Oleh: Boy Yendra Tamin
Konsepsi pemikiran hukum sebagai social engineering di Indonesia tidak persis sama dengan yang dikembangkan ditempat asalnya. Law as a tool of social engineering di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “hukum sebagai alat/sarana pembaharuan masyarakat” suatu penyebutan yang dikembangkan oleh Muchtar Kusumaatmadja berserta dengan konsepsinya.
Alasan untuk lebih menyukai sebutan “alat pembaharuan masyarakat” atau “sarana pembaharuan masyarakat” antara lain dikarenakan kata engineering (perekayasaan) seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang berbau negative.
Sebagaimana dipahami, bahwa konsepsi hukum sebagai alat pekerakayasaan masyarakat yang dikembangkan Rescoe Pound dan para pelopor aliran pragmatig legal realism di Amerika adalah tidak persis sama dengan apa yang dikembangkan di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Muchtar Kusumaatmadja, bahwa konsepsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat hanya memiliki kemiripan dengan law as a tool of engineering yang di negara-negara Barat pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran pragmatig legal realism. Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dikatakan hanya di-ilhami oleh teori “tool of social engineering.
Pertama, lebih menonjolkan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun jurisprudensi juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan dari pada keputusan-keputusan pengadilan , khususnya keputusan Supreme Court sebagai Mahkamah Agung tertinggi.
Kedua, Sikap yang menunjukan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “machanistis” dari pada “law as a tool of social engineering. Aplikasi mekanistis demikian digambarkan dengan tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dari pada penerapan “legisme” yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam pengembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat atau sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan “policy oriented dari Laswell dan Mc.Douglas.
Ketiga, Apabila dalam pengertian “hukum” termasuk pula hukum internasional, maka kita di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai landasan kebijaksanaan hukum. Dengan demikian maka perumusan resmi itu sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah. Perombakan hukum dibidang pertambangan (termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan dibidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan lain tindakan dibidang hukum sejak tahun 1958 yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan mendasar merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum dan perundang-undangan.
Konsepsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat yang dikembangkan di Indonesia, menurut hemat kita adalah sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Lebih-lebih konsepsi hukum yang dikemukakan Pund sekarang ini pun sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan masyarakat ke-kinian. Tetapi ide dasarnya menurut hemat penulis masih tetap berguna.
Kenyataan yang lebih jauh, seperti yang diungkapkan Koopmans, bahwa pembentuk undang-undang pertama-tama atau primer tidak lagi mengarah kepada melakukan kodifikasi melainkan melakukan modifikasi (de wetgever street niet meer primair naar codificate maar naar modificate). Tetapi tidaklah berarti kodifikasi hukum kedalam berbagai kitab undang-undang tidak penting atau tidak perlu, tetapi pengubahan masyarakat kearah cita-cita bangsa adalah lebih penting, lebih diperlukan. Soal fungsi hukum sebagai alat pengubahan social yang disinggung ini hanyalah sekedar untuk mendekatkan pada pemahaman yang lebih luas dan tidak sebagaimana diungkapkan ahli hukum ortodok. *