Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ancaman pidana mati dalam Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) konstitusional. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan No. 15/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Raja Syahrial alias Herman alias Wak Ancap dan Raja Fadli alias Deli. Keduanya adalah terpidana mati.
“Ancaman pidana mati terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan tersebut bukan merupakan satu-satunya ancaman pidana, melainkan merupakan salah satu alternatif dari dua alternatif lainnya, yaitu ancaman pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Dengan demikian hakim dapat memilih alternatif penjatuhan pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya tindak pidana yang dilakukan,” tegas Mahkamah dalam putusannya yang dibacakan pada Rabu (18/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3”.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati bukan merupakan kejahatan paling serius (the most serious crime) yang dapat dikenakan pidana mati. Namun, menurut Mahkamah, tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang sudah termasuk kejahatan serius. Karena, kejahatan tersebut menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada masyarakat, yang sama dengan ketakutan terhadap akibat dari narkoba.
“Oleh karena perbuatan jahatnya menimbulkan efek psikologis yang sama maka adalah wajar manakala ancaman pidananya sama. Ancaman pidana terhadap kedua kejahatan tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan pencegahan untuk melakukan kejahatan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat,” papar Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya.
Selain itu, Mahkamah berkesimpulan, putusan tersebut juga telah sesuai dengan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, bertanggal 30 Oktober 2007, yang pada intinya menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. “Jadi, secara penafsiran sistematis(sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945,” menurut Mahkamah saat itu.
Mahkamah juga berpandangan, hukuman mati sebagai bentuk pembatasan hak asasi manusia telah dibenarkan secara konstitusional maupun berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena itu, dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan menolak seluruh permohonan Pemohon. “Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Wakil Ketua MK Achmad Sodiki. (Dodi/mh)
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=7270