Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Tindak Pidana Korupsi Dikalangan Pejabat Pemda

Oleh: RIFKA ZUWANDA, S.H.

Program Pasca Sarjana Magister Hukum Univ Bung Hatta

Pembicaraan seputar birokrasi memang tidak ada habisnya karena sering dibicarakan oleh berbagai kalangan baik akademisi, politisi,  mahasiswa, LSM maupun akar rumput & pembicaraan tersebut sering muncul dalam forum-forum diskusi, seminar, debat publik, dialog maupun di warung kopi & sebagainya,  sebaliknya terhadap birokrasi tersebut maka Presiden juga merupakan salah satu dari Birokrasi dalam sistim Pemerintahan Republik Indonesia yang mana salah satu tugas dan tanggung jawab Presiden adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Bahwa semua pemimpin bangsa baik Presiden, Menteri, Kepala Daerah maupun pemimpin yang lainnya yang tampil memimpin negeri ini selalu mempunyai tekad dan cara yang jitu untuk memberantas korupsi, namun harapan akan bebasnya negara Indonesia dari kejahatan korupsi tetap saja tidak terpenuhi oleh pemimpin tersebut. Alih-alih korupsi akan berakhir, berkurang saja masih sangat sulit untuk dicapai.  Lihat saja, korupsi selalu menjadi "kanker ganas" yang menggerogoti semua bidang kehidupan, baik di eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Kondisi ini tentu saja sangat mengagetkan semua pihak,  karena banyaknya korupsi yang terjadi menandakan semua aturan Undang-Undang (UU) dan Pasal-Pasal dalam KUHP atau pun aturan-aturan hukum lainnya tidak lagi berfungsi sama sekali. Padahal Pasal-Pasal atau aturan tersebut memberikan sanksi hukum yang cukup berat dan tegas bagi pelakunya. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Undang-Undang Korupsi No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No: 20 Tahun 2001 pasal 2 atau 3.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp l.000.000.000,00 (satu milliar rupiah)"

Sedangkan Pasal Ayat (2) berbunyi :

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".

Pasal 3 UU tersebut berbunyi,

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun & paling lama 20 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) & paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu milliar rupiah)"

Jika kita lihat aturan Pasal dalam UU di atas maka pelaku korupsi di Indonesia sebenarnya diberikan ancaman hukuman yang cukup maksimal atau berat, bahkan dengan ancaman hukuman mati, namun putusan akhir pengadilan selalu menjatuhkan hukuman ringan yaitu hanya beberapa tahun saja yaitu (1 s/d 5 tahun) & potong masa penahanan termasuk kalau telah menjalani hukuman 2/3 dari putusan hakim yang sudah inkrah maka terdakwa dapat mengajukan pembebasan bersyarat (PB)  bahkan sebaliknya ada yang bebas dari jeratan hukum (sepanjang berdasarkan fakta-fakta hukum  di persidangan tidak terpenuhinya unsur-unsur dari pasal yang didakwakan).

Rendahnya sanksi hukum dan tidak adanya titik akhir yang memuaskan rasa keadilan masyarakat atas pemeriksaan dan penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi maka tentu saja semakin membuat oknum-oknum atau orang-orang yang suka korupsi semakin bebas untuk melakukan aksinya, sehingga hal tersebut pada akhirnya akan selalu mengukuhkan Indonesia sebagal negara terkorup.

Hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa pada tahun 2002 meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 4 di dunia.  Satu tahun kemudian peringkat Indonesia naik dan berada di urutan ke-6. Artinya, dari 133 negara yang diteliti pada tahun 2003, Indonesia masih tetap bertengger di papan atas sebagai negara paling korup di muka bumi.  Pada tahun 2004 kembali hasil survei tahunan Lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) mencatat Indonesia masih ditempatkan sebagai negara tertinggi tingkat korupsinya disamping negara Pilipina,Korea Selatan dan Thailand.

Untuk tahun 2007, hasil survei yang dirilis Transparency International menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebesar 2,3 dan berada di urutan 143 dari 180 negara yang disurvei. Posisi Indonesia berada satu level dengan Rusia, Gambia, dan Togo.

Sementara jika dibanding negara lain di kawasan ASEAN, Indonesia berada dalam posisi paling korup ketiga setelah Myanmar (indeks 1,4) dan Kamboja (2,0).  Sementara Filipina masih sedikit lebih bersih dengan indeks 2,5, Vietnam (2,6), Timor Leste (2,6), Thailand (3,3), Malaysia (5,1), dan Singapura (9,1). Tahun 2007, Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga sebagai negara yang nyaris tanpa korupsi dengan indeks 9,4.

Bahwa berdasarkan hal tersebut maka selama ini Birokrasi  Pemerintahan Daerah  yang ada justru semakin menyuburkan praktik-praktik yang tidak terpuji dengan melakukan Korupsi secara terang-terangan, lihat saja banyak para Birokrat seperti Gubernur, Walikota, Bupati, Politisi  dan bahkan Menteri sering terindikasi melakukan praktek Korupsi, sehingga secara umum tidak dapat di pungkiri kondisi birokrasi Indonesia pada saat sekarang masih jauh dari harapan & cita-cita luhur untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

semakin suburnya Pemerintahan Daerah melakukan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Bahwa kejahatan terhadap Tindak Pidana Korupsi sangat sulit untuk diberantas sehingga menyebabkan :

  1. Semakin sulitnya rakyat untuk mendapatkan fasilitas hidup baik sandang, pangan maupun papan yang sudah disediakan & dijanjikan oleh Negara sesuai dengan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

  2. Semakin memburuknya perekonomian sehingga menjadi penghalang dalam upaya mengurangi kemiskinan & juga membuat sarana & prasarana untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Rusaknya semua sistem & sendi kehidupan berbangsa, bernegara & bermasyarakat sehingga gagalnya sistem demokrasi yang dibangun.
Bahwa terlepas dari hal diatas maka penyebab semakin subur & berkembangnya  Pejabat Pemerintah Daerah sebagai pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah :
  1. Adanya kesalahan dari pola pengangkatan & penerimaan baik Pegawai Negeri Sipil, BUMN, Swasta maupun Pegawai lainnya tanpa melihat latar belakang ilmu pengetahuannya & pengalaman kerjanya.
  2. Banyaknya jabatan-jabatan strategis yang di peroleh dengan cara sistim kekerabatan & menyetor sejumlah uang terlebih dulu ke pejabat birokrasi lainnya yang secara terang-terangan berani  melakukan Money Politik.
  3. Banyaknya pejabat dari Birokrasi Pemerintah masuk menjadi Birokrat atau Jabatan Politis bukan karena kepintarannya & profesionalismenya tapi terjadi karena sistim kekerabatan dengan orang-orang disekitarnya.
  4. Banyaknya Pejabat Daerah yang melakukan pelayanan yang berbelit-belit kepada masyarakatnya sendiri pada saat mengurus sesuatu atau mendatangi Birokrasi Pemerintahan.
  5. Masih banyak Pejabat Pemerintah Daerah pada saat memangku jabatannya yang dipikirkan adalah bagaimana uang yang telah diberikan pada saat kampanye maupun pada saat untuk mendapatkan jabatannya tersebut sedapat mungkin cepat kembali sebelum berakhirnya jabatannya tersebut.
  6. Banyaknya para Pejabat Daerah yang mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap kepentingan bangsa & Negara & juga memiliki ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan namun menjadi terpinggirkan karena selalu bersikap idealis.  
Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk mencegah Tindak Pidana Korupsi.

Banyaknya Pejabat Negara maupun Pemerintah Daerah yang selalu mengatakan bahwa aturan hukum yang ada jangan dilanggar pada saat melaksanakan pekerjaan sehingga nantinya akan tercipta tertib administrasi, tetapi apa yang telah disampaikan oleh Pejabat tersebut hanya  menjadi “isapan jempol belaka” karena apa yang disampaikan oleh pemimpin atau kepala daerah tersebut untuk menciptakan tegaknya hukum ternyata baru sebatas wacana. Padahal kita tahu bahwa dalam era reformasi saat ini, tegaknya supremasi hukum di Birokrasi Pemerintahan merupakan syarat utama untuk memberantas korupsi.

Bahwa adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh kalangan birokrasi pada Pemerintahan Daerah untuk mencegah Tindak Pidana Korupsi adalah:

  1. Melakukan pemilihan secara professional & prosedural hukum kepada Pemerintahan Daerah sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuannya atau pun pengalamannya sehingga akan tercipta tertib administrasi & pelayanan prima bagi masyarakat sehingga asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat berjalan sesuai dengan asas kepatutan & keadilan.

  2. Bagi setiap Pejabat Birokrasi Pemerintah Daerah maupun harus melaporkan harta kekayaannya baik bergerak maupun tidak bergerak pada saat mencalonkan diri, sehingga nantinya bisa di perkirakan berapa kekayaan yang di miliki oleh seorang pejabat tersebut pada saat telah berakhirnya masa jabatannya. 
  3. Bagi setiap Pejabat Birokrasi Pemerintah Daerah minimal 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa jabatannya tersebut berakhir maka wajib melaporkan harta kekayaannya kepada lembaga yang berwenang yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dilakukan Audit sehingga akan terlihat secara jelas apakah harta kekayaannya di dapatkan sesuai aturan hukum atau harta yang dimilikinya didapatkan dengan cara melawan hukum atau menyalahgunakan wewenangnya pada saat memangku jabatan yang dipegangnya.
  4. Memberikan pelajaran atau sosialisasi secara professional, prosedural & berkelanjutan kepada Pemerintah Daerah ,Pelajar, Mahasiswa & juga masyarakat sipil lainnya tentang Tindak Pidana Korupsi sehingga mereka mengetahui dan menyadari akan bahaya dari perbuatan tindak pidana korupsi tersebut.
  5. Apabila pelaku Tindak Pidana Korupsi telah di jadikan sebagai terdakwa maka hukuman yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa (kalau terbukti bersalah berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan) maka seharusnya hukuman maksimal yaitu 20 tahun penjara dan bahkan hukuman mati  seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2011, sehingga bisa menjadi efek jera bagi pelaku korupsi maupun mengurangi terjadinya kasus tindak pidana korupsi. 

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar