Sebuah dokumen atau surat lazimnya dibubuhi ditanda tangani oleh orang yang membuatnya atau berwenang sebagai sebuah bentuk tanggung jawab hukum. Pembubuhan tanda tangan pada sebuah dokumen atau surat itu baik yang berasal dari suatu instansi atau pun berupa surat dari perseorangan tentu bukan sekedar hiasan belaka, namun mempunyai makna legali serta sekaligus meunjukkan pertanggung jawaban secara hukum. Karena itru seringkali dianjurkan seseorang harus berhati-hati dan diminta untuk membaca terlebih dahulu sebelum menanda tangani sebuah surat atau dokumen.
Pada sebuah surat atau dokumen yang dibuat, selain yang membuat membububuhkan tanda tangan, dalam kenyataannya tidak semua orang bisa membuat tanda tangan. Sehingga bagi orang yang tidak bisa membuat tanda tangan itu, agar orang bersangkutan memberikan tanda tanggung jawabnya, maka kepadanya dibolehkan dengan membubuhkan cap jempol pada surat atau dokumen yang dibuat.
Terkait dengan penggunaan cap jempol itu dalam hukum acara perdata, Pengugat yang tidak dapat menulis dapat membubuhkan cap jempol diatas surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan (handtekening), akan tetapi agar benar sah sebagai tanda tangan haruslah memenuhi syarat formil yaitu cap jempol tersebut harus dilegalisasi oleh penjabat yang berwenang seperti camat,hakim atau panitera. (H.Yahya Harahap 2005;Hukum Acara Perdata). Bahwa oleh dikarenakan Penggugat I (Khadijah) dalam surat gugatannya menggunakan Cap Jempol yang tidak dilegalisir oleh pihak yang berwenang, maka gugatan yang demikian telah tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan. Persoalannya, apakah adanya pengesahan (legalisasi dari pejabat yang berwenang itu menjadi perhatian bagi hakim yang memeriksa suatu perkara ketika ada gugatan yang ternyata si penggugat hanya membubuhkan cap jempolnya pada surat gugatan ? (dh-1)