Oleh: Sahwalul Mukhsin
Dalam hukum ketenaga kerjaan,memang belum dapat di kemukakan batasan yang jelas tentang pengertian dari hubungan kerja. Namun dapat diperoleh bahwa hubungan kerja itu adalah suatu hubungan anatran pekerja dan penguasa, hubungan ini timbul di karenakan adanya akibat dari pelaksanaan perjanjian kerja/ srikat pekerja mengikatkan dirinya kepada pengusaha /pemberi kerja selama waktu yang di tentukan, dan pengusaha memberikan upah kepada pekerja atau serikat pekerja.
Di dalam undang-undang no 13 2003 di jelaskan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Jadi dalam bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji aatu kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis dari perjanjian tertulis tersebut timbulah semua hubungan hokum antara dua orang atau lebih disebut perikatatan. Suatu perikatan adalah hubungan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang lain berkewajiban untuk mememenuhi tuntuntan demikian juga sebaliknya.
Untuk mewujudkan suatu perjanjian Yang telah di sepakati bersama, para pihak yang terikat dalam perjanjian dapat melaksanakan tersebut perjanjian sebagaimana mestinya. Pelaksanaannya prestasi dalam perjanjian maka apa yang di harapkan sebagai maksud dan tujuan diadakannya perjanjian akan tercipta dengan baik tanpa ada pihak yang di rugikan yang dapat dituntut atas kerugian pihak yang dirugikan. Atas perbuatan yang melanggar hokum serta membawa kerugian kepada orang lain mewujudkan orang yang karna salahnya menerbitkan kerugian itu di harapkan orang itu dapat mengganti kerugian.
Para pekerja juga mengetahui bahwa untuk memperoleh haknya itu harus memberikan sesuatu kepada majikannya berupa pengarahan jasa-jasanya sebagaimana kewajiban yang harus dipenuhin dan tidak boleh di lalaikan.
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjian tertulis atau lisan demikian juga mengenai jangkauan waktunya di tentukan atau tidak, bagaimana sebelumnya sudah diatur dalam undang-undang no 25 tahun 1992 tentang ketenaga kerjaan.
Sebagai dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 52 ayat 1 UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja di buat atas dasar:
Kesepakatan dua belah pihak.
- Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
- Adanya pekerjaan yang dijanjikan.
- Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Dimana syarat sah nya perjanjian kerja yang pertama sekali adalah kata-kata sepakat. Inti nya kedua belah pihak setuju atau sepakat dan tidak saling berselisih paham.
ad. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Menurut pasal 1 No 26 undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, memberikan batasan umur yaitu 18 tahu, selain itu, seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tidak terganggu jiwa nya atau waras. dengan demikian pihak yang membuat perjanjian kerja dengan suatu perusahaan sudah cukup umur minimal usia kerja adalah 20 tahun.Jadi perjanjian kerja untuk waktu tertentu antara keduabelah pihak telah sah sesuai hukum yang berlaku.ad. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
Pekerjaan yang diperjanjikan disini memuat pekerjaan yang secara hokum tadak bertentangan dengan undang-undang dan disepakati oleh kedua belah pihak.Dan juga pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan denagan ketertiban umum ,kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlakuad. Objek pekerjaan harus halal yakni tidak oleh bertentangan dengan undang undang,ketertiban umum,dan kesusilaan.Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Empat syarat diatas bersifat komulatif artinya hak yang dipenuhi semuanya bahwa dapat baru dikatakan perjanjian bahwa perjanjian tersebut syarat bebas kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hokum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,sedangkan pada sat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut dengan syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.Kalaw syarat objektif tidak dipenuhi,maka perjanjian itu batal demi hukum,artinya semua perjanjian itu dianggap tidak ada.Jika yang tidak dipenuhi syarat subjektif,maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan,pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas,demikian juga oleh orang tua atau wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim.
Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim. (mhsfhubh/ed-dh1)