Oleh Boy Yendra Tamin Dt. Suri Dirajo, SH. MH
Dalam banyak karangan bisa ditemukan pandangan yang melihat adanya dikotomi antara fungsi hukum sebagai social engineering dengan hukum adat. Dikotomi itu bertolak dari pandangan hukum tradisional yang beranggapan bahwa kebiasaan yang membentuk hukum. Sementara dalam pemikiran hukum sebagai social engineering justeru hukumlah yang membentuk kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu bagi penganut paham hukum tradisional adalah tidak mungkin diwujudkan konsepsi hukum sebagai social engineering. Sikap yang sama, barangkali juga terlihat pada penganut aliran “legisme” yang menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka, bahwa segala pembuatan hukum (termasuk pembaharuannya) dapat dilakukan begitu saja dengan undang-undang. Sebaliknya pihak mazhab sejarah menentang perundang-undangan (legislation) sebagai suatu cara untuk membuat (dan memperbaharui ) hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan (harus) tumbuh dari sendiri dari kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai akibat dari ajaran hukum yang demikian, di dalam masyarakat Indonesia dirasakan sekarang, betapa tertingalnya pembangunan hukum dari bidang lainnya. Bahkan aliran maszhab sejarah telah mengantarkan hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaharuan” yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegah sama sama sekali kecuali sebagian kecil dari golongan pribumi. Dalam lain kata, aliran ini seolah-olah tidak melihat realitas sosial dengan apa yang dinamakan perubahan sosial dan dengan segala kebutuhan yang dimunculkan.
Akan tetapi bila diteliti betul, sesungguhnya hukum adat sendiri tidak menutup diri bagi pemikiran ke depan, bahkan susungguhnya hukum adat sebenarnya melihat prediksi kemasa depan. Sebagai contoh bisa dilihat di dalam falsafah adat Minangkabau;Adat nan babuhua sintak, indak babuhua mati.
Pepatah adat ini mengisyarakatkan, bahwa adat itu bersifat luwes dan terbuka terhadap perubahan.Gambaran yang kurang tepat tentang hukum adat dimasa lalu mungkin dikarenakan tidak (kurang) ditampilkannya segi dinamis dalam hukum adat itu. Yang ditonjolkan justeru sebaliknya melalui pepatah;
Indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh(Tidak lapuk karena hujan, tidak lekang karena panas)Sunaryati Hartono lebih jauh mengemukakan; politik hukum yang bermaksud melindungi golongan pribumi telah secara efektif mengisolasi “golongan primbumi” ini dari hubungan dan perkembangan hukum masa kini, sehingga mengakibatkan keterbelakangan dari golongan ini dalam situasi dimana golongan yang berbeda itu harus saling bersaing misalnya dalam perdagangan.
Pandangan yang lebih ekstrim dan tajam, Paul Radin mengemukakan;
Adat istiadat sama sekali tidak diartikan sebagai bagian dari kebudayaan yang tengah berlansung, akan tetapi adat istiadat pasti tergolong pada masa lalu yang sedang sekarat. Dan adat istiadat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang-orang primitive. Pada mereka itu terdapat kepatuhan yang dipaksakan. Adat istiadat kepatuhan tidak mereka ikuti apabila bobot tradisi tersebut mengurung dirinya….Adat istiadat dipatuhi karena ia terjalin akrab dengan jaringan hubungan timbal balik kehidupan yang luas, diatur dengan cara seksama dan tertip. Mereka diikar erat oleh segala macam.Setidaknya dengan beberapa pandangan terhadap hukum adat di atas akan memperkaya wawasan kita terhadap hukum adat dan fenomenanya menghadapi zaman dan mayarakat yang berubah ini.
Kembali kemasalah adanya anggapan yang menyangsikan dan mergukan konsepsi hukum sebagai social engineering yang dikaitkan dengan keberadaan hukum adat, terlebih-lebih dalam masyarakat bangsa yang pruralistik. Bila dicermati, mengapa muncul keraguan itu, ia sebenarnya dikarenakan tidak jelasnya batas antara hukum adat dan adat istiadat di dalam pikiran banyak orang. Hukum adat seringkali di-identikan dengan adat istiadat.
Sengketa mengenai apakah masyarakat-masyarakat primitif mempunyai hukum atau adat istiadat bukanlah sekedar “sengketa” kata-kata. Kekacauan hanya dapat terjadi ketika kita menanggapi sebagai gejala yang saling dipertukarkan. Jika adat istiadat adalah spontan dan otomatik, maka hukum merupakan hasil kekuatan yang terorganisasi. Asas resiprositas berlaku juga dalam masyarakat beradap, namun demikian sekurang-kurangnya tiada seorang pun yang mengacaukan hubungan-hubungan sosial dengan hukum formal.
Dari hal di atas, maka bagi kita yang terpenting untuk kepentingan tulisan ini adalah bagaimana esksistensi hukum adat bukanlah suatu hambatan bagi pengembangan konsepsi hukum sebagai social engineering (terutama dengan ide dasarnya). Karena ternyata hukum adat itu sendiri memiliki orientasi ke masa datang bila dicermati secara sungguh-sungguh dan mendalam.
Stanley Diamond mengungkapkan; hukum merupakan gejala yang sejalan dengan kemunculan negara; sanksi hukum bukanlah sekedar senjata apuh bagi pranata-pranata yang berlaku sepanjang waktu dan tempat. Apa yang dikatakan Bohannan dengan “pelembagaan ganda” perlu didefenisikan kembali. “Pelembagaan ganda” terjadi akibat suatu proses historis yang rumit luar biasa dan tidak dapat dianggap sekedar peristiwa diterimanya adat istiadat sebagai hukum. Dan terjadinya juga dalam berbagai cara. Adat istiadat – yang memiliki karakter spontan, tradisional, pribadi, dikenal luas, melembaga, relatif tidak berubah – merupakan modalitas/inti rasa masyarakat primitif; hukum merupakan alat yang dipakai oleh peradapan dan masyarakat politik (yang memaksakan hukum dengan kekuatan yang terorganisir) karena dianggap berkuasa atas masyarakat serta merupakan penopang bagi seperangkat kepentingan sosial yang baru. Hukum dan adat isitiadat memuat peraturan tindak-tanduk, namun karakternya sama sekali berbeda; tidak ada keseimbangan evolusioner antara perkembangan yang dicapai hukum dan yang dicapai adat istiadat, apakah tradisonal atau pun sedang tumbuh.
Batas antara hukum adat dengan adat istiadat yang dikemukakan Ter Haar, belumlah lengkap. Haar hanya member cirri otoritas bagi keduanya seperti dikemukakan Ter Haar dalam teori pengambilan keputusannya.
Pandangan yang lebih luas adalah dari L Pospisil yang dikemukakannya setelah melakukan studi komparatif terhadap kasus-kasus hukum yang serupa daam 32 kebudayaan lain dari berbagai daerah yang tersebar luas dimuka bumi. Satu dari hasil analisa yang dikemukakan Pospisil adalah apa yang disebutnya dengan attribute of intention of universal application. Artribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dn harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa serupa dimasa akan datang.
Kesimpulan Pospisil itu jelas, menunjukan adanya di dalam hukum adat suatu keputusan yang diproyeksikan kemasa datang. Sekalipun keputusan itu bertolak dari peristiwa saat itu. Tetapi setidaknya secara konsepsi di dalam hukum adat sebenarnya melakukan prediksi juga ke masa datang. Walaupun tidak kongkrit benar, sebagaimana adanya pandangan itu dalam falsafah adat Minangkabau seperti yang kita kemukakan sebelumnya.
Jadi jelas, bahwa sesungguhnya antara pandangan hukum tradisional dan padangan hukum modern, sebenarnya tidak terdapat dikotomi dan menjadi suatu dilemma bagi konsepsi hukum sebagai social engineering sebagaimana disangkakan para penganut hukum ortodok selama ini.
Dan benarlah Muchtar Kusumaatmadja, pikiran bahwa hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah sesungguhnya prinsipnya dimiliki pula dalam alam pikiran bangsa Indonesia. Ini memang tidak bisa dipungkuri bila kita cermati apa yang dikatakan pepatah adat Minangkabau;
Sakali aia gadang
Sakali tapian berubah(Sekali air besar, sekali tepian berubah)Artinya adalah, bahwa adat itu berubah mengikuti keadaan masyarakat, namun perubahan itu bukan sembarang perubahan melainkan (harus) tetap ada hubunganya dengan (keadaan) yang lama. Hal ini digambarkan demikian;Walaupun baranjakDilapiak nan sahalai juo(walaupun bergeser tapi masih ditikar yang sama)Agar adat itu tetap muda, maka ia harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan . Seperti kata pepatah Minangkabau;
“usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi”“nan elok dipakai, nan buruak dibuang”“nan singkek mintak diuleh, panjang minta dikarek’“nan rumpang minta disisik”Pepatah-pepatah adat Minangkabau yang dikutipkan di atas menggambarkan, bahwa menurut alam pikiran hukum adat itu sendiri, hukum itu tidak menolak pembaharuan, bahkan sebaliknya. Seperti dilukiskan pula dalam pepatah lainnya yang mengatakan ”adat dipakai baru, kain dipakai using”, demikian Muchtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional” Bina Cipta Bandung ; 1976.
Dengan melihat isi dan makna pepatah adat Minangkabau di atas, maka dengan sendirinya sekaligus merupakan perontokan terhadap pandangan ahli hukum yang berpaham ortodok yang bersikukuh dengan sikap penolakan terhadap hukum Barat dan menempatkan hukum utama atas dasar preseden dan suatu kompedium statute yang bersifat statis. Dengan ini pula kita melihat ide dasar konsepsi hukum sebagai social engineering bukanlah selalu dikaitkan dengan “pembaratan”, karena ternyata prinsip-prinsipnya itu dijumpai pula dalam pepatah adat yang tradisional. Ini terlebih-lebih dengan pemikiran hukum sebagai social engineering tersebut berkembang sebagaimana berkembangnya kemajuan masyarakat bangsa di zamannya. Perkembangan kemudian terlebih lagi dengan era globalisasi hukum dewasa ini, sebagaimana juga halnya dengan di Indonesia.*