Oleh : Emral Djamal Dt.Rajo Mudo
Jelas bahwa jauh sebelum Belanda datang ke Sumatera Barat ini, Minangkabau telah menata masyarakatnya dalam bentuk nagari-nagari dengan system Bodi Caniago atau bila berbentuk kerajaan disebut kerajaan nagari yang memakai system Koto Piliang, atau kombinasi keduanya. Namun dalam suasana yang baik, serta hu bungan yang harmonis pada awal-awal kedatangan Belanda, secara baik-baik merekapun diterima secara adat, sekaligus mewakili etnis luar lainnya yang berdomisili di Padang sesuai dengan bunyi pe patah :
dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung,
dimana nagari ditunggui di sana adat nan bapakai,Sebagai tanda bukti bahwa Minangkabau dan Rantaunya juga biasa menerima kedatangan siapa saja secara damai, tanpa meng ganggu kestabilan wilayah negeri mereka. Namun nyatanya kemu dian Kompeni Belanda-lah yang mengkhianati sendiri atas kehor matan yang telah diberikan kepada mereka. Hal ini juga secara tidak langsung diakui oleh Stibbe (Rusli Amran, hl.62) yang mengatakan bahwa
“Nagari merupakan masyarakat di sesuatu daerah yang berdiri sendiri dengan alat-alat perwakilannya, hak milik, kekayaan dan tanah tanahnya sendiri. Berlainan dengan desa di Jawa, (nagari) telah berdiri sendiri sebelum kedatangan kita (orang-orang Belanda) di Sumatera Barat..”
Nagari Pariangan (foto:indonesia.com)
Keputusan diambil berdasarkan rapat penghulu, musyawarah dengan kata sepakat. Putusan dipatuhi karena para penghulu adalah wakil yang dipilih langsung oleh rakyat, orang-orang yang dituakan dan dianggap bijaksana. Pemerintahan adat begini dalam bentuk paling murni, tentu saja kita dapati di daerah asal Kerajaan Minang kabau, dilereng sebelah selatan Gunung Merapi, di nagari Pariangan-Padangpanjang.
Begitu kuatnya hingga dapat menentang segala pengaruh dari luar yang dimasukkan Belanda, misalnya seperti penghulu rodi atau penghulu kepala dan kepala laras yang digaji, namun bila diantara mereka adalah memang sorang Penghulu Adat yang sah dalam kaumnya, maka bagaimanapun secara adat mereka tetap dalam kesatuan dan persatuan tradisinya.
Semakin jauh dari daerah asal ini, makin kurang murni bentuk pemerintahan adat, apalagi di rantau. Kroesen (T.A.I Kroesen) yang pernah menjadi residen Padangsche Bovenlanden abad yang lalu telah melaporkan dalam tahun 1872 dalam tulisannya mengenai Pemerintahan pribumi di Sumatera Barat (Het Inlandsch Bestuur) mengenai system pemerintahan adat yang telah tidak murni lagi. Di daerah-daerah pesisir hanya tinggal nama saja, banyak penghulu an diko yang sama sekali tidak mempunyai kedudukan apalagi wibawa.
Selanjutnya Rusli Amran menjelaskan bahwa keterangan terbaik mengenai asal-usul nagari dan yang sering dikutip orang ialah yang diberikan oleh ahli adat De Rooy dalam karangannya “De Positie van de volkshoofden in een Gedeelte der Padangsche Bovenlanden, (1899)”, seperti kutipan di atas.
“Menurut cerita-cerita lama”, tulis De Rooy, “orang-orang pertama yang mendirikan beberapa nagari, dapat diusut sampai ke nagari Pariangan-Padang Panjang di kaki sebelah selatan Gunung Merapi ; di sana mereka berhenti sebelum sampai ke tujuan terakhir yang dengan jelas sekali dapat kita ikuti. Hubungan antara keluarga di suatu tempat dengan keluarga di tempat-tempat sebelumnya, tetap dijaga dan menjadi alasan kunjung-mengunjungi atau undang-mengundang guna merayakan pesta-pesta tertentu. Dengan pengembaraannya rakyat ke segala jurusan itu dari pusat tertua Pariangan – Padang Panjang, maka timbullah tempat-tempat tinggal yang dikerjakan oleh beberapa keluarga. Mereka berusaha mengerjakan pertanian, penangkapan ikan, atau berburu. Untuk itupun mereka harus sering berkelana di daerah-daerah sekeliling, di mana di sana sini pohon-pohon harus ditebang atau diberi tanda sebagai bukti bahwa mereka berhak atas tanah itu yang akan mereka kerjakan nanti atau disediakan sebagai cadangan untuk daerah-daerah pertanian. Lama kelamaan datang keluarga-keluarga yang sudah lebih dahulu datang ke sana. Mereka ini mengakui hak dari keluarga-keluarga pertama atas tanah yang telah mereka anggap kepunyaan mereka. Keluarga-keluarga yang baru datang, akan mencari tanah atau hutan-hutan yang belum ada yang punya, atau mengerjakan tanah dari dan dengan seizin keluarga-keluarga yang terdahulu. Dengan demikian di tanah-tanah yang gampang dikerjakan, berdirilah kelompok-kelompok manusia bertempat tinggal, biasanya di puncak bukit-bukit atau di atas punggung pegunungan rendah karena di sini orang merasa lebih aman. Jelas bahwa sejak dari semula, telah ada hubungan antara tetangga berdekatan dan kadang-kadang perselisihan pun timbul. Oleh karena itu ada pikiran menyatukan tenaga, merupakan semacam persekutuan. Karena persatuan ini, mereka merasa lebih kuat dan turun dari puncak-puncak bukit mendirikan tempat-tempat pertahanan di daerah terbaik yang disebut kota (koto), biasanya dimana air mudah didapat.
Tiap keluarga tetap mengerjakan tanah mereka atau yang telah mereka sediakan sebagai cadangan, atau mencari tempat-tempat pertanian baru yang lebih baik dan letaknya tidak begitu jauh. Dengan demikian, perlahan-lahan orang mendekati daerah-daerah datar, dimana para petani lebih mudah bekerja dan untuk ternak pun lebih mudah mencari makanan. Orangpun mengetahui bahwa tanah dapat dikerjakan beberapa kali setahun tanpa kehilangan kesuburannya. Kemudian orang sampai pada penanaman sawah dan ternyata bahwa dengan air orang bisa panen terus menerus dari tanah yang itu-itu juga. Ini menyebabkan orang bertempat tinggal secara permanen sedangkan hak-hak atas tanah asli yang terus dikerjakan, tetap berlaku. Karena adanya pendatang-pendatang baru, maka tanah-tanah di sekeliling tempat itu mulai lagi dikerjakan seperti pada waktu permulaan tadi. Maka timbullah kota-kota/koto-koto baru (kemudian nagari) yang juga mempunyai kekuasaan atas daerah tertentu yang berdiri pula. Semua jelas kelihatan karena ada bekas-bekas usaha pertanian dan tempat tinggal. Kemudian dibatasi dengan pagar hidup. Setelah membuat tempat-tempat tinggal yang tetap di daerah-daerah datar (terutama bagian selatan Gunung Merapi yang lebih subur), mulailah dibentuk pemerintahan. Tiap-tiap keluarga dikepalai oleh orang paling tua. Di antara kepala-kepala tadi, yang terpenting ialah yang mewakili keluarga tertua yang bertempat tinggal di sana. Semua kepala ini merupakan pemerintahan. Oleh karena terdiri atas begitu banyak kepala, sulit untuk mendapat kata sepakat dan sering pula terjadi perselisihan. Guna memecahkan kesulitan-kesul;itan inilah diminta bantuan dari raja di Pagaruyung yang terkenal bijaksana dan mempunyai kekuatan gaib. Salah satu jalan keluar ialah dibentuknya pemerintahan suku yang masih berjalan sampai sekarang. Semua keluarga yang terdiri atas begitu banyak keturunan, dibagi atas 4 suku. Tiap-tiap suku dikepalai oleh seorang penghulu yang menguasai soal-soal keluarga dalam sukunya dan juga bertindak sebagai penengah. Semua kepala suku itu menangani dan mengadili hal-ihwal persukuan atau mengenai seluruh nagari. Yang mengepalai keluarga tertua (keluarga inti) disebut penghulu andiko. Dialah orang yang tampil ke muka membicarakan soal-soal dalam nagari dan memilih anggota pemerintah adat. Di belakangnya berdiri kemenakan-kemenakan. Dalam segala hal, pendapat kemenakan-kemenakan ini dinilai terlebih dahulu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pemerintahan adat (adat bestuur) termasuklah seluruh rakyat,” demikian De Rooy. …. Bersambung | Bagian sebelumnya Bagian Ketujuh