Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Problematika negara hukum Pancasila dengan Kebebasan Beragama di Indonesia (Bagian Kedua dari Tulisan Konsep Negara Hukum Pancasila.....)

Tulisan ini bagian dari tulisan Konsep Negara Hukum Pancasila Dan Problematika Kebebasan Beragama di Indonesia.

Oleh Adithiya Diar, SH

2. Problematika negara hukum Pancasila dengan Kebebasan Beragama di Indonesia.

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut UUD 1945 Negara kita berdasarkan:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan;

5. Keadilan Sosial.

Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena agama adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.

Sementara itu, dalam banyak literatur juga telah menyajikan bahwa Latar belakang lahirnya Negara Hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur dengan pengakuan tegas terhadap adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu, prinsip ketuhanan adalah elemen terpenting dari elemen negara hukum Indonesia.

Prinsip ketuhanan sebagai elemen penting dari elemen negara Indonesia dapat dipahami, karena negara tidak terbentuk karena perjanjian melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” sesuai yang diutarakan oleh Padmo Wahyono. Dengan demikian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Dengan itu pula dapat dipahami bahwa negara Indonesia telah lama mengakui adanya agama yang menjadi faktor penting untuk mendukung kemerdekaan bangsa dari tangan para penjajah.

Pasca reformasi, masalah agama mendapatkan banyak perhatian dilapisan segenap bangsa Indonesia, terutama masalah yang bersinggungan langsung dengan kebebasan beragama. Kebebasan beragama yang termuat dalam rumusan Pasal 18 angka 1 dan 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 yang telah menjadi hukum positif Indonesia, kini telah pula bersinggungan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Persinggungan antara DUHAM dan ideologi bangsa Indonesia ini bermuara dari hasil amandemen UUD 1945 yang memuat kebebasan beragama dan kepercayaan di dalam rumusan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) yang diadopsi dari DUHAM 1945, yang dapat menimbulkan problema multi tafsir. Salah satu penafsiran yang berkembang dikalangan masyarakat saat ini adalah bahwa konstitusi Indonesia memperbolehkan ajaran Penyangkalan adanya Tuhan (Ateisme) yang merupakan bagian dari hak kebebasan beragama, yang kemudian dihadapkan kepada Sila Pertama sebagai ideologi bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Sementara itu rumusan Pasal 28E ayat (2) menegaskan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Penafsiran yang melatarbelakangi diperbolehkan adanya ajaran Ateisme dalam kebebasan beragama ini lahir dari penafsiran Pasal 28E ayat (2) yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dari rumusan pasal tersebut, klausul yang menegaskan “kebebasan meyakini kepercayaan” dapat diinterpretasikan sebagai klausul yang menjadi pintu masuknya ajaran Ateisme di Indonesia.

Dari penafsiran gramatikal Pasal 28E ayat (2) tersebut, memang benar pada tataran normatif, konstitusi Indonesia telah mengatur secara tegas kebebasan beragama di Indonesia. Namun, tidak serta merta kebebasan beragama dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk memperbolehkan adanya ajaran Ateisme sebagai hak asasi.

Hak asasi yang berlaku di Indonesia bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, kebebasan beragama yang menjadi hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Undang-Undang yang membatasi kebebasan beragama tersebut adalah Undang-Undang No. 1/PNPS/1965, yang kemudian untuk pelaksanaan dalam kerukunan beragama pemerintah menerbitkan SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga Masyarakat (“SKB Tiga Menteri”).

Selain dari Pasal 28E (2) UUD 1945, kebebasan beragama juga termuat dalam rumusan Pasal 28I ayat (1). UUD 1945 yang menegaskan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak-hak ini tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Dari Pasal ini dapatlah diketahui bahwa hak beragama merupakan hak non derogoble rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Meskipun demikian, hak beragama tersebut juga mendapatkan pembatasan dalam Pasal 28I ayat (5) yang menegaskan bahwa “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, kebebasan beragama tersebut telah dibatasi kebebasannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Arsyad Syanusi, dalam pembacaan putusan uji materi UU 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Arsyad[xxi] menegaskan bahwa “Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegiatan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia”. Arsyad menambahkan bahwa “negara juga boleh membatasi kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya”.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Negara hukum Pancasila tidak memberikan kemungkinan adanya kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama, serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Karena selain landasan berdirinya negara Indonesia tersebut adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”, maka kebebeasan beragama juga dibatasi pemberlakuannya menurut perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dengan sendirinya tidak ada tempat bagi para ateisme yang tidak mengakui adanya Tuhan untuk tetap berdiri di bumi yang dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.

D. PENUTUP

Dari bahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsepsi negara hukum yang dianut oleh Indonesia tidaklah menganut konsep negara hukum Rechtstaat yang berlaku di Eropa Kontinental, dan bukan pula menganut konsep rule of the law dari Anglo Saxon, melainkan menganut konsep Negara Hukum Pancasila.

2. Problematika antara negara hukum Pancasila dan Kebebasan beragama terletak pada banyaknya penafsiran masyarakat yang menyatakan bahwa Pasal 28E ayat (2) menjadi pintu masuknya ajaran ateisme di Indonesia. Akan tetapi penafsiran tersebut merupakan penafsiran yang dihadapkan secara langsung pada ideology bangsa Indonesia yang mengakui adanya Tuhan yang termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Sehingga tidak ada tempat bagi penganut ajaran Ateisme untuk tetap berdiri di bumi yang dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.

Daftar Pustaka

Buku:

A.V. Dicey, 1952, Introduction to the study of the law of the Constitution, (London: Macmilan and Co Limited, St Martin’s street).

Benny K. Harman, 1997, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: ELSAM).

Faisal A. Rani, 2002, Fungsi Dan Kedudukan MA Sebagai Penyelenggara Kekuasaaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum. (Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD).

H. A. Muin Fahmal, 2006, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press).

Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, (Bandung: Ghalia Indonesia).

Joeniarto, 1968 Negara Hukum, (Yogyakarata: Gadjah Mada)

Philipus M Hadjon, 1987, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu).

Rukmana Amanwinata, 1990, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945, (Bandung: Disertasi, PPS UNPAD).

Santer Sitorus, 2008, Eksistensi dan Kedudukan Pengadilan Khusus dalam sistem Peradilan di Indonesia (Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD).

Sjachran Basah, 1989, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni).

Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni)

Sunaryati Hartono, 1982, Apakah The Rule of Law Itu?, (Bandung: Alumni)

Sumber lain:

Pan Mohamad Faiz, Constitutional Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama, panmohamadfaiz.com/, diakses pada tanggal 25 Maret 2012.

mahkamahkonstitusi.go.id/index.php diakses terakhir pada tanggal 13 April 2012.

PENULIS

Negara Hukum PancasilaAdithiya Diar, S.H.

Lahir di Sungai Penuh, dan Mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang. Penulis Aktif menulis dibeberapa penerbitan jurnal dan di media massa lokal.

Endnote:

[i] H. A. Muin Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hlm. 87

[ii] Faisal A. Rani, Fungsi Dan Kedudukan MA Sebagai Penyelenggara Kekuasaaan Kehakiman yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum. (Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD, 2002), hlm. 35

[iii] Philipus M Hadjon, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 76

[iv] Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu?, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 35

[v] Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 3

[vi] A.V. Dicey, Introduction to the study of the law of the Constitution, (London: Macmilan and Co Limited, St Martin’s street, 1952), hlm. 202

[vii] Philipus M. Hadjon. Op.Cit, hlm. 73

[viii] Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarata: Gadjah Mada, 1968), hlm. 8

[ix] Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: ELSAM, 1997), hlm. 3.

[x] Santer Sitorus, Eksistensi dan Kedudukan Pengadilan Khusus dalam sistem Peradilan di Indonesia (Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD, 2008), hlm. 32.

[xi] Ismail Sunny, Mencari Keadilan, (Bandung: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 416-417

[xii] Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945, (Bandung: Disertasi, PPS UNPAD, 1990), hlm. 109

[xiii] Santer Sitorus, Op cit, hlm 15.

[xiv] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni,1989), hlm 11.

[xv] H. A. Muin Fahmal, Op. Cit., hlm. 94

[xvi] Santer Sitorus, Op.Cit. hlm.15.

[xvii] H. A. Muin Fahmal, Op. Cit., hlm. 95

[xviii] Ibid., hlm 95-96

[xix] Pan Mohamad Faiz, Constitutional Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama, panmohamadfaiz.com/, diakses pada tanggal 25 Maret 2012.

[xxi] www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php diakses terakhir pada tanggal 13 April 2012.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar