MAKASSAR -- Terlepas akan terbukti atau tidaknya Meirika Franola alias Olla mengendalikan jaringan narkoba dari dalam penjara, polemik terkait narapidana yang baru saja mendapat grasi dari hukuman mati ini harus menjadi pintu masuk untuk melecut perbaikan kinerja jajaran Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Gerakan anti telepon genggam, pungutan liar, dan narkoba, mendapatkan momentum dari kasus ini.
"Kasus Olla ini adalah contoh kuat kenapa kita harus melakukan review mendasar atas tugas kita," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, pada penutupan semiloka sosialisasi standar pelaksanaan tugas pemasyarakatan, di depan jajaran pemasyarakatan se-Sulawesi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (10/11/2012). Olla baru saja mendapatkan grasi dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup tanpa pengurangan, ketika seorang kurir narkoba yang tertangkap di Bandung, Jawa Barat, mengaku pengiriman barang yang dibawanya dikendalikan Olla dari dalam penjara.
Grasi, ujar Denny, sudah melewati proses panjang, dengan fakta dan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberian grasi Presiden diatur dalam konstitusi, dengan pendapat dari Mahkamah Agung. Dalam kasus Olla, pertimbangan bahkan juga diminta dari kabinet, seperti dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, serta Jaksa Agung.
Tapi, imbuh Denny, Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran Direktorat Jendral Pemasyarakatan tetap saja harus merasa ikut bertanggung jawab. "Bukan pada pemberian grasinya, tetapi pada dugaan masih saja ada jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara," tegas Denny.
Kalau memang informasi dari kurir narkoba yang tertangkap tersebut benar, dapat dipastikan Olla memiliki setidaknya peralatan komunikasi atau akses untuk menjalin komunikasi keluar. Bila sampai ada alat komunikasi atau akses untuk mengendalikan jaringan tersebut, patut diduga suap juga terjadi.
"(Yang mana pun) pasti tidak akan terjadi kalau anti-halinar benar-benar ditegakkan," tegas Denny. Anti-halinar adalah penyebutan yang dimunculkan Denny untuk gerakan anti-telepon genggam (HP), pungutan liar (pungli), dan narkoba. Pertanggungjawaban yang harus diambil Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran pemasyarakatan adalah masih adanya peluang bagi narapidana melakukan pelanggaran semacam ini.
Olla dan Semiloka Pemasyarakatan
Heboh kasus Olla berbarengan dengan berlangsungnya serial semiloka sosialisasi standar pelaksanaan tugas pemasyarakatan. Semiloka di Makassar, adalah seri keempat dari enam penyelenggaraan yang direncanakan. Semiloka mengkaji dan merumuskan ulang beragam prosedur standar pengelolaan pemasyarakatan, dengan prioritas pada pengawasan dan perumusan indikator pemberian hak narapidana.
Termasuk dalam pembahasan semiloka adalah membangun mekanisme whistle blowing system, untuk mengoptimalkan pengawasan baik dari internal pemasyarakatan, warga binaan, maupun masyarakat. "Mendorong deteksi dini pelanggaran di dalam rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan," ujar Denny. Kalaupun petugas tidak tahu atau bahkan terlibat, menurut dia pasti ada narapidana lain yang tahu bila ada narapidana memiliki telepon genggam apalagi narkoba. Mekanisme ini juga bakal disinergikan dengan pengawasan eksternal, bersama instansi lain seperti Ombudsman.
Sementara untuk penentuan indikator pemberian hak narapidana, dari remisi hingga pembebasan bersyarat, diperketat. Pengetatan indikator antara lain berupa penentuan kriteria berkelakuan baik. Selama ini kriteria berkelakuan baik lebih banyak didasarkan pada ada atau tidaknya keterlibatan narapidana dalam persoalan fisik, seperti perkelahian.
Rumusan baru, akan memasukkan pelanggaran seperti kepemilikan telepon genggam sebagai pelanggaran berat, yang akan memasukkan narapidana bersangkutan dalam catatan Register F. Bila narapidana tercatat dalam Register F, dalam rentang waktu tertentu tidak akan mendapatkan hak pengurangan hukuman.
Keberadaan tamping di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, juga menjadi bahan pembahasan utama. Denny menyebutkan, ada indikasi tamping yang memiliki akses khusus dalam aktivitas pengelolaan pemasyarakatan, rentan menjadi penghubung dalam transaksi terkait narkoba, baik di dalam maupun di luar penjara. Tamping adalah narapidana yang dinilai berkelakuan baik, istilah yang muncul dari zaman penjajahan Belanda, yang kemudian diperbantukan untuk ikut mengelola operasional keseharian para tahanan dan narapidana.
Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, juga mengembangkan sistem database pemasyarakatan (SDP). Seluruh rekam jejak narapidana, dari catatan kasus yang pernah dilakukan, kesehatan, hingga penempatan dan mutasi selama menjalani hukuman, akan terkonsolidasi di dalam sistem ini. "Akan menjadi rujukan ketika narapidana akan diusulkan mendapatkan hak peringanan hukuman. Meminimalkan subjektivitas, dibangun berdasarkan data," kata Direktur Infokom Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Haru Tamtomo.
Sumber: depkumham.go.id/berita-utama/1591 I humas I 12 November 2012