Oleh: Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
2. DATUK PERPATIH NAN SABATANG
Datuk Perpatih Nan Sabatang merupakan tokoh yang tampil pada setiap Tambo di Minangkabau. Namanya juga ada pada kitab dari luar Minangkabau. Buku “Hikayat Raja-Raja Pasai” dari Pasai Aceh menyebut dengan nama Patih Sawatang, Prasasti (Batu Basurek) yang ditulis pada masa Adityawarman menjadi raja disebut dengan nama Dewa Tuhan Parapatih, dan lazim ditulis ke tulisan latin dan Malayu dengan nama Dewa Tuan Prapatih atau Dewa Tuan Prapatih. Walaupun ada yang tidak percaya, tetapi dengan adanya prasasti itu menunjukkan bahwa Datuk Parpatih Nan Sabatang seorang tokoh sejarah.
Tambo Bungka Nan Piawai ataupun Silsilah Raja-Raja Minangkabau di Gunung Marapi atau Silsilah Rajo Rajo di Pagaruyung menyebutkan Datuk Perpatih Nan Sabatang adik seibu oleh Datuk Katumanggungan. Berbagai Tambo menyebutkan nama beliau Jatang Sutan Balun yang dipanggilkan juga dengan Puto Balun. Ibu beliau Puti Indojalito dan ayah beliau seorang Cendekiawan alim ilmu yang bernama Hiyang Indojati bergelar kan Datuk Cati Bilang Pandai dan disebut juga Tuan Cati.
Tidaklah lengkap membicarakan “Minangkabau” kalau tokoh “cati bilang pandai” ini dianggap sebagai sebuah “sempalan” saja. Siapakah Hyang Indojati yang begitu populer dengan gelar Cati Bilang Pandai” di Pariangan itu sebenarnya ?
Sutan Balun lahir pada permulaan abad ke-14. Berbagai Tambo menyebutkan masa mudanya hidup mengembara, ke Aceh kemudian ke anak benua India, seterusnya ke anak benua Cina, lantas ke daratan Asia Tenggara, ke Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Suatu suku Dayak di Hulu Sungai Barito dan Kapuas di Kalimantan disebut Dayak Mamak, mengaku keturunan Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam perkawinannya dengan seorang perempuan Dayak.
Sekembali dari rantau ia menggugat Undang-Undang Tarik Balas yang berlaku pada waktu itu di kerajaannya, dan mengeritik berbagai tatacara perkawinan yang serampangan di negeri nya, yakni Kerajaan Pariangan. Maka diusulkannyalah Undang Undang yang menghilangkan hukuman mati, menyusun hukum perkawinan, serta aturan-aturan hubungan antara keluarga, antara kelompok antara wilayah kerajaan dengan jalinan hubungan yang harmonis dalam solidaritas kebersamaannya.
Oleh Raja, yakni kakaknya sendiri ia diminta untuk meninjau ulang dan menata kembali “buektan” terdahulu yang berlaku secara menyeluruh dan menyusun undang-undang baru yang dapat diterima semua pihak. Ia mengerjakan bersama raja dan dengan tuntunan mamanda mereka berdua yakni Datuk Suri Dirajo, beserta Tuan Cati. Oleh raja, ia diangkat sebagai Patih (Perdana Menteri dengan gelar Datuk Perpatih Nan Saba tang)
Ketika pada tahun 1347 Adityawarman datang, ia menolak untuk menghadapinya dengan peperangan tetapi menyambut dengan cara menjalin hubungan kekeluargaan. Adinda mereka berdua yakni Puti Reno Jalito yang dikenal juga sebagai Puti Reno Jamilan menjadi permaisuri Adityawarman yang dinobat kan sebagai raja. Dari pihak Adityawarman sendiri, ia datang memindahkan pusat kerajaan Malayupura Darmasyraya ke Pagaruyung.
Oleh Adityawarman ia diangkat sebagai raja kedua ( di Jawa disebut Ratu Angabaya). Tetapi di masa tuanya hidup sebagai Guru Besar Adat di Solok, Kubuang Tigo Baleh. Ia hidup bersama istrinya bernama Tabik dan dengan anak-anaknya di kampung Korong Gadang, Solok. Tempat bermusyawarahnya di bawah Kayu Jao.
Di Kotogaek Guguak, Datuk Parpatih Nan Sabatang menghimpun pemuka-pemuka Bodi Caniago dan melakukan pembagian suku untuk seluruh masyarakat Bodi Caniago baik yang ada diwilayah Kelarasan Bodi Caniago, maupun yang ada di wilayah Kelarasan Koto Piliang. Beliau meninggal dunia dalam usia yang cukup tua, dan dimakamkan di Munggu Tanah, Salayo. (Tulisan sebelumnya klik disini)
Dok. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Salimbado, Pusat Kajian Tradisi Minangkabaudiperbaharui 2012