Oleh: Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Dalam praktek atau peragaan Silek Minang secara fisik sering kita melihat sebuah taktik awal dalam melangkah, yakni kebiasaan “mangganjua langkah, salangkah ka balakang” . Mangganjue bukan berarti mundur, tetapi dengan menjejak surut kaki kiri selangkah ke belakang, dalam upaya membuat strategi langkah baru dengan kaki kanan untuk maelo langkah ka suok.
Strategi ini ditanamkan sejak awal dengan hakikat untuk selalu mengambil hikmah ke belakang, kepada masa lalu dari perjalanan sejarah yang panjang, bagi kepentingan mengatur strategi baru untuk menghadapi masa depan.
Tetapi sejarah tidak dapat dilihat dari satu sisi pandang saja, melainkan ada tiga sisi pandang untuk mengacu ke depan yakni berkaitan de ngan aspek belakang itu sendiri, aspek kiri dan aspek kanan. Apalagi menyangkut fakta-fakta sejarah yang secara tertulis tidak dapat diharap kan selama ini, seperti Sejarah Minangkabau yang menurut para ahli sejarah sendiri dikatakan “berbelit-belit” karena tidak didukung oleh fakta fakta tertulis, dan bukti-bukti otentik lainnya menurut standart ilmiah.
Sejarah Minangkabau terasa kusut benang. Itulah sebabnya kenapa sangat sulit untuk memahami latar belakang Minangkabau, selama ini. Penulisan Sejarah Minangkabau dan Rantaunya, sampai sekarang terasa tumpang tindih antara satu keterangan dengan keterangan lainnya, baik yang ditulis oleh orang asing dari luar sana, maupun oleh para ahli dari negeri sendiri.
Penelusuran, penelitian, pemahaman, dan penulisan sejarah dan kebudayaan Minangkabau demi kepentingan sepihak yang tergesa-gesa tanpa diikuti semangat kesetiaan, kesabaran, dan kearifan dalam membaca berbagai fenomena yang tersurat, tersirat dan tersuruk dibalik kata dan peristiwa-peristiwa simbolik yang disampaikan kaba, tambo, dan cerita sejarah yang ada secara benar, hanya akan menambah kekusutan yang telah ada.
Tidak ada jalan pintas untuk melakukan ini, tetapi harus menurut alur-alur adat yang telah ditetapkan menurut kepantasannya, karena hak adat di dalam adat, hak diri dalam diri. hak alam dalam alam. Dan ini mencakup setiap sistem adat dengan jajarannya nan bajanjang naiek batanggo turun sesuai dengan struktur kebudayaan yang membentuk bangunannya, baik secara vertikal, horizontal maupun integral. Diluar itu jelas akan mengalami jalan buntu dan sia-sia, “bak maeto kain saruang”, dan nyata pula akan menjadi mimpi-mimpi yang utopis.
Pemahaman tentang Minangkabau, berdasarkan kajian-kajian budaya dan adatnya, saling terkait dalam hubungan-hubungan multi dimensional dan bersifat universal. Melibatkan abstraksi atas beberapa fenomena realitas batang kebudayaan yang kompleks dan karakteristik dalam hubungan-hubungan reguler nya, seperti dahan, cabang dan ranting-nya.
Untuk itu diperlukan kemampuan khusus :
mangabek padi jo daunnyo,
dililik batang jo aka-nyo,baindang batampi tarehbatintiang dadak di nirudipiliah atah ciek-ciekUpaya ini dilakukan untuk menetapkan keteraturan gejala gejala hubungan yang reguler (ranting dan tangkai ) tersebut antara daun-daunnya (variabel-variabelnya).
Kemampuan mengadaptasi analogi dari hubungan-hubungan yang reguler antara variabel-variabel (silah, salasilah) tersebut dalam konteks kajian ini merupakan cara atau metode penelusuran dan penelitian yang dipakai, atau secara tradisional disebut kiek, (kiat yang dipergunakan).
Upaya dan daya yang dilakukan untuk menetapkan hubungan -hubungan tersebut, dinamakan cancang latieh (mulai dari observasi lapangan, membuka, dan mengumpulkan, lalu mengolah dan merumuskan, dan menanamkan) sedang obyek cancang latieh itu adalah taruko (lahan, obyek yang dikaji, diolah, dan diteruka) ,sementara pekerjaan mengolah, menaruko lahan atau obyek yang diusahakan itu disebut “buek”, atau “karya”.
Apabila hasilnya berbentuk karya nyata, baik secara material fisikal, maupun secara non material, misalnya berupa konsep ideal pemikiran, maka hasil buatan atau hasil karya itu dinamakan “buah taruko”, yakni buah pemikiran hasil nyata usaha dan jerih payah khas (patent) sebuah komunitas, kaum, keluarga atau pribadi seseorang dalam Alam Minangkabau. Termasuk di dalamnya konsep pemikiran ideal Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau yang telah mengatur tatanan masyarakat nya berabad-abad lamanya, yang membuktikan orisinalitasnya yang khas. Sampai sekarang kita warisi sebagai hasil cancang latieh taruko ninik moyang orang Minangkabau pada zamannya. Disebut juga : "Buek dek Alam Minangkabau"
“Adat” itu (Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau, -U-HAAM) adalah “Buek Nan Bapakai” dan dipakai di wilayah Alam Minangkabau pada zamannya. Sekarang beralih menjadi nilai-nilai kearifan local Warisan Budaya Alam Minangkabau di proivinsi Sumatera Barat.
Kegiatan keilmuan berupa kajian-kajian, diskusi, dan seminar yang melibatkan pembicaraan berkenaan dengan abtraksi-abtraksinya dalam hubungannya secara laras dan harmonis, disebut dengan ungkapan ba-Silek di pangka Karih sementara penjabaran dan penalaran serta aplikasi berbagai butir-butir rumusannya, disebut mamancak di ujuang padang (berbicara menjelaskan temuan-temuannya dihadapan ahlinya, yang mata ilmunya tajam bagai pedang).
Oleh karena itulah dalam konsep uraian ini, untuk dapat merekonstruksi bangunan dan batang kebudayaan Minangkabau secara integral dipakai metode yang dinamakan :
“Basilek di Pangka Karih Mamancak Di Ujuang Padang.”Dok. Bahan Diskursus Grup Kajian Tradisi Minangkabau,
Salimbado, 2000