Jika disimak persoalan hukum yang terjadi pada soal eksekusi terhadap Susno Duaji, sepintas lalu tampak Susno Duaji tidak patuh hukum. Namun secara teknis hukum ada persoalan yang esensial terkait soal kepastian hukum dari sebuah keputusan pengadilan. Memang benar adanya sebuah keputusan yang sudah berkekuatan hukum tetap harus dieksekusi, namun eksekusi terhadap sebuah putusan tentu tidak bisa dilepaskan dari apa isi putusan itu sendiri. Artinya eksekusi terhadap sebuah putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap terikat dengan isi putusan. Hemat kita itulah kenapa dalam hukum acara ditentukan apa-apa yang harus termuat dalam sebuah amar putusan, sehingga eksekutor akan melakukan eksekisi sesuai dengan amar putusan.
Dalam konteks kasus Susno Duaji yang terjadi adalah adanya tarik menarik antara kewajiban untuk melakukan eksekusi dengan fakta hukum dari amar putusann pengadilan sebagaimana yang dipersoalkan pihak Susno Duaji. Apa yang diperjuangkan Susno Duaji bagi sebagian orang mungkin dipahami sebagai usaha untuk tidak di eksekusi, tetapi bagi pandangan hukum tentu tidak sekedar itu. Dalam pandangan hukum, mengapa putusan pengadilan yang seharusnya memberikan kepastian hukum, justeru memberikan ketidak pastian hukum yang tidak saja bagi seorang pencari keadilan, tetapi juga bagi eksekutor sendiri. Dalam perkembangannya terkait eksekusi terhadap Susno Duaji merdeka.com (29/4/13) memberitakan lebih jauh:
Berbagai upaya dilakukan kubu Susno Duadji untuk melawan proses eksekusi yang dilakukan kejaksaan. Salah satunya dengan melaporkan ketidakadilan itu ke Dewan HAM PBB.
"Semalam sudah saya kirim surat ke Dewan HAM PBB melalui e-mail (surat elektronik)," kata pengacara Susno, Frederich Yunadi ketika dihubungi merdeka.com, Senin (29/4).
"Beliau tidak dihukum, dieksekusi. Kenapa banyak yang mau dia dieksekusi, Pertimbangan hukum dalam putusan MA itu bukan amar putusan. Tidak ada dasar hukumnya (eksekusi)," ujar Fredrich.
Terkait status buron yang ditetapkan Kejaksaan Agung terhadap Susno, Fredrich kembali menegaskan, undang-undang apa yang dipakai kejaksaan dalam menetapkan kliennya sebagai DPO. "UU yang mana juga yang menyatakan terhadap orang yang mau dieksekusi dicekal. Puluhan tahun saya menjadi pengacara belum pernah menemukan hal seperti ini," katanya.
Terkait keberadaan Susno, Fredrich mengaku kehilangan kontak sejak terakhir bertemu pada Kamis (25/4). Selama ini, Fredrich hanya menunggu kontak dari ajudan Susno yang mengabarkan keadaan bosnya.
Setelah permintaan perlindungan di LPSK gagal, Susno, lanjut Fredrich, tidak berada di Jakarta.
"Sabtu pagi, ajudan beliau telepon saya. LPSK katanya dapat tekanan dari berbagai pihak dan beliau disuruh minta perlindungan ke tempat lain. Dia cari tempat aman, beliau sosialisi ke daerah. Kata ajudannya: Bapak lagi di dapil, bapak aman," ungkap Fredrich.
Semalam, tim kejaksaan dan polisi mendatangi kediaman Susno di Puri Cinere dan Jl Wijaya, namun tidak menemukan keberadaan Susno
Mahkamah Agung menolak menolak pengajuan kasasi Susno. Dengan putusan itu, Susno tetap dibui sesuai vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tiga tahun enam bulan. Susno sudah tiga kali tak memenuhi panggilan eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan berbagai alasan. Pertama, dia menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasinya tidak mencantumkan perintah penahanan 3 tahun 6 bulan penjara.
Putusan MA hanya tertulis menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2.500. Alasan kedua, Susno menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi Jakarta cacat hukum karena salah dalam menuliskan nomor putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bagaimanakah akhir jalan hukum dari pelaksanaan eksekisi putusan pengadilan terhadap Susno Duaji ? pertanyaan ini tentu sebuah pertanyaan terkait soal kepastian hukum tentunya bagi pencari keadilan yang masih menjadi perbincangan publik. (ulasan hukum Boy Yendra Tamin)