Dalam UU Sistem Peradilan Anak terdapat ketentuan acaman pidana terhadap pejabat pengadilan yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban yakni dalam hal pengadilan tidak memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak, atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan dan Penuntut Umum. Ancaman pidana itu terjadi apabila jika dalam jangka waktu 5 hari sejak putusan diucapkan kepada anak atau kepada avokat atau pemberi bantuan hukum lainnya salinan putusan tidak diberikan. Di samping ketentuan Pasal 101 UU No 11 Tahun 2012 juga di uji beberapa ketentuan lainnya ke Mahkamah Konsitusi.
Mahkamah konsitusi atas Uji materil beberapa Pasal UU No. 11 Tahun 2012 itu mengabulkan seluruhnya permohonan para pemohon dan pasal-pasal yang diujikan itu dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional. Lengkapnya situs Mahkamah Konstitusi (mahkamahkonstitusi.go.id) 28.3/13 menyebutkan:
Ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) seperti yang tercantum dalam Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Demikian putusan Nomor 110/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD pada Kamis (28/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Mahfud.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Mahkamah menilai Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum. Menurut Mahkamah, lanjut Anwar, bukan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan SPPA.
Anwar menjelaskan dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan maksud untuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif. ”Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas dalil permohanan para Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 terhadap UUD 1945 beralasan menurut hukum,” jelas Anwar.
Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Anak tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak disertai pertimbangan antara upaya kriminalisasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Politik kriminalisasi dalam menetapkan perbuatan sebagai suatu tindak pidana dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach) maupun pada nilai (value judgment approach). Ketentuan tersebut tidak memuat asas-asas kriminalisasi, dan tujuan dari pemidanaan/keberadaan/fungsi hukum pidana, sehingga rumusan dalam ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan. (Lulu Anjarsari/mh
Dengan adanya putusan MK tersebut, pejabat pengadilan boleh merasa lega dengan dinyatakannnya pasal 101 UU No.11 Tahun 2012 sebagai inskonstitusional oleh MK.* - dh-1