Oleh: Adam Malik
Kota Jakarta tak bisa dipisahkan atau diasingkan dari riwayat revolusi Indonesia, karena kota Jakarta mengambil bagian tersendiri dalam revolusi kita. Jakarta mempunyai arti kata kedudukan tersendiri di sekeliling riwayat proklamasi itu. Jika ditilik keadaan Kota Jakarta pada waktu menjadi ibu kota “Hindia Belanda” sewaktu masih bernama Batavia, kemudian di zaman pendudukan Jepang dijadikan kembali Jakarta, tetaplah Jakarta menjadi pusat segala perhatian, politik, ekonomi dan sosial.
Sewaktu Jepang menduduki seluruh Indonesia, Jakarta pun dijadikannya menjadi kota kedua dari Selatan, tidak saja tempat atau simpang-siur dari pengangkutan tentaranya ke medan perang di Asia Tenggara, tetapi juga tempat persediaan (basis) bahan-bahan makanannya.
Lebih-lebih pula untuk Jawa seluruhnya, kedudukan Jakarta tidak saja sebagai pusat kota, tetapi tempat perhatian dari pandangan mata pengharapan , yang selalu ditunggu dan dinanti-nanti geraknya. Karena jakartalah pusat gerakan sandiwara politik Jepang, dan pusat gerakan Djawa Hookookai (Kebaktin Rakyat Jawa) pada waktu itu.
Jakarta mempunyai riwayat yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan jalan sejarah Indonesia umumnya. Tidakkah Jakarta yang mula-nula memberi tanda pemakluman kepada kekuasaan Jepang pada tanggal 5 Maret 1942 ? Setelah kabar pendaratan Jepang di Banten tersiar, maka buru-burulah pemerintah Hindia Belanda mencetak sebaran-sebaran yang menyatakan “Batavia” kota terbuka dan “Batavia” akan menerima kedatangan serdadu utusan Tenno. Tak salah jika kita katakana bahwa lambang kejatuhan Pemerintah Kolonial adalah pertama kali diturunkan di “Batavia”. Pada permulaan Maret 1942 di Kantor Residen Batavia ketika itu diadakan upacara penyerahan ‘Batavia” ketangan balatentara Jepang dengan disaksikan oleh ribuan rakyat Jakarta. Penyerahan yang memperlihatkan kelemahan dan ketidak adanya daya penolak dari Pemerintah Kolonial menyebabkan bertambah berkorbar semangat rakyat menuntut panggilan cita-cita kemerdekaannya. Dengan adanya demontrasi kelemahan susunan kolonial itu maka menyebabkan timbulnya spontaniteit dikalangan rakyat banyak kearah tindakan-tindakan yang tidak mendapat aliran yang tegas ketika itu.
Jepang yang mengerti akan masa phychologie rakyat ketika itu dengan tidak memandang rendah dan hina, dibiarkannya ketika itu berkibar sang Merah Putih lambang cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sudah ratusan tahun dalam impian itu. Walaupun pengibaran bendara Merah Putih itu diluar kemestian dan diluar keinginan balatentara Jepang, tetapi melihat semangat yang meluap-luap dan mengingat propagandanya sendiri hal itu dibiarkannya, beberapa bulan kemudian sesudah berjejak dan terpancang Bendera Dai Nippon agak kuat, barulah ia mulai membasmi dan melarang pengibaran bendera cita-cita 70 juta itu, mulanya dengan pelahan-lahan kemudian dengan kekuatan ujung bayonetnya.
Tetapi walaupun demikian, Jepang dapatlah memakai kesempatan pendek itu dengan mempergunakan semangat yang meluap-luap itu melintasi satu tingkatan dalam rencana penaklukannya di Indonesia. Walaupun akhirnya semangat kecewa dan semangat kebencian timbul dan menyala kembali, tetapi dengan kekuatan propaganda dan ujung bayonetnya dapatlah Jepang selama masa pendudukannya menumpas semangat dan rasa kebencian itu dengan berbagai usaha dan jalan yang dilakukannya.
Walaupun demikian hebatnya gelombang yang memukul pantai pengharapan dan cita-cita rakyat Indonesia dipermain-mainkan oleh kekuasaan dan pengaruh tentara Jepang selama tiga setengah tahun itu tidak dapatlah ia membersihkan dan menghancurkan cita-cita yang sudah tumbuh dan berakar dan merata itu.
Tipu muslihat politiknya yang pertama ialah menarik pemimpin-pemimpin yang dicintai rakyat dengan mengajaknya bekerja menghilangkan kekacauan dan menyusun kemakmuran seluruh rakyat-disampinya diberi pondokan kepada pemimpin-pemimpin yang mengharapkan pujian dan upah- dalam gerakan yang didirikannya mula-mulanya gerakan “TIGA A”. Karena tidak memberi kepuasan politik dikalangan rakyat banyak, ditukarnya haluan baru dengan mendirikan gerakan yang lebih maju sedikit yakni gerakan PUTERA, oleh karena gerakan ini terbatas dilakangan pemimpin-pemimpin cabang atas saja, tetapi dasar rencananya yang berbau “nasionalisme” dapat menarik perhatian rakyat banyak, sedangkan Jepang tidak suka adanya nasionalisme dan bukan itu yang diharapkan oleh balatentara Jepang, maka buru-buru dirobah Ke dan susunannya dalam bentuknya yang lebih “luas” ialah Gerakan Baktian Rakyat Jawa (Djawa Hookookai).
Jepang mengerti bahwa gerakan baru ini dapat maju kalau ia memberi sedikit jalan lalunya nasionalisme Indonesia dalam gerakan itu. Dengan royal ia mengajurkan adanya rapat-rapat raksasa dan rapat-rapat serentak. Patung Jan Piterzoon Coen yang menjadi lambang kota Jakarta dan lambang kekuasaan kolonial diturunkannya dengan segala rupa upacara supaya dapat menggerakan “sentiment” kebangsaan dan menarik kepercayaan rakyat akan cita-cita yang jadi semboyannya: “Pelindung, Pemimpin dan Cahaya Asia”.* (Dikutip dari buku yang ditulis Adam Malik “ Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” : Penerbit Wakaf;”Republik” ; 1948)