Oleh: Emeraldy Chatra
Sebelum Islam menjadi bagian yang terpenting dari adat Minangkabau adat itu seperti pengejewantahan paham filsafat sekuler saja. Karakternya tidak berbeda dengan paham sosialisme yang dikonstruksi atas doktrin filsafati atau buah pikiran manusia. Bukan atas ajaran agama yang doktrinnya bersumber dari wahyu Allah.
Oleh sebab itu, sebelum Islam masuk adat Minang hanya bersendikan kepada ‘alua jo patuik’. Artinya, atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional semata. Pertimbangan itu disandarkan kepada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh alam. Alam terkembang dijadikan guru. Jadi, tak jauh dari pandangan dasar kaum Stoicisme, suatu cabang filsafat Hellenisme yang muncul 3 abad Sebelum Masehi di Yunani.
Islam mengeluarkan adat Minang dari sekularisme. Selanjutnya yang menjadi sendi adat bukan lagi pikiran filsafati semata, tapi juga wahyu Allah sebagaimana terdapat dalam Al Quran, ditambah dengan kitab Hadis.
Dengan demikian hukum adat tidak lagi mengandalkan kepatutan yang didefinisikan secara rasional, tapi juga merujuk kepada kaidah-kaidah syariat Islam. Namun masuknya Islam tidak membunuh rasionalitas adat secara keseluruhan. Akal tetap dipergunakan untuk memahami dan mensinkronkan ayat-ayat Allah dengan pandangan rasional yang sudah ada sebelumnya. Bila terjadi benturan, maka ayat Allah yang didulukan, pikiran rasional dibuang.
Kawinnya Islam dengan adat merubah landasan adat Minangkabau dari ‘alua jo patuik’ menjadi ‘adat basandi syarak, syarak basandi ka kitabullah’ atau ABS-SBK. Syariat Islam memberi arahan, adat menggunakannya dalam kehidupan nyata.
Dari perbedaan itu, Minangkabau yang ber-ABS-SBK kita sebut saja “MINANG BERSYARIAT”. Sedangkan Minangkabau yang bersendikan ‘alua jo patuik’ kita sebut “MINANG LAMO”
Selesaikah Sampai Disana?
Belum. Bagaimana format atau struktur adat Minang Bersyariat itu masih jadi tanda tanya besar. Ada yang menganggap tidak ada lagi masalah karena masuknya unsur ‘urang malin’ ke dalam struktur kepengurusan adat. Juga karena adanya sejumlah praktik kehidupan yang berwarna Islam yang dikombinasikan dengan praktik adat, seperti pelaksanaan pernikahan dan menguatnya peranan ayah dalam rumah tangga.
Sebaliknya, ada pula anggapan bahwa semua yang telah dilakukan belum cukup untuk mengatakan Islam sudah benar-benar telah menyatu dengan adat. Pendapat terakhir bahkan mengatakan struktur yang ada sekarang belum cukup Islami, belum mencerminkan secara sungguh-sungguh bahwa Islam itu memang ada dalam adat Minangkabau. Ditambahkan pula, Islam hanya penghias, etalase, bukan substansi. Ulama tetap dianggap outsider dalam kepengurusan adat, dan dalam upacara-upacara adat para ulama biasanya hanya menjadi peninjau, bahkan adakalanya tidak dibawa serta sama sekali.
Belakangan muncul pula pendapat ekstrim dari sekelompok orang yang sepertinya mengusung bendera Islam. Menurut mereka, adat Minangkabau masih jahiliyah, jauh dari nilai-nilai Islam. Alasannya karena masih mempunyai Harato Pusako Tinggi (HPT) yang subhat, dan prinsip pewarisan HPT berdasarkan garis ibu, suatu yang bersifat bidaah karena tidak ada aturan seperti itu dalam Islam.
Memang perbedaan pandangan ini tidak terlalu mencuat ke permukaan, dan tidak menjadi perdebatan luas serta tajam di tingkat elite maupun publik. Orang lebih banyak menyimpan pikiran mereka dalam-dalam dan bersikap seperti tidak ada masalah. Mungkin orang sudah lelah berdebat dan berkonflik sehingga masalah perbedaan pandangan dibiarkan saja mengambang.
Apa Akibatnya?
Dinamika budaya Minang Bersyariat menjadi seolah-olah berhenti, tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pembaruan-pembaruan dan penyesuaian adat Minang Bersyariat dengan dinamika kehidupan kontemporer dapat dikatakan tidak terjadi. Tak ada orang yang berani menawarkan perubahan agar adat Minang Bersyariat tidak dipandang kuno oleh orang Minangkabau sendiri.
Alih-alih berkembang menjadi sebuah kekuatan budaya baru, peranan adat dan agama di tengah masyarakat Minangkabau justru semakin memudar. Kepemimpinan Minang Bersyariat makin jauh dari wibawa, kehilangan popularitas, dan tergusur oleh kekuatan birokrasi. Kemenakan kucar-kacir seperti anak ayam kehilangan induk. Niniak mamak dan ulama tak tentu ‘away’. Para pemimpin Minang Bersyariat seolah-olah menjadi sekelompok orang yang hidup menompang di daerah yang diteruka oleh nenek moyangnya sendiri. Ironis sekali.
Akhir-akhir ini memang tampak ada ‘kesadaran balik’ dan upaya di kalangan elite tradisional untuk kembali menghidupkan adat Minang di tengah kehidupan sehari-hari. Namun upaya itu kelihatannya tidak mendapat sambutan antusias di kalangan orang Minangkabau, karena kuatir akan kembalinya adat ‘Minang Lamo’ yang bersifat feodal.
Sepenggal Harapan
Harapan kita tentu saja adat Minang Bersyariat yang berkembang, menjadi sumber kekuatan kolektif orang Minangkabau dalam menghadapi berbagai ancaman kultural yang datang dari luar. Adat Minang Bersyariat harusnya menjadi identitas yang kental, kokoh, sehingga godaan-godaan untuk beralih kiblat dan orientasi kehidupan disikapi secara kritis oleh orang Minangkabau dimana pun mereka berada.
Apakah harapan itu akan tinggal sebagai harapan? Mustinya tidak. Optimisme harus tetap dibangun. Karena itulah, para pemimpin Minang Bersyariat perlu merapatkan barisan, ‘duduak sahamparan’, menyatukan kembali kekuatan yang telah menyerpih dan terbawa arus. Kemauan untuk duduk bersama ini pulalah kelak yang akan melahirkan perubahan-perubahan dan pemantapan format adat Minang Bersyariat yang kokoh dalam menyaring dan melawan ancaman budaya luar yang kontraproduktif.