan perihal bagaimana pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam arti bentuknya, maka pertama-tama harus dilihat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya, meskipun ini bukanlah satu-satunya cara untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila.
Dalam kesempatan ini yang terpenting adalah, apakah hukum dan pelaksanaan hukum di negara Indonesia akan berfungsi dan memainkan peranannya sangat ditentukan oleh keinginan melaksanakan UUD 1945 secara konsekuen. UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di dalam UUD 1945 termuat cita-cita bangsa dan arah kehidupan bernegara dan berbangsa, termasuk di dalamnya keberadaan hukum dalam kehidupan negara.
Bila demikian halnya, meminjam pertanyaan Sri Soemantri.M, sampai seberapa jauhkah konstitusi dapat dipertahankan dan bagaimanakah pengaturannya apabila terjadi bermacam-macam masalah yang perlu mendapat pengaturan. ? Dalam persoalan ini, maka DPR harus dapat menyesuaikan putusan-putusannya sesuai dengan kemauan masyarakat, yakni sesuai dengan keadaan masyarakat atau social engginering ( istilah Rescoe Pound). Jadi, seandainya akan di buat suatu UU (hukum-pen), maka materi dalam UU itu harus diterima oleh masyarakat atau tidak. Dengan demikian kian jelas, bahwa gagasan negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana juga dituangkan dalam UUD 1945 berserta penjelasannya akan terwujud bila bila sistem politik demokratis dan UUD 1945 harus dijalankan secara konsisten. (***)