Oleh Emral Djamal
1. PENDAHULUAN
Beberapa teori mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari India Belakang. Dalam perpindahannya mencari tempat-tempat pemukiman baru di selatan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau, terbentang sejak dari Madagaskar sampai ke kumpulan pulau-pulau Melanesia, telah terjadi dua kali perpindahan.
Gelombang pertama yakni induk bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan yang kedua induk bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda). Mereka menetap di daerah pantai, di tepi muara-muara sungai bagian timur pulau Sumatera, yakni bagi mereka yang masuk menemui berbagai gugusan pulau-pulau Nusantara khususnya melalui pantai timur Sumatera.
Kemudian menyusul perpindahan gelombang kedua dari daratan Asia-Indo Cina, yakni Deutro Melayu (Melayu Muda) yang mendesak Proto Melayu dalam upaya mencari tempat pemukiman baru, menelusuri sungai-sungai sampai ke hulunya. Mereka menemui lembah-lembah yang subur di tengah-tengah bukit barisan yang menjadi pusat pulau Perca Sumatera. Mereka inilah diantaranya yang menurunkan induk suku orang Kerinci.
Disamping itu, induk bangsa Proto Melayu merupakan orang Melayu pertama yang mendiami kepulauan Nusantara, juga menurunkan suku-suku bangsa Batak yang terdiri dari orang-orang Karo, Toba, Simalungun, dan Mandahiling. Juga menurunkan orang orang Nias, Mentawai, Pulau Batu, Pasemah, Rejang, Dayak , Minahasa, Toraja, dan berbagai suku-suku lainnya di kepulauan Nusantara ini.
Malah suku bangsa Melayu Tua ini meninggalkan bekas bekasnya berupa megalit atau menhir yang berbentuk tugu batu, di Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, seperti di nagari Mahat, Limbanang, Guguk, Tiakar, dan Durian Tinggi. Begitupun di daerah Kerinci yang sekarang termasuk Provinsi Jambi, telah pula ditemukan pecahan-pecahan tembikar dan beberapa perkakas peninggalan mereka.
Suku bangsa Melayu Muda yang membawa kebudayaan perunggu diperkirakan datang pada sekitar tahun 500 SM. Keturunan mereka antara lain adalah orang Aceh, orang Melayu Minangkabau yang terdiri dari Melayu Darat, (urang Darek), Melayu Tepi Air (dari sehiliran Batang Hari) dan Melayu Pesisiran (urang pasisie) baik di bagian barat maupun bagian timur pulau Perca, Sumatera. Juga di Kalimantan bagian utara, dan di Semenanjung. Begitupun suku bangsa Sunda, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Makasar, dan lain-lain sebagainya. Percampuran keturunan Melayu Muda dengan orang-orang Melayu Tua, merupakan percampuran orang-orang yang mendiami pusat pulau Perca, Sumatera.
Nama pulau Perca untuk Sumatera, merupakan nama tradisi yakni Pulau Paco, disamping itu juga ada nama lain seperti Pulau Emas, pulau Andalas, Pulau Telur, dan pulau Linggapuri untuk nama Sumatera. Melayu Darat di daerah Luak Nan Tigo sekitar lereng gunung Merapi pusat pulau Perca mengisi daerah inti Melayu Minangkabau kemudiannya. Suku-suku bangsa Melayu ini tersebar di Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Kamboja, sampai ke Malagasi (Madagaskar). Di Singapura, Taiwan, Vietnam, dan Muangthai (Thailand), orang-orang Melayu merupakan penduduk minoritas di negeri tersebut.
Penduduk asli bangsa Indonesia sendiri, terdiri dari rumpun Melayu sebagai rumpun terbesar, rumpun Melanesia (rumpun Irian) dan rumpun keturunan suku bangsa Weda yang datang ke Indonesia lebih awal dari rumpun bangsa Melayu. Disamping itu, dalam kajian dan penelitian-penelitian pra–sejarah telah ditemukan pula fosil manusia purba yang tertua di Indonesia, dengan umur sekitar 1,9 Juta tahun. Manusia purba itu, fosilnya ditemukan di Jetis (Jawa Barat), disebut PithecanthropusMojokertensis yang hidup awal masa Plestosin.
Kemudian di tempat yang sama, menyusul ditemukan pula ma nusia purba yang lebih muda lainnya, yakni Meganthropus Paleo ja vanicus. Pitheconthropus Erectus ditemukan di Trinil, Pithecan thropus Soloensis di Ngandong, dan Mono Wajakensis di Wajak-Kediri dengan umur sekitar 10.000 tahun SM. Jenis manusia purba yang paling muda yakni Melanesoid dan Mongoloid. Penyebaran nya sudah meluas di seluruh Indonesia. Demikian pula manusia-manusia purba di atas, kemungkinan besar telah ikut menurunkan bangsa Indonesia setelah keturunan-keturunan mereka berasimilasi dengan pendatang-pendatang yang berasal dari daratan Asia.
Seperti diketahui bahwa gelombang-gelombang aliran manusia dari daratan Asia sejak ribuan tahun sebelum Masehi ke kepulauan Nusantara telah melahirkan bangsa-bangsa baru di kawasan Nusantara ini. Sementara itu para ahli purbakala telah pula membuat kesimpulan baru, bahwa kawasan Melayu Nusantara ini telah didiami manusia sejak 35 ribu tahun yang silam. Ini dapat dibandingkan dengan penemuan fosil manusia purba Trinil yang berumur sekitar 1,9 Juta tahun, sampai penemuan fosil Homo Wajakensis di Wajak-Kediri yang berumur 10.000 tahun SM.
Hakikat teori ini berarti menolak teori Migrasi yang mengandaikan bahwa ras Melayu berhijrah dari selatan negeri Cina ke kawasan Melayu Nusantara pada masa-masa sebelum Masehi. Kepulauan Indonesia, kepulauan Filipina, dan Semenanjung Malaysia disebut sebagai Nusantara Melayu, Kepulauan Melayu, atau Malay Archypelago. Dan saat ini yang disebut negara-negara serumpun Melayu adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, Kamboja, dan Malagasi (Madagaskar, artinya tanah Melayu). Kata "malaysia” sendiri juga bermakna “tanah melayu”. Pertanyaannya sekarang, dimanakah pusat cikal bakal negeri Melayu itu sebenarnya di Nusantara ini?
Pertanyaan ini tetap masih menggelitik para ahli, peneliti, dan pemerhati budaya dan sejarah Nusantara, baik di tanah air ini mau pun dari manca negara. Seperti misalnya, yang disampaikan oleh Prof. Dato’ Dr. Wan Hashim Wan The, seorang Anthropolog Budaya di Institiut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi. Dalam sebuah kertas kerjanya yang dibentangkan pada Konvensyen Dunia Persilatan dan Pembangunan Menjelang abad ke 21, Sabtu 23 Desember 1995. Anjuran Institut MINDA dengan kerjasama Kerajaan Negeri Selangor Darul Ehsan, Ma laysia. [1] Prof. Dato’ Wan Hashim Wan Theh mempertanyakan : “Dari manakah dimulai pengungkapan identitas etnik kemelayuan itu sebagai suatu kelompok yang kukuh dengan segala sistem kekeluargaannya yang mantap dapat dimulai? Dimanakah pusat Melayu Inti tersebut di Nusantara ini ?”
Pada awal kertas kerjanya. Prof. Dato’ Wan The menjelaskan bahwa, Ras dan Rumpun Melayu kini berjumlah kira-kira 250 juta terkumpul dengan padatnya di kawasan Dunia Melayu Inti, atau Alam Melayu. Tetapi tidak dijelaskan dimana tepatnya dunia Melayu Inti dan Alam Melayu itu. Walaupun sebagian dari padanya tersebar di beberapa negara di luar Alam Melayu, dan sebagian lainnya merupakan kelompok pribumi yang kini menjadi kumpulan minoritas di tempat asal-usul mereka. Namun proses globalisasi dan perluasan jaringan komunikasi media, elektro nik, dan sebagainya telah menjadikan dunia semakin kecil dan mempermudah kontak dan komunikasi di antara komunitas yang tinggal berjauhan. Apalagi ditunjang dengan hubungan kelompok dan individu yang semakin kerap dan akrab, sehingga memungkinkan untuk berkembang ke peringkat yang resmi.
2. SEJARAH LOKAL DAN TEPAT WILAYAH
Kekuatan penegak yang memancangkan tonggak tonggak kehidupan sosial, seni dan budaya suatu etnis atau bangsa tergantung kepada situasi dan kondisi lahan dan lingkungan alam tempat lahir, tumbuh, dan berkembangnya suatu komunitas penduduk. Situasi dan kondisi lingkungan alam tidaklah selalu sama antara tepatan wilayah yang satu dengan tepatan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan spesifik alam lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan watak, karakter, cara berfikir dan kepercayaan dalam memberdayakan koleksi ingatan kolektif mereka. Bekas-bekas peninggalan budaya, tidak harus selalu dikatakan berupa “benda-benda bersejarah” saja, tetapi juga harus dilihat sampai sejauh mana benda-benda budaya itu masih mempengaruhi tindak, laku, dan perbuatan generasi keturunan mereka secara fisikal, mental ataupun spiritual. Sengaja atau tidak, ikut mempengaruhi watak dan kepribadian yang berhubungan dengan nilai-nilai warisan yang sebelumnya menjadi corak peradaban nenek moyang mereka itu, masih berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu sejarah tepatan wilayah sebagai tanah tumpah darah, tanah kelahiran, hidup dan tumbuhnya suatu kebudayaan perlu mendapat telaahan dan perhatian khusus. Sejarah tepatan wilayah, jelas memberikan tumpuan dan bersitum pu kepada kawasan-kawasan budaya dari daerah dimana ia lahir, hidup, tumbuh, dan berkembang. Adagium Adat Alam Minangkabau mengisyaratkan :
Mancancang balandasan
malompek basitumpu
tagak basarato
bajalan bapambao.
(Mencencang berlandasan,
melompat bertumpuan
berdiri be-penyertaan,
berjalan berpembawaan).
Maksudnya, setiap peristiwa atau permasalahan yang diper bincangkan, dibahas, ditelusuri atau dikerjakan tentulah ada landas an berfikirnya, dan setiap gerak lompatan yang jauh ke depan (revitalisasi) tentu diperlukan tumpuannya yang kuat. Setiap sesua tu yang eksis berdiri tentu disertai sesuatu yang menopangnya, se tiap melangkah atau berjalan pastilah membawa sesuatu bawaanberupa atau tidak berupa, seperti buah pemikiran, setiap perjalanan kehidupan tentu membawa karya-karya nyata berupa hasil-hasil kreatifitas pemikiran, karya seni atau bentuk-bentuk seni budaya la innya yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya, sebagai tanda, jejak dan bukti eksitensi mereka pada zamannya.
Adagium adat di atas mengisyaratkan penulisan liku-liku sejarah Melayu Nusantara, khususnyaMelayu Minangka bau di Sumatera tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan komunitas kerajaan-kerajaan yang silih berganti runtuh dan muncul di Pusat Pulau Perca, Sumatera pada zamannya. Pusatnya itu terletak di tengah-tengah pulau Sumatera bagian pesisir barat, ditandai dengan tiga gunung (Trikuta Nilaya) dengan Gunung Merapi sebagai puncak utamanya, terletak dalam daerah yang sekarang dikenal sebagai Pro vinsi Sumatera Barat.
Sampai kemudian timbulnya sebuah tatanan kehidupan yang bercorak khas dan spesifik. Wujud sebuah kristalisasi budaya dari pengalaman perjalanan sejarah yang panjang, membentuk sebuahbatang kebudayaan diantara berba gai rumpun kebudayaan Melayu Nusantara, yakni Melayu Minangkabau, dengan otoritas wilayahnya yang disebut “Alam Minangkabau” (disingkat AM).
3. PULAU PACO - PULAU AMEH
Dari perjalanan sejarah yang panjang tersebut, sejak sebelum Masehi sampai kepada awal-awal Masehi telah diketa hui dunia, tentang keberadaan sebuah pulau di Melayu Nusantara yang kaya dengan emas, sehingga pulau terse but dinamakan Pulau Emas, Pulau Ameh. Sejak dari kehadiran Melayu Jambi sampai ke zaman Sriwijaya, Pulau Emas yang disebut Suwarnabhumi (Bhumi Emas), yang oleh masyarakat tradisi Minangkabau lebih dikenal dengan nama Pulau Perca, Pulau Paco,kemudian bernama Pulau Andalas, Pulau Sumatera tetap saja menjadi rebutan para pemburu emas Nusantara.
Melayu Sriwijaya yang dikenal sejak abad ke 7 M tenggelam dalam pengaruh Majapahit, kemudian muncul kerajaan Dharmasraya dan bangkitnya kembali Wangsa Melayu di Kerajaan Suwarnabhumi dalam abad ke 12, mengakhiri dominasi Cola di pusat Pulau Perca, pedalaman Sumatera. Dan semuanya itu berada pada zaman keberadaan agama Hindu Budha. Sampai akhirnya daerah ini menjadi wilayah kekuasaan daulah-daulah Islam. Penduduknya merata menjadi penganut agama Islam yang taat. Namun sistem kekuasaan para daulat yang cukup lama di Sumatera, akhirnya ditinggalkan dan bergeser kepada sistem kekuasan bersama yang demokratis di bawah naungan jajaran payung Ninik Mamak Penghulu dan Raja-Raja Nagari.
Oleh karena itu pula, perjalanan kehidupan masyarakatnya, dan pranata sosial yang mengatur kehidupan mereka bergeser dari nilai-nilai warisan ajaran Hindu Budha, kemudian pindah kepada nilai-nilai tatanan sosial masyarakat yang bercorak Islami, sebagai citra wujudnya tatanan masyarakatmadani khas di Nusantara ini.
Melayu Minangkabau kemudian tampil dengan corak dan gaya pelaksanaan kebudayaannya yang spesifik dan khas. Mereka menyebut kebudayaannya sebagai Adat Alam Minangkabau (AAM), yang dalam kerhidupannya diatur, diawasi dan dikendalikan dengan tegaknya Undang, Hukum dan Tatacara Adat Istiadatnya secara utuh dan sempurna, yakni Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau (disingkat U-HAAM).
4. BATANG KEBUDAYAAN
Kebudayaan Alam Melayu Minangkabau, disebut dengan Adat Alam Minangkabau (disingkat AAM), lahir sebagai hasil dari pe ngalaman pelaksanaan proses sosialisasi terapan yang berke pan jangan dan berkesinambungan dengan berbagai produk aturan dan tatanan wilayah dan nagari masing-masing. Kemudian dikuatkan (dikewikan) dengan sendi-sendi aturan keagamaan Islam yang mera ta dianut dan diyakini masyarakatnya. Diundangkan dan dipakai sebagai adat nan kawi (adat yang kuat).
Proses sosialisasi dan pemberlakuan undang-undang kekua saan, tatanan hukum adat yang mengatur hubungan kehidupan ber sama yang harmonis, seimbang dan terarah di setiap nagari-nagari yang menjadi bagian dari wilayahnya, serta pengaturan tatanan pe laksanaan ajaran-ajaran syariat agama yang rapi, membenihkan suasana kehidupan yang nyaman, hidup berdampingan secara da mai antara satu kaum dengan kaum lainnya di bawah payung-payung kepenghuluan antara satu suku dengan suku lainnya. Cita-cita bersama untuk tujuan hakiki itu diungkapkan secara adat seba gai :
“bumi sanang padi manjadi,
anak buah bakambangan,
nagari aman santoso tibo.”
(Bumi senang padi menjadi
rakyat berkembang
negeri aman sentosa datang).
Bahkan antara satu negeri dengan negeri lain, terjalin dalam hubungan pertalian wilayah yang unik dalam konteksnya : “tagang bajelo-jelo kandua badantiang-dantiang”, tegang berjela-jela ken dur berdenting-denting, sebagai harmonisasi bentuk antisipasi atas potensi konflik yang mungkin terjadi.Hal ini dapat disimak dari berbagai status jalinan hubungan satu wilayah dengan wilayah nege ri lainnya di Alam Minangkabau, seperti jalinan hubungan :
Pariangan Nagari Asa, Padang Panjang Nagari Tuo. [2]
Luak Nan Tuo, Luak nan Tangah dan Luak Nan Bonsu.
Luak dengan Rantau dan Ujung Rantau.
Mande Solok, Bapak Salayo, kakak Guguak, adiek Koto Anau.
Ada hubungan tarik menarik yang melahirkan gerak dan getar kehidupan harmonis masyarakatnya antara komunitas yang hidup dalam wilayah satu dengan lainnya seperti hubungan Luak denganRantau bahkan hubungan itu sampai ke Ujung Rantau-nya.
Ciri dan karakter hubungan yang khas dan spesifik, memiliki akar yang kokoh dan kuat dengan cabang-cabang yang subur rim bun mendaun, menjadikan inti (benih) kebudayaan Alam Minang kabau tumbuh subur sebagai “batang kebudayaan”, bukan “cabang” atau “ranting” dari kebudayaan Rumpun Melayu. Karena setiap ba tang kebudayaan, tentulah punya akar, punya cabang dan ranting-ranting dari batang-batang kebudayaannya sendiri.
Hal ini menjadi amat penting untuk membedakannya dari pe ngertian tentang kebudayaan Melayu masyarakat pribumi yang seka rang mendiami negara-negara Malaysia, Singapura, Brunei Darus salam, dan di Indonesia sendiri. Seperti kebudayaan Melayu Riau, Jawa, Bugis, Aceh, Banjar, Batak, Sunda, dan lain-lainnya yang ter masuk kedalam jajaran Rumpun-Rumpun Melayu Nusantara.
Chairul Harun [3] memberikan keterangan tentang corak buda ya Minangkabau yang khas dan spesifik itu sebagai berikut :
a.Kebudayaan Minangkabau, adalah kebu dayaan agraris pegunungan atau dataran tinggi yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatera, bagian barat. Sedangkan kebudayaan Melayu umumnya adalah kebudayaan pesisir pantai dan kebudayaan bandar-bandar niaga.
b. Kebudayaan Minangkabau menganut sistem kekera batan Matrilineal, sementara batang - batang kebudayaan Rumpun Melayu lainnya punya sistem kekerabatan Patrilineal.
c. Manusia Minangkabau, meskipun berdiam di pegu nungan seputar kaki gunung Merapi, tetapi tidaklah hidup menyendiri.
5. SALASILAH TAMBO - KABA TAREH DAN CARITO
Kebudayaan Minangkabau, sebagai seluruh tindakan, pemi kiran, perasaan, dan perlembagaan masyarakatnya merupakan ref leksi total dari aplikasi Adat Alam Minangkabau (disingkat AAM), yang menampilkan berbagai nilai-nilai budaya yang kaya, besar dan mulia. Oleh karena itu aspek-aspek kultural yang diwarisi dan dipu sakainya, meliputi kesatuan dan persatuan keragaman nilai-nilai yang utuh secara fisikal, mental, dan spiritual, dalam hakikat pan dangan awal, akhir, lahir dan batin.
Bagaimana memahami Alam Minangkabau itu ?
Tentu saja dengan melakukan kajian-kajian tentang nilai-nilai tradisi kultural di tengah-tengah kehidupan masyarakat pendukung kebudayaannya, serta mengarifinya lewat berbagai media warisan tradisi, seperti jejak-jejak sejarah yang dilukiskan dalam adat dan limbago-limbago adat yang masih hidup, penelusuran sistem tradisi dalam mengatur keseimbangan lingkungan yang ditata dalam ben tuk konfederasi nagari-nagari dalam wilayahnya dan tinjauan berba gai pustaka litere yang menjadi acuan dan rujukan adat di setiap na gari-nagari se-Alam Minangkabau.
Acuan-acuan dan rujukan kepustakaan mereka itu berupa Tambo Alam Minangkabau (disingkat TAM) dengan berbagai versi turunannya, Silsilah Tambo Rajo-Rajo (disisngkat STRR) dengan berbagai cabang dan ranting-ranting dinasty atau kaum pesukuan mereka. Kemudian ada Kaba Tareh, dan Cerita-cerita rakyat Minangkabau yang dirangkum dalam bentuk sastra yang indah dengan berbagai untaian prosa, puisi, syair, pantun, pepatah petitih dan lain-lainnya. Dalam tradisinya dikenal umum dengan Kaba.
Kaba, diturunkan dari generasi ke generasinya, baik secara tu tur lisan lewat media-media pendidikan tradisi surau, tapian, pame danan serta sasaran pencak silat tardisi yang berkembang pada zamannya maupun yang tertulis dalam bentuk syair-syair, nazam, kaba, pidato adat, gurindam, petatah petitih, pantun dan bidal-bidal adat yang terinventarisasi oleh pemakai- pemakainya dari ka langan kaum adat, bahkan warga masyarakatnya.
a. Tambo
Ba-karih Si Katimuno
patah lai basimpai alun
ratak sabuah jadi tuah.
Jikok dibukak si Tambo Lamo
dibangkik Tareh Nan Talamun
lah banyak ragi nan barubah.
(Berkeris si Katimuno
patah ada bersimpai belum
retak sebuah jadi tuah
Jika dibuka si Tambo Lama
dibangkit sejarah yang terlamun
telah banyak warna yang berubah)
Beberapa ahli sejarah Minangkabau setelah mencoba menggali fakta-fakta sejarah dalam Tambo Minangkabau mengalami kekece waan. Kekecewaan itu, karena belum dijelaskannya kedudukan cerita, termasuk jenis cerita apa Tambo Minangkabau itu, sifat-sifat penulisannnya, dan sebagainya. Pada hal orang Minangkabau meng hargai Tambo Minangkabau (TM) sebagai pusaka litere nenek mo yangnya yang berisi sejarah.[4]
Walaupun TM dianggap tidak dapat dijadikan sumber sejarah karena kandungan ceritera sejarah yang sangat “sedikit” sekali, tidak berarti TM itu tidak mengandung cerita sejarah. Namun bila disi mak dan ditelusuri secara hati-hati, kemudian membedah Tam bo dengan pisaunya, dengan metode penelitian dan pemahaman me nurut ilmu adatnya yakni menurut sistem dan metode pendi dikan dan pengajaran warisan tradisinya sendiri, tentulah hal itu ti dak akan menjadi rumit. Berbagai kemampuan untuk menafsirkan pesan-pesan adat yang disampaikan lewat ungkapan-ungkapan metaforik, ambiguitik, dan alegorik, berupa pepatah petitih, mamang bidal, gurindam, pantun, dan syair-syair yang memiliki makna yang dalam itu, akan dapat mengungkapkan keterselubungan seja rah.
Karena ternyata TM tidak saja mengandung ajaran-ajaran falsafah adat Minangkabau[5] dengan nilai-nilai luhur nya yang tinggi dan mulia.[6] Tetapi juga pesan-pesan peristiwa sejarah yang disam paikan secara kias dan sim bolik. Karenanya juga dapat dijadikan sumber sejarah otentik dan lengkap serta tidak mudah dikesamping kan begitu saja oleh para ahli dan peneliti sejarah Melayu Nusantara di kawasan ini. Hanya karena tidak mampu menafsirkan berbagai makna simbol, kias dan ibarat yang terkandung didalamnya, baik yang tersurat, tersirat, maupun yang tersuruk, lantas menganggap nya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Hal mana disebabkan, karena selama ini banyak terjadi pemahaman dan penafsiran terhadap TM yang keliru, sehingga tidak mampu membedakan jenis, fungsi dan klasifikasinya. Datuk Tuah Sango, dalam bukunya tentang Adat Alam Mi nangkabau memberikan definisi :
“Adapun Undang-Undang itu dinamai ia undang-undang yang ta’luk kepada raja-raja, dinamakantangkis pangkat kebesaran martabatnya, ialah Tambo namanya, dan jika ta’kluk kepada segala kepala-kepala negeri yaitu penghulu-penghulu, ialah Adat Limbago namanya, dan jika ta’luk kepada sekalian orang kebanyakan, ialah Pusako namanya,…..”
Dengan perkataan lain : Tambo, ialah ilmu (kitab-pen) tangkis pangkat kebesaran martabat seorang raja atau penghulu [7]. Oleh karena itu seorang raja, atau penghulu (orang besar, pengua sa, atau pemimpin, cerdik pandai dalam adat) harus menguasai ilmu tangkis pangkat untuk dapat mengetahui latar belakang sejarah, ri wayat yang membentuk watak, corak dan karater masyarakatnya disertai undang-undang yang mengatur tata kehidupan masyarakat di wilayah otonom kekuasaannya.
Itulah sebabnya TM juga memiliki keragaman yang khas, tidak mengutamakan nilai-nilai sejarah yang utuh dalam uraiannya, kecua li catatan-catatan penting menyangkut wilayah adatnya sendiri. Sesuai dengan dengan arti kosakata Tambo itu sendiri yang berasal dari kata tanbih yang artinya : catatan yang perlu (penting) diper hatikan.
Dengan demikian isi TM secara umum wajarlah hanya berupa rumusan-rumusan dan kesimpulan-kesimpulan asal-usul, undang-undang hukum adat dan peraturan pelaksanaannya, yang dapat dija dikan pegangan atau rujukan untuk mengingat-ingatkan bagi seo rang pemimpin, pemangku adat, atau raja di Alam Minangkabau, yang sebenarnya juga paham dengan isi Tambo itu.
Oleh karena itu pula TM memiliki banyak jenis atau variasi nya, sesuai dengan kepentingan, tujuan, dan maksud penulisan Tam bo itu oleh penulis atau si pencatatnya sendiri.
Dalam rumusannya, Edward Djamaris (1989), menjelaskan sebagai berikut :
“TM merupakan sumber pengetahuan yang berharga yang memberikan gambaran Minangkabau masa lalu yang dapat membantu kita mengetahui kepercayaan, pandangan hidup, cara berfikir, adat istiadat, dan seba gainya. Hanya dengan mengetahui latar belakang, kedu dukan, jenis, dan tujuan penulisan TM baru dapat diguna kan sebagai sarana untuk penelitian ilmiah bukan sastra, seperti sejarah, antro pologi, dan sosiologi”. [8] Selanjutnya dikatakan :
“Tidak dapat disangkal bahwa TM disusun setelah masuk nya agama Islam ke Minangkabau. Unsur-unsur agama Islam dalam TM segera terlihat dari tanda-tanda yang terdapat dalam teks TM. Tanda ini dapat dianggap kon vensi sastra pengaruh Islam.” [9]
Agama Islam ternyata membawa perubahan-perubahan baru secara total dan terus menerus ke seluruh wilayah pusat pulau Perca (Sumatera bagian tengah) yang waktu itu belum bernama resmi sebagai Alam Minangkabau. Aturan-aturan atau norma-norma agama Islam tentu saja ada yang tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan lama, bahkan ada yang bertentangan dengan hukum-hukum adat yang diwarisi sejak dahulunya. Hal ini menimbulkan berbagai konflik yang berkepanjangan dan mencapai puncaknya dengan timbulnya perpecahan dikalangan istana dan keluarga sendiri. Akibatnya berbagai informasi sejarah dan peristiwa peristiwa masa lalu yang pantas diketahui ternyata juga menjadi hilang, tenggelam dalam kabut.
b. Jenis-Jenis Tambo Minangkabau
Pada hal untuk mendapatkan gambaran sederhana tentang Tambo Tambo Minangkabau sesuai dengan fungsi, jenis, dan tujuan nya, harus dipahami terlebih dahulu tujuh klasifikasi Tambo Minang kabau, yakni :
1. Tambo Asa
2. Tambo Alam
3. Tambo Sulthan Nan Salapan
4. Tambo Silsilah Rajo Rajo
5. Tambo Adat
6. Tambo Nagari
7. Tambo Kaum
Kalau demikian, apakah sebenarnya yang disebut dengan Tam bo Minangkabau menurut pemahaman orang Minangkabau?
Tambo, berasal dari kata Arab tanbih yang artinya Catatan yang perlu diperhatikan. Dari kata tanbihmuncul kata tambo di Minangkabau, yang maksudnya catatan berkenaan dengan Undang-Undang yang takluk kerpada Raja-Raja, yang menjadi tangkis pang kat kebesaran martabatnya. [10]. Dengan perkataan lain, Tambo ialah catatan tentang ilmu tangkis pangkat kebesaran martabat seorang Raja.
Seorang pemimpin atau raja di Minangkabau sebagai pengua sa wilayah wajib bagi dirinya untuk menguasai pengetahuan yang telah disarikan ke dalam berbagai TM. Tambo-Tambo Minangkabau itu jelas merupakan kepustakaan khusus yang jadi pegangan seo rang pemuka adat, raja atau sulthan yang akan diturun wariskan kepada anak kemenakannya dari generasi ke generasi. Karena itu tidak boleh jatuh ke sembarangan orang, untuk tidak di salah guna kan. Karena sifat kerahasiaannya, kadang-kadang Tambo dianggap sakral oleh masyarakat nagari, suku atau kaum-kaum yang mewarisi nya.
b. Kaba Tareh dan Curito
Penulisan sejarah di Indonesia, tidak selalu hanya berdasarkan peninggalan-peninggalan berupa candi, prasasti, atau batu-batu bertulis lainnya, tetapi juga bersumber dari karya-karya para pujangga masa lalu, seperti Babad, Hikayat, Silsilah Raja-Raja, Kronik-kronik, dan berita-berita tentang berbagai peristiwa masa lalu dengan keaneka ragaman versi, bentuk, dan gaya penyajianya. Dan ini tidak saja digunakan oleh penulis-penulis sejarah bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh para penulis bangsa asing.
Disamping itu, juga tidak tertutup kemungkinan, catatan-catatan peristiwa masa lampau itu telah menjadi darah daging kehidupan tradisi yang oleh para tetua diturun wariskan dari generasi ke generasi berikutnya lewat penuturan secara lisan. Tetua tersebut tentulah para ahli tutur pula. Penuturan dilakukan dalam lingkungan yang akrab, dalam keluarga istana, balai-balai adat, tapian, sasaran, atau di lubuk-lubuk kajian tradisi pada zamannya. Dengan maksud memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada keluarga, anak kemenakan mereka.
Berbagai kisah dan peristiwa sejarah dituturkan untuk mengambil pelajaran dan hikmah. Kemampuan bertutur berkembang menjadi kemampuan berkisah atau berhikayat tentang berbagai peristiwa sejarah yang telah disusun dan dibungkus rapi, dalam jalinan sastra yang indah, penuh dengan kias dan ibarat. Para penutur ini dalam sejarah Melayu disebut Pembaca Ciri. [11] Orang Melayu Islam menyebutnya pembaca Syair. Diantara syair-syair yang dibacakan itu terdapat Syair Maulud Nabi yang menceritakan sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw. Disamping ahli Syair di Minang kabau juga terdapat Tukang Kaba.
Tukang Kaba menjalin kisah dengan bahasa berirama, prosa liris, syair, pantun, dan gurindam-gurindam yang dilagukan, didendangkan dengan merdu, sehingga penikmatnya menjadi betah mendengarkannya. Karena dendang yang bagus, jadilah ia sebagai tukang dendang. Ketika alat musik ditonjolkan untuk mendukung irama seperti biola atau rabab, saluang maka jadilah ia sebagai tukang biola, tukang rabab, atau tukang saluang. Begitupun ketika variasi kaba yang didendangkan dengan iliustrasi gurauan dalam cerita, maka bentuk dan “isi” bakaba yang benar hilang ditelan acara bagurau. Pada hal bakaba itulah isi acara yang pokok. Karena kaba akan menceriterakan kisah-kisahnya sesuai dengan jenis kaba itu sendiri.
Misalnya Kaba Tareh Kaba Pusako yang menceriterakan peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu di Minangkabau, sekarang sudah tidak dikenal lagi. Kaba Tareh Kaba Pusako sudah menjadi barang langka. Pada hal Minangkabau itu memiliki dan mewarisi Kaba Pusako yang harus disampaikan kepada masyarakat pewaris -nya. Tukang Kaba sekarang, hanya mampu mendendangkan Kaba Curito Urang Kini, dan jarang sekali yang masih menguasai Kaba Curito Urang Daulu, apalagi Kaba Tareh yang menjadi Kaba Pusako Minangkabau. Apakah Kaba Tareh ?
Tareh berasal dari kata Tawarikh yang berarti sejarah. Asal kata itu tarikh dari kata Arab, yang berarti perhitungan tahun. Jadi Kaba Tareh adalah Karya Sastra Minangkabau yang mengandung ceritera sejarah. Dengan perkataan lain, Kaba Tareh adalah Cerita Sejarah yang dibungkus dalam jalinan sastra yang indah, penuh kias dan ibarat alami. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang ambi -guitik, metaforik, figuratif, alegorik, dan lain-lainnya. Kaba ini memakai bahasa berirama dan penyajiannya dilakukan dengan dendang atau rabab. ((Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Dimana penulis ikut hadir sebagai peserta-utusan “dunia persilatan” IPSI Sumatera Barat dalam rangka Festival Silat Nusantara Ke-II, 21-27 Desember 1995, Selangor Malaysia).
[2] Hubungan ini diungkapkan dalam petuah Adat sebagai rumusan yang mengatur kehidupan lingkungan mereka, dan secara tradisi, pemikiran dasar hubungan kebudayaan itu tetap berlaku sampai hari ini,m bahkan esok.
[3] Chairul Harun, 1995. Makalah.
[4] Edward Djamaris, 1980 : 1. Makalah
[5] Nasroen, 1957
[6] Hal ini menurut Prof. Nasroen, Ibid. 1957, juga mengungkapkan struktur pranata sosial dan sejarahnya dengan gaya bahasa dan seni sastra yang tinggi.
[7] Ilmu Tangkis Pangkat inilah yang dimaksud oleh Guru Tuo Silat pada pengantar tulisan ini. Seorang yang akan jadi pemimpin atau raja di Minangkabau harus menguasai ilmu bela diri /ilmu penangkis serangan berkenaan martabat seorang pemimpin atau raja. Menuntut ilmu Tangkis Pangkat inilah yang oleh Tambo juga dikiaskan menyebutnya sebagai “Basilek Di Pangka Karih, Mamancak Di Mato Padang”.
[8] Edaward Djamaris, 1989.
[9] Edward Djamaris, 1989. Ibid. hl.
[10] Datuk Tuah, Tambo Alam hal. 9
[11] Emral Djamal, 1989. Ranji Silsilah Keturuan Kerajaan Kesultanan Indrapura. Naskah peninggalan bekas kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Selatan. Dalam keterangan tentang struktur kerajaannya, terdapat bagian teks yang menyebutkan jabatan sebagai Pembaca Pau-pau, Pembaca Sejarah Sultan-sultan.
* Emral Djamal: Mantan anggota Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB -1993-1996). Pengasuh Grup Kajian Tradisi Minangkabau pada Komunitas Salimbado-Padang - Pengasuh Rubrik “Taruko” pada Suara Afta Tabloid Pertanian - Univ Andalas. Majelis Pakar pada Pengrov. IPSI Sumatera Barat Padang. Sering Memangkal di Taman Budaya Padang. Penulis Lepas
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×