Oleh : Boy Yendra TaminImplementasi asas desentralisasi (otonomi daerah) dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia boleh disebut sebagai masih mencari bentuknya yang ideal
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
Implementasi asas desentralisasi (otonomi daerah) dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia boleh disebut sebagai masih mencari bentuknya yang ideal. Hal itu tentu saja bukan semata-mata berkenaan dengan pilihan-pilihan atas dasar pertimbangan teori, tetapi bisa jadi dilatar belakangi dinamika politik dan kekuasaan. Tarik menarik kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah masih menggejala pasca diundangkannya UU No 22 Tahun 1999. “Spaning” antara pemerintah pusat dan daerah muncul dalam “rupanya” yang lain jika dibandingkan dengan beberapa dasarwarsa yang lalu, hal itu setidaknya tercermin dari digagasnya kembali perubahan atas UU No 32 tahun 2004.
Menurut B.C. Smith secara lexicografis desentralisasi berarti merubah konsentrasi di satu pusat dan memberi kekuasaan pemerintahan setempat.[1] Pengertian itu menangkap gagasan desentralisasi sebagai gejala politik yang meliputi administrasi dan pemerintahan. Desentralisasi meliputi delegasi kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam hirarkhi teritorial. Desentralisasi meliputi sub pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil dan dibentuk lembaga-lembaga politik dan administratif di daerah tersebut.
Bahkan negara-negara yang paling kecil pun mempunyai semacam pemerintahan lokal dengan suatu tingkatan otonomi. Desentralisasi tidak saja dipandang sebagai penolakan terhadap pemerintahan yang sentralistik, tapi lebih dari pada itu. Susunan organisasi yang bercorak desentralistik mempergunakan desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi, dan dapat dijumpai baik pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal. Keperluan akan desentralisasi tidak selamanya muncul oleh desakan-desakan atau sebagai respon atas tuntutan politik yang dilokalisir untuk otonomi yang lebih besar, atau pun menggunakan desentralisasi sebagai energi untuk mengatasi ketidakstabilan politik yang terancam gerakan pemisahan dan tuntutan akan otonomi regional.
Di lain pihak memang terlihat adanya gejala tuntutan akan desentralisasi dilatar belakangi oleh berbagai alasan, seperti kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, pemerataan dan kesenjangan hak-hak antara kelompok minoritas dan mayoritas. Bisa juga karena alasan lain sebagaimana dikemukakan W. Bonney Rust (1969), bahwa pemerintahan yang sentralistik menjadi kurang populer karena ketidak mampuan untuk memahami secara tepat nilainilai daerah atau sentimenaspirasi lokal.[2.] Dan adakalanya tuntutan akan otonomi merupakan keinginan dari pendiri negara atau merupakan amanat dari konstitusi suatu negara, sebagaimana halnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia Artinya, desentralisasi (otonomi) di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lahir sebagai reaksi atas ketidakpuasan Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pun otonomi bukan merupakan tuntutan dari Daerah. Sebaliknya, Daerah-daerah justru dituntut Pemerintah Hindia Belanda untuk mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yakni dengan dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903. Meskipun semangat dan materi, maupun muatan Decentralisatie Wet 1903 berbeda dengan konsepsi otonomi daerah yang sekarang dipratekan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tuntutan dan Nilai Otonomi Di Indonesia.
Berdasarkan UUD 1945, maka di Indonsia pembentukan daerah otonom merupakan tugas konstitusional. Pembentukan daerah otonom itu bukan hanya hak dan wewenang Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Pemberian otonomi kepada Daerah tidak boleh diartikan hanya terserah kepada Presiden atau dianggap sebagai hak pererogatif. Hak Presiden adalah dalam penjabarannya, bukan mengenai dasar pokok adanya tugas dan wewenangnya.[3] Dalam hubungan ini pemberian otonomi kepada Daerah tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang mendasari dianutnya asas desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia sebagai negara kesatuan.
Bahwa desentralisasi sering diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam birokrasi dan komunikasi antara pelaksana operasional dengan perencanaan nasional di tingkat Pusat. Secara teoritis desentralisasi itu sewajarnya memberikan diskresi yang lebih luas kepada para "manajer"di tingkat daerah sehingga dapat memutuskan rantai hirarkhi yang terlalu panjang, berliku-liku (Rondinelli dalam Ateng Syafrudin;16).[4]
Di Indonesia menurut Gerald S. Maryanov soal desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni:
penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara.
- penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan.[5]
Dari sudut pandang yang pertama maka yang menjadi masalah adalah "desentralisasi", sedangkan dari sudut pandang yang kedua yang menjadi masalah ialah "Otonomi Daerah", yang merupakan masalah-masalah yang menonjol semenjak Indonesia me-raih kemerdekaannya tahun 1945.
Dari sisi Hukum Tata Negara (khususnya teori bentuk negara) otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state enheidstaat). Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara Kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi. Berdasarkan landas batas tersebut dikembangkanlah berbagai aturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesa-tuan dan tuntutan otonomi. Di sini pulalah letak kemungkinan "spaning" yang timbul dari kondisi tarik menarik antara kedua kecenderungan tersebut.
Dari perkembangan pelaksanaan Otonomi Daerah di, tuntutan akan otonomi Daerah memperlihatkan adanya semacam salah kaprah dalam pemahaman tentang otonomi daerah. Beberapa pengalaman yang pernah mengancam integrasi nasional suatu negara yang bermula dari tuntutan berotonomi telah menempatkan otonomi di bawah prasangka sehingga perlu diawasi, dikendalikan dan dikekang.
Pergolakan daerah di Tanah Air kita pada masa lalu oleh berbagai kalangan dipandang sebagai bersumber dari masalah-masalah otonomi. Jalan pikiran ini antaranya dapat ditemukan dalam Penjelasan Umum UU No. 5/1974 yang menyatakan bahwa:
"Sedang istilah "seluas-luasnya" tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pe-ngalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara."
Sinyalamen Penjelasan UU No. 5/1974 di atas menimbulkan pertanyaan, apakah yang diartikan dengan otonomi yang seluas-luasnya sepanjang otonomi itu dipahami sebagai fenomena atau subsistem negara kesatuan. Apakah dalam perjalanan Republik Indonesia otonomi seluas-luasnya pernah dilaksanakan dan pelaksanaan tersebut mewujudkan keadaan yang kurang diharapkan ?
Desentralisasi yang dianut di Indonesia adalah desentralisasi territorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan.[6] Otonomi mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan tugas pembantuan adalah tugas untuk membantu - apabila diperlukan - melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (undang-undang dan peraturan pemerintah).[7] Pandangan yang melihat desentralisasi meliputi delegasi kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah di dalam hirarkhi territorial, apakah hirarkhinya adalah hirarkhi pemerin-tahan di dalam suatu negara atau kantor dalam organisasi dalam skala besar, maka pandangan itu mengacu kepada desentralisasi politik. Desentralisasi politik tidak lain dari desentralisasi teritorial karena faktor "daerah" menjadi salah satu unsurnya.
Di Indonesia konsepsi mengenai desentralisasi hanya berbentuk desentralisasi territorial. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 huruf (b) UU No. 5/1974 yang menyebutkan:
"Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya."
Dalam pengertian lain desentralisasi pemerintahan berintikan pembagian tugas pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan negara. Pembagian tugas itu dilengkapi dengan pembagian kekuasaan dalam konteks pengertian negara berasaskan hukum wewenang. Karena kekuasaan itu diberi dasar dan pembatasan oleh hukum, karenanya kekuasaan harus tunduk pada hukum.[8] Meskipun demikian Hans Kelsen mengemukakan:
"However, speak of decentralization only if the organization is carried out according to the territorial principle, if the norm of legal order are diffrenttiated with respect to their territorial sphere of validity, althought the differentiation with respect to their personal sphere of validity has a smilar effect. These territorial sphe-re of validity of the local norm are often called provinces, and decentralization thus implies the existence of province. [9]
Desentralisasi menurut Kelsen adalah salah satu bentuk organisasi Negara. karena itu pengertian desentralisasi berkaitan dengan bentuk negara. Negara menurut Kelsen adalah tatanan hukum (legal order). Jadi desentralisasi itu menyangkut sistem tatanan hukum dalam kaitannya dengan wilayah negara. Tatatan hukum desentralistik menunjukan ada berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada bagian-bagian wilayah yang berbeda. Ada kaidah yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada kaidah yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang disebut desentral atau kaidah lokal. Tatanan hukum desentralistik yang dikaitkan dengan wilayah sebagai lingkungan tempat berlakunya hukum secara sah, disebut Hans Kelsen sebagai konsepsi statis dari desentralisasi.[10]
Sementara itu menurut B.C. Smith, secara lexicografis desentralisasi berarti merubah konsentrasi di satu pusat dan memberi kekuasaan pemerintahan setempat.[11] Pengertian itu menangkap gagasan desentralisasi sebagai gejala politik yang meliputi administrasi dan pemerintahan. Desentralisasi meliputi delegasi kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam hirarchi teritorial. Desentralisasi meliputi sub pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil dam dibentuk lembaga-lembaga politik dan administratif di daerah tersebut.
Dari pemahaman terhadap desentralisasi tersebut, maka perlunya suatu bentuk desentralisasi ternyata universal. Bahkan negara-negara yang paling kecil pun mempunyai semacam pemerintahan lokal dengan suatu tingkatan otonomi. Dengan demikian desenralisasi tidak saja dipandang sebagai penolakan terhadap pemerintahan yang sentralistik, tapi lebih dari pada itu. Susunan organisasi yang bercorak desentralistik mempergunakan desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi, dan dapat dijumpai baik pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal. Keperluan akan desentralisasi tidak selamanya muncul oleh desakan-desakan atau sebagai respon atas tuntutan politik yang dilokalisir untuk otonomi yang lebih besar, atau pun menggunakan desentralisasi sebagai energi untuk mengatasi ketidakstabilan politik yang terancam gerakan pemisahan dan tuntutan akan otonomi regional.
Di lain pihak memang terlihat adanya gejala tuntutan akan desentralisasi dilatar belakangi oleh berbagai alasan, seperti kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, pemerataan dan kesenjangan hak-hak antara kelompok minoritas dan mayoritas. Bisa juga karena alasan lain sebagaimana dikemukakan W. Bonney Rust bahwa pemerintahan yang sentralistik menjadi kurang populer karena ketidak mampuan untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen-aspirasi lokal.[12]
Adakalanya tuntutan akan otonomi merupakan keinginan dari pendiri negara atau merupakan amanat dari konstitusi suatu negara, sebagaimana halnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia Artinya, desentralisasi (otonomi) di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lahir sebagai reaksi atas ketidak-puasan Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pun otonomi bukan merupakan tuntutan dari Dae-rah. Sebaliknya, Daerah-daerah justru dituntut Pemerintah Hindia Belanda untuk mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yakni dengan dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903. Meskipun semangat dan materi, maupun muatan Decentralisatie Wet 1903 berbeda dengan konsepsi Otonomi Daerah yang sekarang dipratekan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi (otonomi) yang diselenggarakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling kurang ada lima faktor yang mendasarinya, yakni:
Keanekaragaman bangsa Indonesia dengan sifat-sifat istimewa pada berbagai golongan, tidak memungkinkan pemerintahan diselenggarakan secara seragam.
- Wilayah Indonesia yang berpulau-pulau dan luas dengan segala pembawaan masing-masing, memerlukan cara-cara penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari berbagai pulau tersebut.
- Desa dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu sendi yang ingin dipertahankan dalam susunan pemerintahan negara.
- Pancasila dan UUD 1945 menghendaki suatu susunan pemerintahan negara yang demokratis. Desentralisasi adalah salah satu cara mewujudkan tatanan demokratis tersebut.
- Efisiensi dan efektivitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Re-publik Indonesia yang luas dan penduduk yang banyak dan beragam memerlukan suatu cara penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin efisiensi dan efektivitas.
Dengan demikian jelaslah, bahwa penyelenggaraan otonomi daerah di Negara Republik Indonesia tidak semata-mata merupakan gejala politik dan atau sebagai suatu respon atas tuntutan politik. Kalau pun gejala tersebut terlihat ada, maka harus diartikan sebagai pemenuhan atas tuntutan Daerah terhadap Pemerintah Pusat untuk memberikan otonomi pada Daerah guna menangkap sentimen -aspirasi- lokal yang sukar diketahui Pusat secara lebih nyata.
Karena itu tidaklah selalu benar dalam menentukan dan memberikan respon yang cukup terhadap tuntutan Otonomi Daerah tergantung pada seberapa besar represi yang dialami di masa lalu. Dalam kenyataannya penyelenggaraan desentralisasi (otonomi) di beberapa negara tidak selalu bertolak dari tingkat represi masa lalu. Sebaliknya, justru merupakan suatu pemenuhan dari sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, atau karena faktor-faktor perbedaan-perbedaan geografis dari wilayah-wilayah negara, kultur atau sebagai konsekuensi dari prinsip negara kesejahteraan yang membutuhkan pelayanan terhadap masyarakat daerah suatu negara.
Ditinjau dari dasar kemajemukan atau dasar-dasar yang lain desentralisasi (otonomi daerah-pen) di Indonesia bukan sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi. Desentralisasi tidak terlepas dari tujuan membentuk pemerintahan Negara Republik Indonesia, yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu pemikiran akan desentralisasi di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal itu sebagaimana pernah diungkapkan Moh. Hatta pada tahun 1923, sebagai berikut :
"Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil atau pun besar, mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri." [14]
Sekarang pun dibanyak negara tengah berupaya merumuskan suatu mekanisme desentralisasi yang sesuai dengan kebijaksanaan dan sistem pemerintahan dari masing-masing negara. Pada kurun waktu 1970-an sampai 1980-an negara-negara berkembang tampak mulai melakukan suatu penjajakan terhadap kebijaksanaan desentraslisasi perencanaan dan manajemen pembangunan. Dan kebijaksanaan tersebut tidak hanya menjadi monopoli negara-negara berkembang , tetapi juga pada negara-negara maju.
Dengan demikian, desentralisasi tidak hanya dipandang sebagai suatu gejala politik yang meliputi administrasi dan pemerintahan, atau timbul karena alasan administrasi praktis, atau pun sebagai respon atas tuntutan politik yang dilokalisir untuk otonomi yang lebih besar. (Bersambung)
* Update dari tulisan yang berjudul :Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia